31. Terungkap

4.3K 327 17
                                    







"Nada!"

Merasa terpanggil, Nada refleks berpaling, langkahnya terjeda. Pun Eila. Ibu satu anak itu terkesiap kaget menemukan Restu melangkah mendekat sambil menyungging senyum hangat. "Mas Restu?"

"Uncle Tutu?" Eila ikut-ikutan.

Restu berhenti tepat di hadapan Nada dan Eila, lalu sedikit membungkukkan tubuh guna menggapai puncak kepala Eila sebelum pemilik PT. Bragi Sejahtera itu kembali menatap Nada. "Kalian di sini juga?" Anggukkan Nada merespons. "Kebetulan saya habis kelar meeting sama klien. Kalau gitu, kita bareng aja. Kan rumah kita---"

"Tapi maaf, Mas, nggak usah. Makasih," potong Nada, menolak. Ditariknya Eila pergi dan Restu segera menyusul.

"Nad," panggil Restu. "Kenapa kamu ngehindarin saya? Apa saya ada salah sama kamu?" cecarnya, "Terus kata ibu saya, kamu resign dari butik. Kenapa? Tolong jangan kayak gini. Kalau ada kesalahpahaman diantara kita, bicarakan baik-baik. Biar kalau saya yang salah, saya bisa introspeksi diri."

Masalahnya yang jadi titik perkara bukan Restu, tetapi ketidaknyamanan ibu pria itu. Lalu, apa Nada akan membeberkan? Tentu saja tidak. Nada cukup tahu diri. Meski ibunya berulangkali menegaskan bahwa tidak seharusnya Nada resign hanya karena problem pribadi yang nggak semestinya dicampuradukan dengan pekerjaan. Tapi ini yang meminta sang owner. Nada yang cuma karyawan bisa apa? Memangnya dia punya kuasa?

"Kita nggak ada masalah kok, Mas. Saya emang lagi menghindari banyak orang aja. Permisi." Nada mempercepat langkah dengan Eila di gandengannya, diiringi setetes bulir bening yang mengalir membasahi pipi.

Stigma janda yang melekat di mata masyarakat, membuat Nada harus sabar menghadapi mulut-mulut jahat. Padahal tidak semua janda senang menggoda dan tebar pesona. Mereka yang berstatus sebagai janda bukan karena keinginan, bisa jadi pilihan karena biduk rumah tangga yang mereka jalani terlalu menyakitkan. Dan tak jauh berbeda dengan mereka yang bersuami, mereka punya sisi baik dan buruknya masing-masing. Hanya saja mereka memilih sendiri.

Tapi ini bukan soal status.

Restu pun pernah menikah.

Mungkin karena Nada bukan dari kalangan keluarga berada.

Menyadari itu, bibir Nada melengkungkan senyum masam. Tangannya yang bebas bergerak menuju pipi, dihapusnya jejak air mata yang membekas di sana. Tidak. Ia tidak boleh lemah. Nyatanya, bertahan selama lima tahun tanpa pendamping, ia tetap bisa bernapas dengan baik.

Ia bahkan mampu menghidupi Eila.

Merawat dan menjaga putrinya.

"Mama capek," keluh Eila.

Pandangan Nada turun. Ia hampir melupakan makhluk kecil di sampingnya. "Kita duduk di sana bentar ya?" Nada menunjuk bangku di tepi lapangan. Eila mengikuti arah jari telunjuk ibunya, kemudian mengangguk pelan. Setelahnya, mereka berderap ke sana, duduk bersebelahan.

Lima tahun tinggal di kota Kembang, Nada paham jalan-jalan alternatif yang bisa dilewati tanpa memakan banyak waktu. Maka dari itu, ia memilih jalan Anggrek supaya cepat sampai rumah. Dan sambil istirahat, Nada memesan ojek online agar putrinya tidak kelelahan. Mengingat kondisi Eila yang belum sepenuhnya stabil. Namun, pada saat hendak memesan ojek online, telinganya menangkap gelegar suara tawa yang cenderung menyeramkan. Otomatis Nada menoleh. Matanya membeliak shock mendapati dua pria berbadan besar, mendekatinya dengan tatapan lapar.

"Siapa kalian?" Nada peluk anaknya sambil berjaga-jaga.

"Kamu nggak perlu tahu siapa kami, Cantik," sahut pria berkepala pelontos dengan tato abstrak di lengan kirinya yang terbuka.

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang