Hanya mimpi?

88 3 0
                                    

Mimpi. Apakah aku sedang bermimpi? Bisakah aku bermimpi saat ini? Yang benar saja! Disaat tidak nyenyaknya aku tidur, masih bisa aku bermimpi?

Aku berjalan, ah, tidak. Aku tidak tahu pasti kakiku menapak ke bumi atau tidak. Intinya di situ, aku bergerak maju, menuju ke rumahku yang tidak terlalu jauh dari sekolah.

Ya, saat itu, seusai pulang sekolah, aku bergerak maju melewati jalanan yang biasa kulewati ketika aku berangkat ataupun pulang sekolah. Kulihat di sekelilingku, tidak ada yang beda. Ada rumah-rumah bertingkat, kost-kostan, minimarket, ada pula sawah, dan sisanya toko-toko dan rumah warga. Tidak ada yang aneh.

Tapi, ketika aku melihat ke langit, ini mungkin bagian anehnya. Sekarang sedang musim panas, seharusnya langit terlihat cerah siang ini. Namun, aku melihat langit berwarna kelabu, lalu berubah menjadi ungu, lalu menjadi merah darah, lalu kembali menjadi kelabu, begitu seterusnya.

"Aah, kenapa mataku ini," kataku, sambil mengusap kacamataku dengan kain, lalu mengucek kedua mataku.

Daripada terus menerus melihat langit yang tentu akan membuatku berpikir bahwa kewarasanku mulai menurun, kuputuskan untuk menatap lurus ke depan dan melanjutkan perjalanan pulangku.

"Aaah.. Apa aku sudah benar-benar gila?" Kutepuk kepalaku. Tahu apa yang kulihat? Aku hanya melihat jalanan lurus di depanku, jalur menuju rumahku, dan tanpa adanya belokan.

Rumah-rumah bertingkat, sawah, minimarket, dan hal-hal lainnya yang tadi kusebutkan lenyap di sepanjang jalan, tertutup oleh kabut tebal. Jalur menuju rumahku pun terasa begitu jauh, tak ada ujungnya. Rumahku pun tak terlihat. Padahal, tinggal terpeleset sedikit saja aku seharusnya sudah sampai di depan rumahku.

Kuputuskan untuk terus bergerak maju. Di sekelilingku masih ditutupi oleh kabut. Aku melafalkan doa-doa agar aku selamat dan hatiku tetap tenang. Hatiku tetap tenang saat itu sampai sesuatu menubrukku dengan keras.

"Aaaaw!!" Erangku.

Kacamataku terjatuh, dan aku tak bisa melihat apapun. Aku pun ikut terjatuh dengan lututku yang menopang tubuhku. Hey, lututku menapaki tanah? Dan aku rasa lututku terluka, tapi herannya tak terasa sakit sedikit pun.

Seseorang menarik lenganku dengan kasar.

"Cepat bangun, dan jangan lewati jalan ini. Ini makam para dewa, manusia fana tak pantas melewati jalan ini." Kata seseorang itu. Ia seorang pria.
Kulihat ke sekelilingku yang ternyata kabutnya sudah lenyap. Benar saja, ini tempat pemakaman. Banyak sekali makam di sini, tapi... makam-makam itu... besar sekali. Sungguh, apakah ada orang sebesar itu? Besar satu kuburan saja seperti didalamnya warga se-RT dikubur bersamaan.

"Hey, apa yang kau pikirkan? Jika aku jadi kau, aku akan cepat pergi dari sini. Jika kau nekat melewatinya, kupastikan kau tidak akan sampai ke tujuanmu hidup-hidup!" Serunya.

Aku terlalu kaget untuk bisa cepat pergi dari tempat itu sehingga aku malah bertanya, "Tunggu.. apa kau bilang... ini... makam para dewa? Bukankah... para dewa hidup abadi? Bagaimana mung...."

" CEPAT PERGI!! ATAU KUBUNUH....." Ia hendak memukulku dengan tongkat yang entah tiba-tiba berada di tangannya. Namun, seorang pemuda menangkis lengan pria itu hingga tongkatnya terjatuh dari lengannya. Oh, syukurlah.

"Cepat pergi dari sini! Biar kutangani dia." Seru pemuda itu padaku, dan ia mulai menyerang lawannya dengan tangan kosong, hebat sekali.

Ngomong-ngomong, pemuda itu... tampan. Ia berkacamata juga sama sepertiku. Dan bukannya aku lari, aku malah terpana melihat pemuda itu dan tetap berdiri di tempatku.

"Hey, apa yang kau lihat. Cepat lari!!". Teriak pemuda itu, dan melanjutkan berkelahi.

Dan tanpa pikir panjang, aku malah bertanya, "Siapa namamu?"

"Apa?" tanyanya heran karena pertanyaan bodoh ini mungkin.

"Namamu!" Seruku.

"Apa kau sudah gila? Baiklah, panggil aku Horan. Dan sekarang, cepat pergi!!" Jawabnya, dan melanjutkan perkelahian hebatnya.

Horan. Aku tersenyum. Benar, aku sudah gila. Lalu segera aku lari dari tempat itu. Namun tidak berapa jauh aku berlari (mungkin ini efek karena aku berlari sambil terus memikirkan si Horan itu), aku tidak melihat ada pohon di depanku. Aku menabraknya, pohon itu tumbang dan persis jatuh menimpa tubuhku yang sudah terlebih dahulu jatuh.

"Aaww!! Sialnyaa" Aku jatuh pingsan sambil memeluk pohon.
Lalu, aku terbangun. Dan kulihat suasana berubah. Aku tidak lagi ada di jalan dari sekolah menuju kerumahku lagi.

Tapi, aku berada di sebuah pantai. Pantai itu sangat luas sekali. Tapi, tidak ada pepohonan palm yang biasanya menghiasi pinggiran pantai, atau pun tidak ada para wisatawan yang berkunjung di sini selain aku. Cuaca di sini.. kuarahkan pandanganku ke atas. Syukurlah, langitnya tak seaneh tadi. Langit ini normal.

Cuaca sedang cerah kali ini, matahari berada tepat di tengah-tengah langit, dan kurasakan tubuhku berkeringat. Kulihat pakaianku. Ya ampun, apa-apaan ini? Ini pantai, Shan, ngapain kamu pakai piama. Omelku sendiri ketika melihat pakaian yang sangat kontras dengan suasana pantai.

Aku benar-benar merasa kepanasan sampai akhirnya kuputuskan untuk berenang saja di pantai. "Biarlah aku berenang sebentar. Daripada aku mati kepanasan di sini." Aku pun beranjak lari ke tepi pantai tanpa melepas pakaianku.

Namun, semakin aku berlari, semakin aku tak mampu mencapai tepinya. "Aaah. Cobaan apalagi ini?" Keluhku.

"Kenapa aku tak bisa sampai ke pantai itu. Aku ingin berenang. Aku kepanasan. Heyy!!! Adakah orang di sini??? Siapa saja, bantu aku mencapai tepi pantai itu!!!!!!!!!!" Aku mulai berteriak yang tentu saja tak ada yang mendengarku. Kupikir, aku mulai gila lagi. Kuputuskan untuk berteriak lagi, "Heeeey, penghuni pantai!!! Bolehkah aku berenang di pantai ini?!!"

"Kau memanggilku??" seru seseorang dengan suara yang begitu berat. Aku menoleh ke sekelilingku, tak ada siapapun, hanya ada pasir putih yang tak berujung dan air pantai yang biru. Siapa yang menjawab seruanku?

Byuuuur. Aku terciprat air pantai. Tak kusadari ternyata sekarang aku sudah berada di tepi pantai. Dan, sesuatu.. Oh, tidak. Seseorang yang sangat besar keluar dari dalam pantai tersebut. Mau kuciri-cirikan orang ini? Ia berjanggut dan berkumis putih tebal dan panjang. Tingginya.. bayangkan gedung tertinggi yang pernah kau lihat, ia bahkan lebih tinggi dari itu. Besarnya... tau Sumo? Bayangkan sumo terbesar yang pernah kau lihat, ia lebih besar dari itu. Namun badannya tegap dan dadanya bidang. Kakinya.. Ah, ia putra duyung atau apa? Ia berekor seperti ikan duyung, tanpa kaki. Ia memegang sebuah tongkat seperti garpu raksasa.

Sebentar, aku tau apa nama tongkat ini. Trisatya.. Trisakti.. aah.. Trisula. Ia memegang sebuah trisula.

"Kau memanggilku, gadis kecil? Apa kau ingin mati?" Tanyanya. Ia berkata begitu seolah-olah menawarkan 'Mau sebuah permen, anak manis?'

"Ap.. Siap.. Aku.. Aaaah.. Siapaa Kau? Aku hanya ingin berenang." Jawabku.

"Oh, berenang? Di wilayah kekuasaanku? Silahkan, boleh saja kau berenang di sini."

"Benarkah?"

"Ya, tentu saja. Tapi, aku punya satu syarat. Carikan aku pahlawan untuk kubunuh. Baru kau boleh berenang di pantaiku." Katanya.

"Apa? Pahlawan? Apa maksudmu? Hey, omong-omong, kau belum menjawab pertanyaan awalku. Siapa kau?" Aku benar-benar tak mengerti apa yang dibicarakan raksasa tua ini.

"CARIKAN SAJA AKU PAHLAWAN! CEPAT!"

----lanjut part 2----

Hanya mimpi?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang