apa yang salah dengan berterus terang dari awal?

7 0 0
                                    

Saat itu pukul tujuh malam. Bintang-bintang di langit kota Malia gugur ke bumi dengan kelap kelip lampu bangunan di kota yang masif itu. Galina menatap ke luar jendela sambil menggenggam erat liontin kupu-kupu yang bersandar di dadanya, seakan menghitung jumlah jendela di bangunan seberangnya. Matanya yang bercelak nampak sendu. Ia merapikan gaun merah muda yang dikenakannya.

Malam itu adalah pesta pernikahan Hansel dan Riana, dua kawan yang ia kenal sejak kuliah. Ia pun merasa tak percaya bahwa ia diundang dalam acara itu, sebab mereka bertiga punya sejarah yang cukup memilukan; kebingungan memilih antara dua wanita, sifat yang tidak tegas, dan keraguan untuk berterus terang.

Walau nyaris setengah dekade telah berlalu, perasaan kecewa di hati Galina masih ada. Ia pun menghela nafas dan membuka lagi diari yang ditulisnya pada tahun 2019. Pada halaman itu pula disematkan sebuah foto seorang pria muda yang tertunduk memainkan ponselnya dan duduk di depan sebuah meja. Walau menunduk, wajahnya masih jelas terlihat. Foto tersebut nampak diambil secara spontan.

"Kálin, 15 Marš 2019--

Akhirnya sudah tiba. Sudah kuselesaikan tepat sebulan setelah ulang tahunku. Empat tahun keluar masuk tempat itu. Delapan semester menghabiskan uang agar bisa mendapatkan pekerjaan untuk mendapatkan uang. Ha! Sistem yang cemerlang. Ah, aku takkan menggembar-gemborkan hal itu lagi, semua orang sudah tahu. Lalu seperti biasa dengan hal-hal di dunia ini, sistem yang tidak adil ini akan tetap berjalan. Memang seperti itu adanya dan akan selalu seperti itu.

Aku memang sudah menginjak permukaan terendah dari harga diri. Ya, aku, Galina, telah menangis karena seorang laki-laki. Seluruh air di samudera di dunia ini takkan setara dengan rasa kecewaku. Aku tak pernah menangis karena seorang laki-laki hingga usiaku 21 tahun.

Ah, Hansel Finle – Byrne. Ia terlihat begitu berbeda sekarang setelah ia memilih Riana daripada aku. Aku pun tak tahu apakah aku pernah menjadi salah satu pilihannya, mungkin saja ia sudah mengambil keputusan bahkan sebelum aku tiba di hidupnya. Ia mampu membuatku merasa istimewa, seperti menari pelan di aula di bawah sinar bintang dan bulan dalam alunan The Swan oleh Saint-Saëns. Membuatku merasa ingin menyentuh wajahnya dan memeluknya erat sambil mencium aroma maskulin tubuhnya ketika dansa telah usai.

Dahulu rambutnya yang hitam legam itu terlihat sangat indah, seperti Leonardo DiCaprio di film Titanic. Oh, ia terlihat lebih keren dari Jack Dawson dengan berewok tipisnya. Senyumannya lebih hangat dari sinar matahari di musim kemarau. Kedua butir matanya berbinar bagai Canopus dan Sirius di langit malam. Ketika ia berbicara, suaranya lebih merdu dan menggetarkan hati daripada klimaks La Folia oleh Vivaldi, lebih sangar dari Elivagar oleh Heilung, namun lebih lembut dari Nocturne oleh Chopin. Bisikannya membuat telingaku bergidik hingga membuat seluruh tubuhku gugup dan dingin. Kini rambutnya lebih pendek serta janggut dan kumis itu sudah dicukur bersih. Ah, cukup membosankan tapi apa peduliku.

Saat semua kawan yang lulus hari itu sedang berfoto ria, aku terduduk sendiri memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya. Kemana aku akan pergi? Lalu kutatap lagi hadiah dan pesan-pesan selamat dari kawan-kawanku. Salah satunya dari Riana. Sebuah buket bunga. Kubaca pesan di dalamnya dan senyumanku luntur seketika. Buket itu ditandai "Riana dan Hansel". Oh, saat itu juga aku merasa tak berdaya, bagai Giselle saat ia sadar bahwa Albrecht telah menipunya. Begitu tiba di rumah, aku langsung menangis sepuasnya seperti perempuan lemah yang tak berdaya. Senyuman puas di wajah Riana ketika menyerahkan bunga itu terbayang diwajahku dan seakan tak cukup pula, aku masih melihat mereka berdua pada pantulan di setiap butir air mataku.

Aku tak kecewa dengan pilihannya. Ia punya hak untuk memilih siapa saja. Namun aku begitu marah dan sedih padanya karena ia mempermainkanku, seperti ia tak punya empati. Menyalakan bara dan membiarkannya menyulut seluruh jiwaku begitu saja. Mungkin semuanya salahku sendiri karena pernah jatuh hati padanya. Yang terburuknya adalah setelah perasaanku hilang dan aku hanya berbicara dengannya sebagai teman, ia berlagak begitu arogan dan menghindariku seakan menganggapku masih mengejarnya. Ew! Tapi sudahlah. Aku terdengar sangat kekanak-kanakan, mencoba mencari perhatian dan mencoba berteman dengan orang yang jelas tak ingin berurusan denganku. Boże, aku memalukan sekali.

suatu hari, kubuka diari dan mengingat lagi hal-hal yang tak sempat diungkapkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang