serpihan kaca

2 0 0
                                    

Tak berhenti Svea menangis, meratapi tangannya yang terus berdarah. Namun semakin deras darahnya mengalir, semakin erat pula ia menggenggam serpihan kaca itu, membuat tangisannya semakin pilu karena rasa sakit yang ia alami.

Akhirnya, perlahan ia membuka tangannya. Terlihatlah serpihan kaca yang terbalur darah merah. Ia tersenyum pilu dan menatapnya bagai seorang induk kucing menatap anaknya.

"Ah, apakah kau ingat bahwa dahulu serpihan kaca ini adalah gelas yang begitu indah?" kenangnya sambil tersenyum.

Seþra (Sethra) kawannya, menghela nafas dan menatap Svea dengan pilu. Gaun kelabu yang dikenakannya nampak usang. Ia mencoba menyentuh sahabatnya, namun terhenti begitu saja.

"Ia membuat tanganmu berdarah," ucapnya dengan suara yang parau.

"Serpihan kaca ini dahulu adalah gelas bordeaux yang begitu aku suka. Ia telah menjadi wadah cabernet sauvignon yang kutenggak hampir tiap malam hingga akhirnya gelas ini jatuh dan pecah," sambung Svea sambil tertawa kecil. Ia lalu menggenggam erat serpihan kaca itu lagi dan menangis akan rasa sakitnya. Ia mendekatkan tangannya ke dada, menodai gaun putihnya dengan darah.

Di antara sesegukan itu, ia mendongak pada kawannya. "Dari mana saja kau, Seþra?" tanyanya, seakan baru sadar akan kehadiran Seþra yang selalu diiringi hembusan angin. "Kau tak pernah menemuiku saat aku masih bersama Eovan. Tanpamu, aku merasa sangat sendiri."

"Kau memiliki Eovan. Kau tak perlu kehadiranku," sahut Seþra dengan sentuhan sarkasme di suaranya.

Svea menggenggam serpihan kaca itu dengan erat lagi, namun kali ini ia tak hanya menangis. Di antara air matanya, ia tertawa. Ada sedikit hembusan nafas dan kenangan manis di dalam tawanya, seakan mengingat sesuatu.

"Ia membelaiku, memelukku, mengecupku, namun aku tak merasakan apapun. Ia adalah pertama untuk segalanya bagiku. Teman-temannya adalah teman-teman pertamaku pula. Ia membuatku merasa istimewa," ratap Svea lagi. Seþra menghela nafas dan duduk di samping kawannya, namun masih risih untuk menyentuhnya.

"Kau masih ingat, bukan? Pertama kali kami menghabiskan waktu bersama? Di saat pertama kali bibir bertemu, saat itulah aku tau kami telah bersatu. Namun tak sangka pula, semuanya menjadi kosong dalam waktu sesingkat itu."

Svea terus meratap, menggenggam serpihan kaca, membuat darah mengalir deras dari tangannya. Saat jemarinya nyaris putus dan tangisannya semakin menjadi-jadi, saat itulah Seþra mulai ketakutan. Keraguan meninggalkan otaknya. Ia menyentuh pelipis Svea. Wanita itu mendongak. Kaca itu kini digenggam di ujung jemarinya. Darah telah berhenti mengalir. Entah berapa saat lamanya, Svea hanya menatap kawannya yang mulai bersinar di pelupuk matanya.

"Serpihan kaca itu pernah menjadi sesuatu yang begitu kau cintai. Namun, ia telah pecah. Hancur," bujuk Seþra. Suaranya yang parau kini melemah lembut, bagai bergema di kepala Svea.

"Hancur," ulang Svea.

Seþra mendongak. "Bertahan pada kenangannya hanya akan membuatmu tersiksa."

"Namun aku sangat mencintainya."

"Lihatlah apa yang telah dilakukannya padamu!" tegur Seþra, kini amarah membuat suaranya kembali parau. Svea menatap tangannya dan tertegun, seakan baru menyadari betapa kacau keadaannya saat ini. Seperti baru teringat betapa pilu dan tak berguna apa yang telah ia lakukan; bertahan dan melukai diri sendiri.

"Secerca darahmu menodai tangannya juga, ingat?" tanya Seþra. Svea mendongak.

Waktu seakan berhenti. Benda di tangannya seperti melekat pada jemarinya. Namun dengan keinginan yang kuat dan rasa pasrah yang sudah memenuhi hatinya, kaca itu pun dihempaskannya ke lantai. Suaranya seperti mendengung, membuat telinganya tuli. Udara menghilang dari paru-parunya.

Seþra akhirnya memeluk kawannya. Svea memeluknya kembali, berusaha untuk menangis kembali namun air mata telah mengering. Ia pun hanya menghembuskan nafas panjang, bagai baru kali itu ia menghirup udara dari hutan hujan yang segar. Beberapa saat kemudian, barulah ia teringat bahwa ia menodai gaun putih kawannya dengan tangannya yang penuh darah. Namun, baru ia hendak melepaskan pelukannya, Seþra telah menghilang. Ia memperhatikan tangannya lagi, dan darah itu telah hilang, berganti dengan guratan dan bekas luka sobekan yang takkan pudar.

"Namun, bekas luka ini akan mengingatkanku bahwa masa suram telah berakhir dan hari-hari yang indah akan tiba."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

suatu hari, kubuka diari dan mengingat lagi hal-hal yang tak sempat diungkapkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang