2. Duka Keluarga

3 0 0
                                    

Tangis melengking di kediaman keluarga sederhana itu terdengar begitu menyayat hati. Di kala seorang gadis usia 10 tahun menangis di atas raga yang sudah tidak bernyawa serta terbujur kaku. Tangis Pilu dari para kerabat menjadi saksi kesedihan keluarga itu.

"Ibu... Ibu!" Rintihan kesedihan beserta panggilan itu keluar dengan lugas dari mulut sang anak.

"Kamu yang sabar, Nak!" Ucapan yang diiringi tangis saat memeluk raga gadis kecil itu, tubuh yang sama-sama bergetar menandakan kehilangan yang teramat dalam.

Apa jadinya sebuah keluarga, jika si pemaran utama pergi untuk selamanya?

Keluarga akan terasa hambar tanpa kelengkapan. Kebahagiaan keluarga ialah ibu, ayah dan anak-anak. Tapi bagaimana jika salah satunya telah berpulang? Jelas akan berbeda jalan ceritanya, anak akan kekurangan kasih sayang, karna sosok ayah akan sulit mengantikan sosok ibu.

Hingga tangis kembali melengking, saat jasad itu telah diangkat untuk pergi ke persinggahan terakhir! Keluarga itu saling menguatkan dengan memeluk satu sama lain.

Pallakna tojeng anjaya appasisa'la'! (Tega sekali kematian memisahkan!) gumam sang ayah yang menatap jasad istrinya telah dikebumikan. Rasa sakit tidak berdarah itu justru menanamkan luka yang sulit disembuhkan, hanya waktu yang menjadi obat pelipur lara.

Apalagi saat menatap sosok gadis kecil yang masih membutuhkan kasih sayang serta bimbingan. Laki-laki kuat itu menitihkan air mata, akhirnya hidup kalah dengan takdir kematian.

Berbeda dengan pria remaja yang kini tengah menatap tidak percaya, melihat jasad itu sudah ditimbun tanah. Deruh napasnya sudah tidak beraturan, sesak kian menerjang, biji matanya semerah biji saga, kepalan tangan tidak terima, namun, sesaat ia tersadar bahwa dunia hanya sebagai tempat persinggahan. Mati pasti akan menemui semua mahluk hidup di muka bumi ini.

"Kakak!" Remaja usia 20 tahun itu menoleh pada gadis kecil yang ikut merasakan pedihnya kehidupan karna kematian, ia merentangkan tangan agar gadis kecil itu berhambur memeluknya.

"Kakak, Ibu di mana?" Mendengar ucapan yang keluar dari mulut sang adik membuatnya menahan tangis, akan tetapi, ia kalah dengan kenyataan. Tangisnya pun pecah, dengan tubuh bergetar ia berusaha berucap, "Ibu udah pergi, dia udah bahagia bersama Tuhan!" Kemudian ia menciumi pipi sang adik lalu memeluknya erat.

"Apa Ibu tidak bahagia bersama kita, sehingga Ibu lebih memilih bersama Tuhan?" tanya gadis kecil itu polos.

"Tidak, Sayang! Tetapi, tugas Ibu telah selesai di dunia."

"Tidak, Kak! Aku masih kecil, aku masih membutuhkan Ibu!"

Raga pria remaja itu kembali memeluk tubuh si gadis kecil, tangisnya kian pecah.

"Ada Kakak dan Ayah! Kita satu keluarga 'kan?"

"Tidak. Tidak ada Ibu, keluarga tidak akan lengkap tanpa Ibu!" Gadis kecil itu merajuk.

"Tapi Ibu tidak akan pernah bisa kembali, Sayang!" bujuk sang kakak dengar tersenyum, sialnya senyum itu dibalut getir pilu.

Sadar ibunya sudah berpulang, ia berlari memasuki kamar, menangis di dalam sana, meluapkan kesedihan dengan menatap foto sang Ibu.

Ibu ....

Tidak ada lagi yang mengurusnya, tidak ada lagi yang memanjakan dirinya. Mengikat rambut ketika ke sekolah. Memasak masakan kesukaannya. Memarahinya jika ia salah atau hanya sekedar tidak menurut, gadis kecil itu mulai mengingat kenangan kecilnya bersama sang ibu.

Flasback.

"Nak, tolong belikang Ibu sabun!"

"Hmmm Ibu, aku lagi main."

Kisah CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang