Mobil yang membawa Via bergerak pelan meninggalkan bandara, lalu lintas tampak ramai lancar sepanjang perjalanan menuju desa tempat tinggal almarhumah neneknya. Sesekali Via menatap hamparan sawah di kiri kanan jalan, hal yang tidak bisa ditemukannya ketika tinggal di ibukota. Mutasi ke kantor cabanglah yang membuatnya kembali menginjakkan kaki di kota ini, meninggalkan hiruk pikuk Jakarta. Bukan hal yang mudah baginya untuk menerima pindah tugas ini, bahkan awalnya dia hampir memilih untuk resign daripada meninggalkan ibukota. Namun saat mengetahui pengkhianatan kekasihnya, Via akhirnya memilih menerima tawaran untuk pindah ke kantor cabang dan meninggalkan semua kenangannya di Jakarta.
Memasuki gapura desa, ingatan Via melayang saat kecil dulu, ketika dia tinggal bersama neneknya karena ibunya harus menyelesaikan studinya di Jerman. Via kecil yang saat itu masih berusia 6 tahun, menghabiskan masa sekolah dasar di desa Bangunrogo ini. Sebenarnya ibunya telah selesai studi ketika Via berada di kelas 4 Sekolah Dasar, tetapi dengan menimbang banyak hal, akhirnya Via baru kembali tinggal bersama orang tuanya ketika memasuki masa SMP.
"Mbak, rumahnya apa benar yang ini?" suara pengemudi memutus lamunan Via. Mereka telah berhenti di depan sebuah gerbang yang tinggi.
"Oh iya, Pak," sahut Via. Sebentar, saya beritahu yang di rumah dulu supaya bisa dibukakan pintu, katanya kemudian sambil memencet nomor penjaga rumah. Tak lama kemudian Lik Kardi telah membuka gerbang dan mobil pun meluncur perlahan memasukai halaman. Tampak sebuah rumah joglo dengan halaman yang cukup luas. Tanaman hias yang terawat berderet di dekat serambi depan, di sebelah kiri ada pohon manga, sementara di sebelah kanan ada pohon rambutan.
"Monggo kopernya, Mbak," bapak pengemudi menyerahkan koper yang telah diambilnya dari bagasi mobil.
"Oh iya. Terima kasih, ya, Pak," sahut Via.
"Sama-sama, Mbak. Sehat selalu."
Via berjalan perlahan sambil memandangi rumah itu. Semua masih tampak sama seperti ketika terakhir kali dia ke tempat ini. Halaman yang rindang dan bersih, deretan tanaman hias yang tampak rapi dan terawat mengingatkannya pada kecintaan neneknya akan tanaman. Meja dan empat kursi di serambi, tempat nenek menghabiskan waktu di sore hari bersama secangkir teh dan gorengan yang masih mengepul panas. Aah, rasanya baru kemarin Via duduk di sana bersama neneknya, mendengarkan cerita tentang masa kecilnya.
"Kopernya saya bawakan masuk, Non," suara Lik Kardi mengingatkan Via yang masih belum beranjak.
"Eh, iya, Lik. Makasih," sahut Via sambil melangkahkan kaki memasuki rumah.
"Buu...iki loh, Non Via sudah datang", Lik Kardi memanggil istrinya sambil membawa koper menuju ruangan di dalam.
"Alhamdulillah, Non Via sudah datang," terdengar suara perempuan yang menyambut kedatangan Via.
"Sehat, Mbok?" sapa Via sambil menjabat tangannya.
"Alhamdulillah, sehat, Non. Mbok senang Non Via mau tinggal di sini lagi. Rumah ini sepi kalau yang ada hanya mbok dan Lik Kardi. Paling juga ada si Meng, tapi kan dia nggak bisa diajak ngobrol," kata Mbok Inah sambil memasang wajah cemberut.
"Hahaha...Mbok ini. Kalau si Meng bisa diajak ngobrol, entar malah Mbok yang takut, loh,"jawab Via sambil tertawa.
"Ya nggak gitu, Non. Maksud Mbok, rumah sebesar ibi terasa sepi kalau hanya ada kami berdua. Syukurlah Non mau tinggal di sini meskipun jarak ke tempat kerja agak jauh."
"Iya, Mbok. Aku sebenarnya sudah mau mencari kos, tetapi Mamah sama Papah menyarankan supaya tinggal di rumah ini saja."
"Non Via mau minum teh dulu? Mbok tadi sudah masak bothok kesukaan Non, sebentar lagi sepertinya sudah matang."
"Aku ke kamar dulu saja, Mbok. Nanti aku susul Mbok ke dapur."
"Ya wis, monggo. Kamarnya sudah Mbok siapkan."
"Iya, makasih, Mbok," sahut Via sambil melangkah menuju ruangan yang ada di dekat ruang keluarga.
Kamar berukuran 4x4 itu menjadi tempat favoritnya jika berkunjung ke rumah ini, kamarnya yang ditempatinya ketika kecil dulu. Meskipun ada kamar lain yang lebih luas, tetapi Via selalu memilih kamar ini. Dibukanya perlahan jendela kayu yang ada di bagian samping, perlahan angin dingin berhembus. Dihirupnya dalam-dalam udara segar pedesaan sambil ditatapnya taman kecil di samping rumah. Hmm...inilah yang dirindukannya, udara yang segar dan bersih serta bau rerumputan.
Via segera membuka koper dan menata barang bawaannya, lalu menelfon mamahnya untuk memberi tahu bahwa dia sudah sampai. Setelah membersihkan diri dan berganti baju, Via pun segera menuju ke dapur.
"Masak apa, Mbok?", tanyanya sambil menepuk bahu Mbok Inah.
"Astaghfirullah... Aduuh!!" Mbok Inah tiba-tiba menarik tangan kirinya yang sedang memegang mangga. Tampak darah menetes pelan dari jari tangannya. Rupanya karena kaget, pisau yang sedang dipegangnya menggores jari tangannya.
"Ya ampun, Mbok! Maaf, maaf... Aduuh, aku bikin Mbok kaget, ya?" kata Via sambil agak panik melihat darah. "Lik Kardi!! Mbok Inah kena pisau ini, tolong ambilkan plester," seru Via memanggil suami Mbok Inah.
Segera Lik Kardi datang membawa plester dan membalutkannya di bagian yang terluka.
"Maaf, ya, Mbok. Aku tadi nggak tahu kalau Mbok Inah lagi pegang pisau, makanya aku tepuk bahu Mbok," kata Via dengan wajah menyesal.
"Nggak papa, kok, Non. Mbok tadi kayaknya juga sambil melamun, makanya kaget banget waktu ditepuk dari belakang," sahut Mbok Inah.
"Sini biar aku yang nyelesaikan ngupas mangganya, Mbok." kata Via sambil mengambil pisau yang tergeletak di meja dapur.
"Ya sudah, Mbok bikin teh saja, kalau begitu. Pisang gorengnya sudah Mbok taruh di di serambi. Biasanya kan Non Via suka duduk di di serambi sambil ngeteh."
"Eeeh, ngak usah. Mbok istirahat dulu saja. Nanti aku buat teh sendiri," jawab Via sambil mendorong Mbok Inah supaya meningalkan dapur.
Tak lama kemudian Via yang sudah selesai mengupas mangga, membawa teh yang masih tampak mengepul ke serambi. Hmm...harum daun teh bercampur dengan aroma melati membuat Via teringat saat neneknya masih ada. Mereka sering menghabiskan sore hari berdua di serambi rumah, sambil menghirup teh panas dan menikmati sepiring gorengan. Sejak neneknya meninggal, Via jarang datang ke rumah ini. Kalaupun datang untuk mengunjungi makam neneknya, dia hanya akan menginap semalam dan pagi harinya langsung kembali ke Jakarta. Kini, sepertinya dia harus membiasakan diri untuk tinggal kembali di rumah ini, entah untuk berapa lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Pojok
HorrorVia yang dipindahkan tugasnya dari kantor pusat ke kantor cabang di daerah, memilih untuk tinggal di rumah almarhum neneknya di kampung Bangunrojo. Berawal dari berbagai keganjilan yang dialamainya, Via kemudian berusaha menyingkap rahasia yang ter...