"Reynov! Saya mau tanya sesuatu!" Hari itu Amara tiba-tiba mencegat Reynov.
"Apa?" Reynov menyambut jutek seperti biasa. "Satu menit!"
Amara langsung menembak, "Orang yang ngaku sebagai hater itu cuma orang yang Klarisa sewa aja, kan? Pelaku penyebaran foto-foto yang sebenarnya itu bukan dia, kan? Karena kamu pengacaranya, kamu pasti tahu pelaku aslinya!"
Amara yakin orang yang mengaku hater Klarisa itu hanya orang bayaran saja. Ia juga yakin pelaku sebenarnya di kasus Klarisa adalah pelaku penculikannya.
Reynov tidak menyangka Amara bisa tahu. "Ini pekerjaan saya, kenapa saya harus cerita ke kamu? Kamu baca aja di berita-berita gosip. Itu udah lengkap semua penjelasannya!" Ia melenggang pergi.
"Tapi, Klarisa itu beneran pakai narkoba!" Amara menahan tangan Reynov, memohon jawaban. "Jadi, bukti-bukti itu bukan hoax. Kenapa bisa berubah jadi hoax dari hater? Orang yang ngaku hater itu bukan pelaku sebenarnya, kan? Ada orang lain, kan? Siapa dia?"
Reynov melihat tangan Amara yang menahan lengannya. Seingatnya ini pertama kalinya Amara menyentuhnya. Sebelumnya selalu ia yang memulai kontak fisik pada Amara.
"Kamu bilang Klarisa itu beneran pakai narkoba?" tanya Reynov. "Tahu dari mana? Emangnya kamu kakaknya sampai yakin banget tahu masalah ini? Ini pekerjaan saya, kenapa saya harus cerita ke kamu? Emangnya kamu siapa? Kamu cuma karyawan rendahan lulusan SMA yang nggak ngerti hukum. Buat apa mau tahu? Saya jelasin panjang lebar, paling kamu juga nggak paham! Buang-buang waktu saya aja!"
Amara tidak menyangka Reynov bisa sekasar itu merendahkan dirinya yang cuma karyawan lulusan SMA.
"Ad Hominem!" kata Amara.
"Apa?"
"Argumentum ad hominem!" kata Amara lagi. "Kamu menjelek-jelekkan saya tujuannya biar saya diem, kan?! Harusnya kalau kamu mau bikin saya berhenti nanya, kamu jawab semua kecurigaan saya itu. Ad Hominem!"
Reynov lagi-lagi terkejut, ternyata Amara tahu trik-trik debat hukum. Amara tahu karena ayahnya dulu sering diserang dengan cara seperti ini. Reynov sendiri memang sengaja bersikap dingin supaya Amara takut padanya dan tidak ikut campur.
"Kirain kamu orang baik. Ternyata kamu belain Klarisa. Pasti mahal bayarannya!"
Sindiran Amara cukup menyakitkan bagi Reynov. Sekarang ia tampak seperti lawyer materialistik.
"Terserahlah kamu mau bilang apa tentang saya!" Reynov masuk ke ruang kerjanya. Marah. "Dasar nggak tahu terima kasih!" komentarnya di balik pintu. Ia membela Klarisa karena itu satu-satunya cara agar ia masih bisa mengurus kasus Ali Sandi, agar kasus ini tidak ditangani Erik, agar Amara tidak terancam oleh Erik.
*****
Sore harinya Reynov pulang lebih awal dijemput oleh Cassie, dokter yang Amara pikir pacarnya Reynov, yang mencium Reynov di depan kafe waktu itu. Cassie baru saja mengecek kondisi kesehatan seluruh agent. Wanita itu masih memakai jas dokter putihnya, dan tampak elegan. Well-educated woman. Amara juga sangat ingin memakai jas dokter putih itu, andai dia tidak kena DO. Ia iri pada Cassie.
Cassie berdiri di depan pantry melihat-lihat menu. Lalu tiba-tiba perhatiannya tertuju pada jam tangan yang Amara pakai. "Jam tangan lo mati?" tanyanya.
Amara melihat jam tangannya. Masih pukul 12.15 siang, padahal sekarang sudah sore. "Loh, kok, mati. Tadi pagi masih nyala!" katanya. Jam tangan KW seharga dua puluh ribuan mau berharap apa. Ia buru-buru melepasnya. Malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiasco Kafe (END lengkap)
Teen FictionAmara, mahasiswi drop out yang sekarang menjadi barista di Fiasco Kafe. Ia senang bisa bekerja di sana. Tapi, Reynov si pemilik Kafe mulai mencurigai Amara karena Amara bisa berbahasa Belanda, tahu nama senjata, dan tahu hal-hal medis. Siapa Amara...