Hanya mimpi? *part 2*

34 1 2
                                    

----lanjutan----

"CARIKAN SAJA AKU PAHLAWAN! CEPAT!",teriakannya membuat ombak di pantai itu dan menghantamku keras sehingga aku terbawa arus menjauhi tepi pantai. Aku terbatuk-batuk. Dan ketika kubuka mataku, aku melihat seorang pemuda berkacamata duduk di sebelahku. Sepertinya ia sedang membuat racikan obat. Ketika ia melihatku, ia tersenyum.

"Kau sudah sadar. Kau pingsan cukup lama tadi. Ini, minumlah ramuanku dulu. Ini akan memulihkan kekuatanmu dan kesadaranmu." Kata lelaki itu.

Sepertinya, lelaki ini tidak asing di mataku. Ia memberiku ramuan itu dengan batok kelapa, dan aku pun meminumnya. Rasanya, hangat. Dan tubuhku tidak terasa lemas lagi sehabis menelan banyak air pantai tadi.

"Sudah baikan?" Tanyanya. Aku menganggukan kepala. Tunggu, lelaki ini sama seperti lelaki yang melawan pria bertongkat di makam para dewa itu. Dia..

"Ya, Aku Horan." Jawabnya, yang melihat ekspresi terkejutku---atau mungkin ekspresi terpana, entahlah---dan langsung mengerti bahwa aku mengenalnya.

"Kenapa aku ada disin..."

"Ssssst..." Horan menaruh telunjuknya di bibirku.

"Tenanglah, kuduga kau dilemparkan ombak oleh raksasa tua, ya?"

Aku tak bisa bernafas. Kenapa pula Horan harus menaruh telunjuknya di bibirku. Tak tahukah dia betapa tampannya dia? Dan bertindak seperti itu akan membuat para gadis tak bisa bernafas?

"Euuu.. mmm... ya.. itu... " aku menepuk kepalaku, "Ya, ada raksasa tua dengan trisula, ia berteriak dan tiba-tiba saja.. ombak menghantamku. Kau kenal dia? Siapa dia?"

"Kau tak usah tahu siapa dia. Dia adalah lawanku. Hmm, bukankah dia menyuruhmu untuk membawakannya seorang pahlawan?" Tanya Horan. Oh, Ya Tuhan, Kau menciptakan mahluk ini dengan sempurna tampannya.

"Ya.. mmmm.. bagaimana kau tahu itu?"

"Jelas aku tahu. Akulah pahlawannya."

Aku tersentak dan langsung berdiri. Dia pahlawannya? Ini berarti, dia akan melawannya dan raksasa tua itu akan membunuh si Horan Tampan ini? Tidak, tidak, aku tak rela. Aku lebih rela mati kepanasan dan tidak berenang di pantai itu asalkan Horan bersamaku, maksudku, asalkan Horan selamat.

"Apa?? Kau pahlawannya? Bagaimana bisa? Dan.. Kau pahlawan untuk siapa?"

"Ya, aku pahlawannya. Aku memang ditakdirkan untuk melawannya, begitu juga pria bertongkat di pemakaman itu. Kau tak perlu khawatir. Hmm, untuk pertanyaan terakhirmu, kurasa.. aku adalah pahlawan untukmu, Shaney." Dia berkata begitu sambil tersenyum padaku. Sebelum aku sempat bicara, Horan menarik lenganku, dan tiba-tiba saja kami sudah berada di pantai lagi, dan lelaki tua itu berdiri menjulang di hadapan kami, masih di tengah-tengah pantai. Satu tangannya berkacak pinggang dan satunya lagi masih memegang trisula. Ia tersenyum puas melihatku membawa Horan.

"Haha.. Bagus, gadis kecil. Kau benar-benar ingin berenang rupanya."

" Berhenti memanggilku gadis kecil!! Aku sudah berumur 17 tahun!!"

"Oh, ya? Haha, tubuhmu tak sesuai usiamu, Nak. Baiklah, Horan. Apa kau rindu berkelahi denganku?"

"Tidak!! Horan, tolong jangan lawan raksasa tua bangka itu! Aku tidak mau mencelakaimu," kataku sambil memegang lengan Horan.

"Tidak, Shaney. Kau tidak mencelakaiku. Aku memang harus bertarung dengan raksasa bangka ini, aku akan menang melawannya. Untuk menyelamatkanmu. Tenanglah. Pergilah ke tepi, atau kau akan ikut celaka." Ia mendorong lenganku pelan, lalu berlari menuju ke arah raksasa itu. Ia mengeluarkan koin dari sakunya, melemparnya ke atas dan seketika koin itu berubah menjadi pedang dan menyerang ke arah raksasa itu. Ia melemparkan pedang itu lalu seketika pedang itu berubah menjadi tombak. Hebat sekali dia.

Aku hanya bisa menatap ngeri perkelahian itu tanpa bisa berbuat apapun. Horan terlihat mungil sekali dibandingkan raksasa itu. Namun ia tangkas, dan kemampuan bertarungnya tak perlu diragukan. Tapi, aku benar-benar takut kehilangan dia. Aku tahu, aku baru mengenalnya. Tapi, tetap saja. Aku tak mau ia mati. Ia bertarung melawan raksasa itu karena aku, untuk melindungiku. Kulihat Horan diserang dengan trisula raksasa itu dan ia lenyap ke dalam pantai. Namun ia segera muncul kembali, raksasa itu menerjangnya kembali, dan Horan terlihat mulai melemah.

Tanpa berpikir pintar, aku menerjang ke arah pantai, ke arah perkelahian mereka.

"STOP!!! BERHENTI! HEI, RAKSASA TUA BANGKA!! JANGAN BUNUH PAHLAWANKU!!!!!!" Aku berteriak, dan aku menangis.

Aku berlari terus, tak perduli seberapa jauh pantai itu, aku memusatkan tujuanku untuk mencapai Horan, bukan pantai itu. Lalu kurasakan air di kakiku, aku sudah mencapai pantai. Kudengar Horan berteriak.

"SHANEY!! APA YANG KAU LAKUKAN?!! PERGILAH!!"

Terlambat, aku sudah mencapai tengah-tengah pantai. Ketika aku belum sempat melakukan hal apapun, aku tenggelam. Tenggelam ke dasar pantai itu. Tapi, airnya tidak berwarna biru, melainkan berwarna merah. Di mana aku ini?.

Kurasakan kulitku terbakar sekarang. Ada apa ini? Kenapa airnya seperti ini? Kurasakan kulit di seluruh tubuhku melepuh, aku ingin berteriak memanggil Horan tapi tak ada satu suara pun yang keluar. Aku tak bisa bernafas. Tubuhku dipenuhi oleh cairan lava itu.

Aku hanya bisa berdoa agar aku tetap hidup dan masih bisa bertemu Horan. Aku memejamkan mata. Dan, tiba-tiba saja, seseorang meraih pinggangku, dan menarikku ke atas.

----lanjut part 3----

Hanya mimpi?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang