2. Nyanyian kecil.

4 0 0
                                    

Rumah Rara



"Yuk, masuk!" Laras mengajak putrinya yang bernama Chandara Lavani untuk masuk kerumah baru mereka.

Sejak kepergian sang suami, Laras harus menjual rumah lama dan membeli rumah yang lebih murah. Sebuah rumah yang berada di area perbukitan yang sejuk. Cocok sekali untuknya yang seorang penulis novel. Ia menantikan inspirasi masuk kedalam kepalanya di rumah yang berudara sejuk dan tenang ini. Jauh dari hiruk pikuk area kota yang ramai.

Chandara kini berusia 12 tahun. Ia akan melanjutkan Sekolah Menengah Pertamanya didekat rumahnya kini. Ia tidak membantah saat harus pindah ke lingkungan baru. Anak yang introvert ini tentu senang memiliki lingkungan yang lebih tenang dibanding rumahnya dulu. Dekat dengan gedung perkantoran yang setiap harinya bising dan macet.

"Kamar Rara dimana, Ma?" Chandara tampak celingukan melihat kondisi sekitar rumah  barunya.

"Kamar Rara dibelakang. Pemandangannya langsung ke halaman belakang. Kamu pasti suka," jawab Laras.

Chandara pun melangkahkan kakinya menuju kamar yang ditunjuk Laras untuknya. Kamar yang baru dirapikan sebelum mereka datang. Masih tercium cat yang baru kering. Kamarnya bernuansa pastel, dengan konsep minimalis. Ia pun merebahkan tubuhnya keatas ranjang.

Sedangkan Laras masih sibuk dengan barang-barang mereka, dibantu oleh bik Imas dan juga satpam setempat. Rumah yang sudah lama tak ditnggali itu direnovasi sedikit. Dirapikan yang sudah rusak. Namun, bangunan aslinya tidak berubah. Ada tiga kamar yang pas untuk mereka bertiga. Tidak banyak sekat di rumah tersebut. Ruang tamu hanya dipisahkan oleh partisi berupa almari pajangan. Kamar utama berdampingan dengan ruang keluarga yang biasa dipakai menonton TV. Kamar tengah diisi bik Imas dan kamar belakang diisi oleh Chandara. Bersebrangan dengan ruang makan dan dapur bersih. Semua kamar memiliki kamar mandi sendiri. Rumah yang terbilang besar ini memang terkonsep untuk kamar orang tua dan dua anak. Ada kamar mandi di belakang yang berdampingan dengan dapur kotor.

Bik Imas memang sudah ikut Laras lama. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri. Wanita yang berumur 50 tahun tersebut masih terbilang segar. Ia yang mengasuh Chandara sejak bayi.

TOK … TOK … TOK …

"Neng, makan yuk! Bibik udah masakin Fried Chicken kesukaan Neng." Bik Imas membangunkan Chandara yang tak sengaja tertidur. Perjalanan yang lumayan memakan waktu karena macet tadi pasti membuatnya penat dan lelah. Walau masih dalam kota, perjalanan dari rumah lama kerumah baru bahkan ditempuh selama 3 jam. Begitulah sisi buruk kota Bandung disaat akhir pekan. Macet dimana-mana.

Chandara mengucek matanya dan membiasakan pandangannya mengitari kamar tidurnya. Jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Sekitar 2 jam ia tertidur pulas. " Iya, Bik," sahutnya sambil berusaha bangun dari ranjangnya.

Sore ini, lembayung hadir mengguratkan keindahannya. Chandara melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mencuci muka agar  hilang rasa kantuknya. "Hihihi …." Terdengar gelak tawa kecil dari arah halaman belakang. "Hah?" Chandara buru-buru mengusap wajahnya denga handuk kecil. Mencoba menajamkan pendengarannya, namun tawa kecil itu tak muncul lagi. Ia pun tak hiraukan hal itu lagi. Gegas menuju meja makan dan duduk untuk menyantap makanan kesukaannya yang sudah dibuatkan bik Imas tadi.

"Ra, abis makan, bantu Mama rapihin barang, ya!" Chandara hanya mengangguk karena mulutnya sedang mengunyah ayam tepung krispi kesukaannya. Laras pun tak lama bergabung dengan Chandara, menikmati makan siang yang kesorean karena sibuk mengeluarkan barang yang penting terlebih dahulu. Perlengkapan makan, dapur dan alat kebersihan sudah keluar dari dusnya. Itu mengapa bik Imas sudah bisa masak untuk mereka. "Bik, makan dulu! Nanti kita lanjut," titah Laras.

"Iya, Buk." Bik Imas pun bergabung dengan mereka berdua. "Oh iya, Buk. Kata pak satpam tadi, besok kalau mau lapor pak RT, rumahnya yang nomer 25. Lima rumah dari sini."

"Ya. Besok pagi saya kesana. Habis ini keluarkan peralatan mandi juga baju, ya. Biar bisa mandi dan ganti baju sebelum tidur. Selebihnya, kita lanjut besok."

"Iya, Buk."

Mereka bertiga menikmati makanan yang sudah disantap habis tak bersisa. Perut sudah merasa kenyang. Mereka berbincang santai di meja makan sebelum kembali berjibaku dengan dus-dus yang masih belum dibuka. "Ma, rumah ini kan, gedenya hampir sama kayak rumah kita dulu. Tapi kok, murah banget?" tanya Chandara penasaran.

"Itu namanya rejeki kita. Memang, rumah ini kosong udah 8 tahun. Tapi, tetap terawat. Makanya, Mama beruntung banget dapat rumah ini. Mama harap, kamu juga suka tinggal disini. Masih ada waktu libur dua minggu sebelum kelulusan dan nyari sekolah kamu deket-deket sini. Kamu manfaatin libur kamu buat adaptasi disini," ujar Laras.

Chandara mengangguk. "Aku suka sih. Gak bising. Halaman belakang bisa aku sulap jadi kebun bungaku nanti. Aku pengen tanam banyak bunga, jadi kalau aku buka jendela kan, wangi."

"Iya, Sayang. Disini banyak jual tanaman kok. Kamu pasti suka. Sekalian juga taman depan samping garasi. Mama percayakan halaman depan dan belakang biar disulap cantik sama Rara." Laras membelai anaknya yang duduk disampingnya. "Udah, yuk! Kita buka dus lagi. Biar bisa cepet istirahat," ajak Laras.

***
"Abi teh ayeuna gaduh hiji boneka.
Teu kinten saena sareng lucuna …."

Chandara gelisah dalam tidurnya mendengar nyanyian khas lagu anak-anak. Ia terbangun dari tidurnya dan berusaha mencari asal suara tersebut. Jam menunjukkan pukul 2 malam. Ia perlahan membuka pintu kamarnya dan melangkah kecil untuk mencari suara yang ia dengar tadi. Kondisi rumah masih gelap. Hanya terbantu bias sinar dari lampu luar. Ia meraba dinding untuk menyalakan lampu. Matanya mengerjap cepat saat lampu menyala yang membuatnya silau unuk sesaat. Namun, suara nyanyian tadi tak terdengar lagi. Ia merasa seseorang berjalam di ruang tamu yang berada di belakangnya. Ia membalikkan tubuhnya dengan cepat. Namun, tak ada siapa-siapa. Bulu kuduknya berdiri sekarang. Entah mengapa, ia merasa merinding. Ia kembali melangkahkan kaki untuk masuk kedalam kamarnya hingga akhirnya, ia merasa bahunya dicolek dari belakang, "Aaaaaa …." Chandara menjerit ketakutan sambil memejamkan mata.

Laras dan bik Imas tentu bergegas keluar kamar mendengar jeritan Chandara. "Kamu kenapa, Ra?" Laras memeluk anaknya yang ketakutan.

"Bahu aku ada yang nyolek, Ma."

"Itu perasaa kamu aja. Mungkin ada cicak yang jatuh. Lagian, kamu kok kebangun jam segini. Masih jam 2 loh ini," tanya Laras.

"Kalian dengar gak sih, ada yang nyanyi?" Chandara berusaha menceritakan apa yang ia dengar tadi.

"Kamu pasti mimpi. Kecapekan mungkin. Ya udah, tidur lagi, ya!"

"Rara boleh gak malam ini tidur sama Mama?" rajuk Chandara.

"Ya, boleh. Sudah Bik, tidur lagi. Kita semua masih kecapekan," ujar Laras. Akhirnya Chandara masuk kedalam kamar Laras dan tidur bersama sang mama. Walau hatinya masih merasakan keanehan yang tak bisa ia jabarkan, Chandara berusaha untuk memejamkan matanya.





***

Rumah Rara.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang