Na, Jadilah Asisten Saya

222 25 0
                                    

Nana nyaris berlari kesetanan menuju ruang dekan setelah mendapat kabar besar pagi tadi. Di sepanjang perjalanan dari kos menuju kampus, Nana terus merapalkan doa, berharap dia tidak sedang bermimpi, apalagi dikibuli Pak Dekan Fakultas Keolahragaan yang kadang memang suka resek ke mahasiswanya.

Nana bersumpah akan menjitak kepala dekan botak itu jika hal tersebut benar-benar terjadi! Bikin dia sport jantung anak perawan saja!

Begitu tiba di depan pintu ruang dekan di lantai 7, Nana langsung mengetuk pintu dua kali lalu membukanya. Napasnya memburu, terlebih ketika sadar kalau Pak Dekan tidak sendirian di dalam tersebut.

"Nah, ini, Coach, mahasiswi pascasarjana yang Coach cari."

Jantung Nana bertalu semakin kencang, seperti ada kembang api yang berebut ingin meledak di sana. Senyumnya langsung melebar sampai tulang pipinya hampir pegal.

"Halo, Nana. Sayaㅡ"

"Coach Kino Chandra, pelatih badminton nasional sektor tunggal putra!" Nana menyela kalimat pria yang dia panggil Coach Kino Chandra dengan kecepatan cahaya, membuat tawa kecil di ruang Pak Dekan menggema.

"Loh, udah kenal saya, to, ternyata."

"Lebih tepatnya, nggak ada mahasiswa di fakultas ini yang nggak kenal Coach Kino. Saya memutuskan masuk Ilmu Keolahragaan setelah lihat Coach Kino di TV. Jadi, bisa dibilang Coach Kino adalah panutan saya," ujar Nana, kembali menyanjung Kino dengan kalimat manisnya.

Pria itu, Kino, tersenyum tipis. Setengah bebannya seolah terangkat melihat sambutan luar biasa yang Nana berikan padanya. Dia berharap, setengahnya lagi bisa ikut hilang setelah ini.

"Na, duduk, duduk. Coach Kino jauh-jauh datang ke sini buat ketemu kamu, lho," ucap Pak Dekan sambil mempersilakan Nana duduk.

"Baik, Pak."

Nanaㅡdiikuti dua orang lainnyaㅡmulai mendaratkan pantat di atas sofa dengan mata masih menatap Kino tak percaya. Jangan tanyakan bagaimana bahagianya dia hari ini. Rasanya seperti menang lotre dua miliar.

"Nana, saya akan langsung saja mengutarakan maksud saya mencari kamu sampai datang jauh-jauh ke sini," ujar Kino, sedikit menjeda kalimatnya. "Beberapa bulan lalu, saya sempat baca tesis kamu, dan saya suka dengan semua yang kamu tulis di sana. Saya merasa ... apa ya ... harus bekerja sama dengan kamu?"

Nana meremas tangannya kuat-kuat, berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu senang di depan Kino. Jaga image itu perlu, bukan?

"Terima kasih, Coach. Memangnya Coach mau kerja sama seperti apa? Penelitian bersama? Atau mungkin menerapkan teknik yang saya tulis di tesis dalam menemukan pemain muda baru?"

Ah, sial. Nana ternyata gagal menahan diri. Dia terlalu antusias sekarang.

Kino tersenyum kecil lalu menggeleng. "Bukan keduanya, Na," jawabnya lirih. "Saya mau kamu jadi asisten saya."

"Asisten?!"

Nana nyaris memekik tak percaya. Apa dirinya sedang ditawari jadi asisten pelatih nasional yang sudah mencetak banyak atlet berbakat itu? Seorang Nana yang bahkan belum benar-benar melepas status mahasiswa pascasarjananya? Dia?!

"Lebih tepatnya, jadi asisten saya untuk mengurus Wisnu. Kamu ... tau dia, kan?"

Senyum Nana perlahan memudar. Jika yang Kino maksud dengan Wisnu adalah Wisnu Jonathan, tentu dia tahu. Jangankan siapa Wisnu, Nana bahkan hafal track record-nya lima tahun terakhir. Sejak dia mulai dikenal banyak orang, melambung tinggi dan tak terkalahkan, sampai ... jatuh. Sejatuh-jatuhnya.

"Coach mau saya jadi asisten Coach supaya  bisa membantu Wisnu naik peringkat lagi?" tembak Nana langsung yang sialnya mendapat balasan anggukan dari Kino.

Nana menggeleng. Dia memang sangat mengagumi Kino sebagai seorang pelatih, tapi permintaannya nyaris tidak masuk akal.

"Saya nggak yakin bisa, Coach. Saya cuma mahasiswi pascasarjana semester akhir. Saya belum punya pengalaman melatih. Saya takut mengecewakan Coach danㅡ"

"Jika kamu berhasil, saya akan rekomendasikan kamu di mana pun kamu mau berkarier. Di dalam dan luar negeri."

Si-al-an. Tawaran Kino jelas bukan sekadar tawaran. Pelatih sektor tunggal putra bulutangkis itu bukan orang kaleng-kaleng. Sempat melatih di luar negeri, dia jelas punya banyak koneksi.

"Ambil saja tawaran Coach Kino, Nak Nana. Anggap ini titik awal kamu membangun karier. Bukan tidak mungkin dosen pembimbing dan dosen pengujimu nanti memberi nilai plus kalau hasil menjadi asisten Coach Kino memuaskan."

Lagi-lagi Nana terdiam. Sangat menggiurkan. Dia bahkan hampir goyah dan jadi besar kepala.

Apa dia memang sebaik itu di mata mereka?

"Bagaimana, Nana?" tanya Kino lagi, membuyarkan lamunan Nana.

"Apa Coach yakin saya bisa?" Nana bertanya balik, membuat Kino tersenyum.

"Saya nggak akan ada di sini kalau saya nggak yakin dengan kemampuan kamu."

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love & BadmintonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang