Bab 1 MJDMP

377 15 1
                                    

Bab 1

Berkalung Luka di Malam Pertama

"Enyah kau dari sini! Dasar perempuan nggak guna, Cacat! untuk apa aku menikahi gadis sepertimu? percuma cantik tapi nggak punya lubang! " Juragan Supeno keluar dari kamar pengantinnya dengan amarah berkobar,  ia mengumpat dan mendorong Anjani–gadis yang baru saja ia jadikan istri ke-dua itu hingga tersungkur.

Gadis itu hanya terisak tanpa bisa memberikan perlawanan. Ingin rasanya ia balik memaki lelaki tua di hadapannya, tetapi lidahnya mendadak kelu sebab merasakan sakit yang begitu mendalam di hatinya. Jiwanya benar-benar terguncang mendengar hinaan Juragan Supeno di depan khalayak ramai.

"Bisa-bisanya Supeno mempermalukan ku seperti ini? Bukankah dulu dia sendiri yang selalu mengemis agar aku bersedia menerima pinangannya?" geram Anjani dalam hati.

"Mulai sekarang,  kamu bukan lagi istriku. Aku talak kamu, Anjani! Nggak sudi aku punya istri sepertimu! cuuuihhh, masih mending ayam betina punya lubang buat bertelor, lah kamu?" sarkas Juragan bakso itu bagai sebilah pedang menghunus hati Anjani.

Suasana rumah yang memang masih ramai orang itu mendadak riuh. Semua orang saling berbisik satu dengan yang lain, mereka memandang Anjani dengan pandangan berbeda-beda.

Ada yang iba, heran, bahkan ikut mencela.
Sebagian besar dari mereka saling bertanya, merasa tak percaya dengan situasi yang tengah terjadi.

"Masa sih Anjani nggak punya itu?"

"Ya ampun kasihan ya, padahal cantik, tapi ternyata ...."

"Nasib Anjani memang kurang mujur. "

"Kasihan Anjani, pasti dia malu aibnya diketahui oleh seluruh penduduk desa."

Begitu lah kira-kira bisik-bisik yang terdengar oleh Anjani, membuat luka di hati akibat sabetan pedang Juragan Supeno itu bagai dibumbui oleh perasan air jeruk nipis, perih.

Di antara mereka, ada juga yang hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Walau banyak dari mereka yang iba, tapi tak ada satupun dari mereka yang berniat menolong Anjani. Mereka membiarkan Anjani tersungkur di depan kamar pengantinnya dengan busana yang begitu acak-acakan.

Gadis itu kini memandang juragan Supeno dengan pandangan nyalang, menyiratkan sebuah dendam yang mendalam. Dadanya sesak menahan tangis, hatinya begitu sakit menyadari perlakuan Supeno terhadapnya.

Desas-desus tentang Anjani gadis tanpa lubang kenikmatan itu dengan cepat tersebar ke seluruh penjuru rumah Supeno. Orang-orang yang menyaksikan langsung kejadian di TKP tak dapat berlaku apapun pada Anjani. Semua orang takut jika dianggap tidak berpihak pada Juragan Supeno. Takut jika melakukan hal yang bertentangan dengannya.

Sebab hanya Juragan Supeno orang terkaya yang bisa mereka harapkan untuk memohon belas kasihan saat mereka membutuhkan bantuan. Melawan Juragan Supeno sama artinya kehilangan harapan hidup di saat kesusahan.

"Basuki ...! Sini kau, Basuki!" teriak Juragan Supeno menggelegar memenuhi ruangan.

"Mana Basuki?" tanyanya pada semua orang dengan amarah menyala bak singa yang siap menerkam musuhnya.

Semua orang hanya saling pandang tanpa bisa menjawab. Sedangkan Basuki–Paman Anjani yang sejak tadi tak berani menampakkan batang hidungnya itu, kini terpaksa harus keluar dari tempat persembunyiannya.

"Dalem, Juragan," cicit Basuki yang menghadap Juragan Supeno dengan pandangan tertunduk.

"Dasar pembohong! Lihat keponakanmu ini! Nggak guna! Gadis cacat gini kau nikahkan denganku, mau main-main sama aku kau, Basuki?! Hah?!" bentak Juragan Supeno.

"Maaf, Juragan! Saya benar-benar tidak tahu soal itu. Selama ini saya pikir Anjani gadis normal. Saya juga baru tahu kalau dia ternyata—."

"Halah, omong kosong! Aku gak mau tau. Pokoknya aku gak mau gadis ini kau jadikan tebusan atas utang-utangmu itu. Gak sudi aku!"

"Ampun, Tuan. Saya sudah tidak punya apa-apa lagi untuk menebus hutang-hutang saya. Biarkan Anjani menjadi tebusannya. Kalau memang Tuan tidak berkenan menjadikannya istri, dia bisa menjadi pembantu di rumah ini. Beri dia pekerjaan apapun untuk menebus semua hutang-hutang kami," ungkap Basuki membuat Juragan Supeno tampak berpikir.

Sedangkan Anjani, ia memandang nyalang, tak menyangka bahwa paman yang selama ini ia kira mengasuhnya dengan penuh cinta, ternyata hanya menjadikannya sebagai tebusan hutang-hutangnya.

"Cukup, Paman! Aku sudah menuruti permintaan Paman dan Bibi untuk menikah dengan lelaki tua ini. Dan sekarang dia sendiri yang menolakku," ucap Anjani dengan sedikit bergetar namun terdengar lantang, "jadi, jangan pernah memaksa aku untuk melakukan lebih dari ini," sambung Anjani dengan mata berkaca-kaca. Ia perlahan bangkit dari tempatnya.

"Anjani, jangan ngelawan kamu! Semua ini terjadi juga gara-gara kamu!" bentak Basuki, yang mulai mengungkit penyebab hutangnya pada Juragan Supeno bertumpuk adalah Anjani.

"Sudahlah, Anjani, terima saja nasibmu. Masih baik kamu diterima sebagai babu, dari pada nasibmu dan keluargamu terkatung-katung tak menentu?

Lagian apa sih yang bisa dilakukan perempuan cacat sepertimu? Mau jadi pelacur pun tak kan laku! Hahahaha." tawa juragan Supeno menggelegar memenuhi seluruh ruangan. Perut buncitnya sampai naik turun sebab begitu lepasnya ia tertawa.

Sementara Anjani semakin menekankan tangannya di dada, berusaha meredam tekanan yang terasa semakin berat di sana. Selain itu, ia melakukannya sebagai upaya untuk berusaha menutupi bagian dada kebaya yang terkoyak akibat ulah Juragan Supeno yang bermain kasar tak sabaran.

"Tuhan, seumur hidup aku menjaga kehormatan sebagai seorang wanita, lalu dengan entengnya dia memperlakukanku lebih rendah dari seorang pelacur? Kamu kejam, Supeno! Kau harus menebus semua yang telah kau lakukan padaku." Anjani bertekad dalam hati.

Gadis yang sempat mendapatkan julukan kembang desa itu memajukan langkahnya mendekat ke arah Juragan Supeno, hingga tersisa jarak satu meter di antara mereka.

"Dengar ya, Juragan Supeno! Saya, lebih baik mati dengan terhormat, dari pada harus menjadi babu untuk manusia sepertimu!" Anjani berkata pelan, namun penuh penekanan.

"Halah! Gadis cacat saja sok bicara soal kehormatan! Kalau memang kamu mau jadi terhormat, bayar dong utang pamanmu! Miskin aja belagu!"

Anjani terkesiap mendengar ucapan Juragan Supeno yang semakin terasa tajam mencincang perasaannya. Sepedih ini kah jadi orang miskin? Apakah miskin membuat seseorang menjadi tak punya harga diri?

Anjani tersenyum getir menyadari nasibnya sendiri.
"Baiklah, saya akan membayar hutang-hutang itu, tanpa setetes pun keringat saya jatuh sebab melakukan pekerjaan untukmu!" jawab Anjani penuh keyakinan, kemudian berlalu meninggalkan tempat yang membuat kehormatannya terinjak-injak.

"Hei, Anjani! Aku kasih kau waktu 40 hari, kalau sampai kau tak datang untuk membayar hutang, maka selamanya kau harus menjadi babuku!" teriak Juragan Supeno mengiringi kepergian Anjani.

Namun gadis dua puluh tahun itu terus melangkah tak gentar, bahkan tak sedikitpun kembali menoleh ke belakang. Beberapa orang yang masih berkerumun saling berbisik memperbincangkannya. Namun ia berusaha menebalkan telinga dari hal-hal yang semakin menjatuhkannya.

Jelas saja hal itu membuat Supeno semakin murka, merasa dirinya yang berkuasa, ditentang oleh seorang bocah.

"Dasar bocah belagu! Lihat saja, gak lama lagi pasti dia akan kembali untuk mengabdi, dan menyesali keputusannya untuk melawanku! Kalau sampai itu terjadi, kan ku buat dia bersujud di kakiku!"

Samar-samar Anjani masih mendengar apa yang diucapkan Supeno, ia menghentikan langkahnya sejenak, kemudian tersenyum miring, "Aku bersumpah atas nama hidup dan mati, pantang bagiku kembali ke tempat ini demi harga diri yang terinjak-injak kembali.

Akan kubuktikan, bahwa nanti kamu dan semua antek-antekmu yang akan bersujud di kakiku, Supeno. Kau akan menyesal sebab telah mempermalukanku seperti ini," batin Anjani, kemudian kembali mengayun langkahnya pergi meninggalkan kediaman lelaki yang menjadikannya janda di malam pertama.

Menjadi Janda di Malam PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang