Dia menutup mataku dalam beberapa menit, lebih tepatnya sampai pintu diluar sudah ditutup. Saat itu dia melepaskan tangannya, aku pun mendongak ke atas untuk melihatnya."Kenapa?"
"Pengen aja."
Lalu dia pergi meninggalkanku di dapur, aku jadi penasaran.
Katanya anak 12 tahun lagi suka penasaran, kan? Karena itu, aku harus tau apa yang terjadi tadi. Siapa orang yang membuat Aether menutup mataku.
Jadi kumulai dulu dengan mencari Rei, karena dia yang tadi membuka pintunya, jadi dia pasti tau siapa orang itu. Kalau pun tidak, dia kan pernah melihat orang itu.
Aku mencari Rei di kamar kami, dan aku menemukannya. Bagus, disana juga tidak ada Elizabeth ataupun Evan. Entah kemana mereka pergi, saat ini bukan urusanku.
Aku orang sibuk.
Aku mendatangi Rei yang tampaknya sedang menggambar dibukunya. "Rei, tadi kamu inget ga siapa yg didepan pintu?"
"Hah, yang mana?"
"...BODOH IH. YANG TADI KAMU BUKAIN PINTUNYA."
"OOO YANG ITU. gatau lupa. Tadi ga sempet aku liat, soalnya kak Eurus tiba tiba dateng. Dia nyuruh aku balik aja, yaudah aku balik."
"Inget ga orangnya gimana?"
"Ga."
"Yg bnr."
"Iya bener, kenapa dah?"
"Ngga, penasaran aja."
"Terserah."
Yaudah deh aku tinggalin aja tuh si Rei dikamar. Trus ku banting lah tuh pintu sampe ngangetin orang.
Tiba tiba disamping aku ada orang, mana mukanya deket banget lagi. Saking kagetnya aku sampai lompat dari depan pintu itu.
"Holy shit my man!" Kataku.
Tepat setelah itu dia langsung melempar sebuah boneka ke wajahku, ya, headshot.
"Kata bang Michael ga boleh ngomong kasar!" Ucap sang pemilik boneka itu. Elizabeth Afton.
"Ya maap." Balasku, dan aku mengambil boneka Elizabeth lalu memberikannya kepadanya.
Untungnya dia menerima bonekanya tadi. Lantas, apa yang akan ku lakukan selanjutnya. Aku memiringkan kepalaku sedikit dan menatapnya, dia yg menyadari itu pun ikut mengikuti ku.
"Kamu... Tau ga tadi yg dateng siapa?"
Oke, itu pertanyaan yang tiba tiba banget.
"Ngga, soalnya tadi aku sama Evan di kamar lain." Balasnya sambil mengelus boneka itu. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan. "Okay..."
Keheningan menyelimuti kami berdua di depan kamar Rei. Itu karena kami berdua memang kurang dekat, dan aku yang bisa dibilang agak pendiam. Karena itu juga Elizabeth lebih menyukai bermain bersama Rei dibandingkan diriku.
Aku tak bisa menyalahkannya hanya karena hal kecil itu. Aku juga tak terlalu memikirkannya. "Oh iya Rei dikamar kan?" Elizabeth akhirnya lanjut membuat suasana tidak terlalu canggung. Dan aku membalasnya dengan anggukan.
Hanya sampai situ perbincangan kami, Elizabeth yg masuk ke kamar Rei dan lanjut bermain boneka.
.... Dan berbincang? Mungkin.
Saat itu pun aku melihat Evan yang baru keluar dari kamar kak Eurus, dia menatapku dan juga menunjuk ke arah es krim yg sedang ku pegang.
"Kamu mau?" Aku bertanya keapdanya yg sedang berjalan ke arahku, dia mengangguk sebagai respon. Lalu aku memintanya untuk membuka mulutnya, Evan yang penurut itu mengikutinya dan aku langsung memasukkan es krim itu ke mulutnya.
Dia sempat tersedak karena terkejut.
Jadi aku membantunya dengan menepuk nepuk pundaknya dengan perlahan, dia mengeluarkan es krimnya dulu dan berbicara. "BUKANNYA INI BEKAS KAMU?!" Katanya yg berteriak sambil menutupi wajahnya.
"Iya." Aku balas dengan cepat.
"KOK—"
"Baru dikit doang kok, itu meleleh Karna keseringan diluar. Palingan jilat doang."
"... Tetep aja..."
"Kalo gamau ya aku makan lagi."
Aku meraih es krim yg ada di tangan kanannya, sayangnya karena di cepat, dia langsung menjauhkannya dariku. Dan melahap es krim itu tepat di depanku.
Es krim itu langsung habis dalam sekali gigitan....
Aku yg melihat itu langsung merasa takjub, dia bahkan tidak menunjukkan tanda tanda keidnginan ataupun tersedak. Seperti tadi.
Setelah itu dia membuang mukanya dan mengatakan, "enak."
Naon atuh yg enak?
"Es krimnya." Tambahnya. Dia mencoba menatapku dengan diam diam, tapi karena aku kesal maka aku mendekatinya. Mengikuti arah kepalanya dan menyeratakan tatapan kami.
"Kamu tau ga, orang yg tadi datang ke rumah ini?" Tanyaku, aku tidak membuang sedikitpun peluang untuk menghindari tatapannya. Aku sengaja melakukan itu agar aku bisa tenang dan tak memikirkan orang itu.
"...ngga" jawabnya dengan ragu. Justru itu malah membuatku tidak yakin dengan ucapannya, apa dia benar benar tidak tau? Atau dia sedang menyembunyikan sesuatu.
Aku terus memerhatikan pergerakannya, dan juga terus menatapnya. Anak ini sangat mencurigakan!
Lihat lah, dia tidak berani menatapku dan malah membuang muka. Telinganya yg terlihat merah dan dia yg sedikit keringatan. Kalau keringatan aku tak tau.
Atau mungkin.... Dia seperti ini karena dia benar benar jujur? Dan aku yang terlalu mendorongnya menjawab pertanyaan ku?
"Trus kamu ngapain tadi?"
"Dikamar... Sama kak Lizzy dan Michael." Bisiknya.
Nah, kan. Jawaban yang sama, berarti mereka berdua jujur. Tapi entah kenapa aku merasa masih ada yang janggal.
"Oke..." aku mengangguk sebagai respon. Lagi lagi aku merasa sedikit kecewa karena mendapatkan jawaban yang sama. Ah, mungkin karena aku mengharapkan jawaban yang lebih menarik. Atau karena rasa penasaranku yang terlalu menjadi jadi.
Lagi lagi sebuah keheningan yg canggung memenuhi lingkungan kami. Yah, kakak adik yang satu ini sama saja. Dua duanya pintar membuatku tak binga mengatakan apapun.
Haruskah aku menamatkan chapter ini sampai disini?
Sepertinya iya.