Di kafe, Reynov khawatir dengan kondisi Amara. Pukul 13.00. Tidak ada kabar dari Amara. Tidak ada pula telepon dari Amara untuk izin bolos kerja. Reynov mulai panik. Jangan-jangan Amara diculik Erik. Akhirnya ia putuskan untuk menyambangi rumah Amara.
Reynov lihat gerbang rumah itu tidak dikunci. Ia panik, khawatir ada orang lain yang masuk ke rumah itu. Ia langsung menuju kamar Amara dan ia dapati Amara tidur berselimut tebal.
"Amara! Kamu sakit?" Reynov memegang kening Amara. Demam tinggi.
"Reynov?" Amara membuka mata sedikit. Ia tidur miring dengan selimut mencapai dagu.
"Udah makan? Udah minum obat?" Reynov melihat sebungkus obat penurun demam di meja.
"Kamu ngapain di sini?" Amara bertanya lirih. "Kok, tahu rumah saya?"
Reynov tidak menjawab. Ia memegang pipi Amara. Apa kemarin dia menampar terlalu keras? Tapi tidak ada tanda memar sama sekali. Ia lalu melihat leher Amara. Apa kemarin pisaunya mengenai leher Amara? Tidak ada tanda luka juga. Lalu kenapa Amara sakit? Apa obat bius yang ia berikan terlalu tinggi dosisnya?
"Kamu bisa di sini sebentar? Sampai Lala dateng," pinta Amara. "Saya takut sendirian."
Reynov baru paham. Stress pasca trauma. Penyekapan kemarin ternyata membuat psikis Amara terguncang hingga demam.
"Kemarin ada pencuri masuk. Saya takut sendirian." Amara berbohong.
Miris. Amara sampai berbohong ada pencurian. Padahal Reynov yang menculiknya kemarin.
"Oke. Saya tungguin, ya." Reynov lalu duduk di lantai bersandar pada tempat tidur Amara.
"Thanks." Amara kemudian memejamkan mata. Ia benar-benar takut jika sendirian. Dan ia juga terus teringat kata-kata ayahnya, "Saya lebih cinta jabatan saya. Saya tidak peduli anak saya hidup atau mati!" Kalimat itu berputar di kepala Amara. Tega sekali. Membuatnya kian pusing hingga demam tinggi.
Reynov menggenggam tangan Amara. Merasa bersalah. Penculikan kemarin sangat sia-sia. Ia kira Amara bisa jadi umpan untuk membuat Ali Sandi mengaku, tapi rupanya Amara benar-benar telah dibuang oleh ayah kandungnya sendiri.
"Maaf, Amara."
Reynov lalu mengambil ponsel Amara. Menyuruh Lala supaya tidak perlu datang. Ia yang akan menjaga Amara. Setidaknya dengan begini ia bisa menebus rasa bersalahnya.
*****
Reynov menunggu sambil sesekali berkeliling rumah Amara. Tapi baru sebentar ia meninggalkan kamar, tiba-tiba Amara berteriak. Reynov segera berlari. Amara terbangun dan tampak ketakutan.
"Ada yang dateng! Tutup pintunya! Orang itu ada di situ." Amara menceracau. Ia berhalusinasi.
"Enggak ada yang dateng! Nggak ada siapa-siapa!"
"Dia mau bunuh kita! Tutup pintunya! Dia di sana! Dia bisa ke sini!" Amara mulai menangis.
"Amara! It's okay, It's okay! Itu cuma mimpi, oke?" Reynov memeluk Amara. Suhu badan perempuan itu yang tadinya tinggi kini mendadak menjadi sangat dingin, hingga Amara menggigil.
"Ada pembunuh di sana! Dia bisa ke sini buat bunuh kita! Tutup pintunya! Buruan!"
"Enggak, Amara. Itu cuma mimpi. Enggak ada orang lain!"
"Ayah nggak sayang lagi sama Arina! Ayah bahkan nggak dateng di pemakaman ibu! Dan ayah nggak peduli kalau Arina diculik atau dibunuh sekalian!"
Amara tiba-tiba membicarakan ayahnya. Halusinasinya berubah. Ia pikir ayahnya ada di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiasco Kafe (END lengkap)
Teen FictionAmara, mahasiswi drop out yang sekarang menjadi barista di Fiasco Kafe. Ia senang bisa bekerja di sana. Tapi, Reynov si pemilik Kafe mulai mencurigai Amara karena Amara bisa berbahasa Belanda, tahu nama senjata, dan tahu hal-hal medis. Siapa Amara...