Jaka segera meminta Nek Ijah naik ke becaknya. Begitu Nek Ijah sudah di kursi penumpang, tanpa pikir panjang dan dengan kekuatan penuh mengayuh becaknya menuju rumah Neh Ijah. Riski mengikuti dari belakang.
"Sebenarnya, ada apa, Nek? Kenapa si Eneng jadi dijadikan jaminan?"
Nek Ijah yang menangis di kursi penumpang, terbata-bata menjelaskan. "Ini semua salah Kakek, Jak. Nenek ndak tahu. Sebelum meninggal ternyata Kakek kalah main judi dan enggak bisa bayar. Kalahnya juga besar banget, 200 jutaan, Jak. Jaminannya ya, si Eneng. Terus dia ngutang sama juragan Emon. Kamu kan tahu Juragan Emon mah rentenir."
"Ya Tuhan, Nek, terus Eneng sekarang di mana?"
Nek Ijah menoleh ke belakang, ke tempat Jaka mengayuh becaknya. "Di rumah Juragan Emon."
"Lah, atuh bilang dari tadi, Nek. Ngapain kita ke rumah Nenek kalau si Eneng di rumah Juragan Emon! Eh si nenek!" Jaka langsung memutar balik becaknya di ruko seberang jalan dan mengarahkan becaknya ke rumah Juragan Emon.
Juragan Emon adalah salah satu rentenir terkenal di kampung Jaka. Dia bisa meminjamkan uang hingga ratusan juta, cash, saat itu juga. Tapi, bukan hanya bunganya besar sekali, Juragan Emon juga mematok jaminan pembayaran berupa orang terdekat dengan kita. Jadi misalnya, Jaka yang ngutang, yang akan dijadikan jaminan oleh Juragan Emon bukan rumah Jaka, tapi anak dan istri Jaka. Menurut Juragan Emon, menyandera orang terkasih dari orang yang ngutang bikin mereka lebih cepat untuk membayar dan lebih merasa terancam. Selain itu, kalaupun mereka enggak bisa membayar, orang-orang yang dijadikan jaminan ini bisa bekerja untuk membayar utang keluarganya. Jadi, win-win solution.
Memang sungguh Gentat sekali pemikiran dari Juragan Emon, tapi pemikiran itu masuk akal. Karena yang mengutang dan lupa diri untuk membayar tidak hanya satu orang. Bahkan jika Jaka memiliki uang sebanyak Juragan Emon dan membuka usaha perenteniran, dia juga akan melakukan hal yang sama.
Itulah sebabnya, Jaka tidak suka meminjam ke rentenir, dapat duit iya, dapat apes juga iya. Kalau meminjam ke pinjol, kan, beda. Duit dapet, dikejar-kejar juga ya paling lewat chat WA. Enggak lebih enggak kurang. Kalau gagal bayar, tinggal pinjam lagi ajad dari pinjol lain.
Jaka menghentikan becaknya tepat di depan sebuah rumah besar dengan gaya eropa. Untuk sesaat, Jaka mengucapkan 'wah' sebelum dia memukul wajahnya agar segera sadar dan menyelesaikan urusannya dengan pemilik rumah ini.
Dua bodyguard berpakaian hitam yang berjaga di depan pintu utama rumah itu, sedikit membuat tubuh Jaka bergidik. Apalagi, dari dalam Jaka mendengar suara teriakan Eneng. Hampir saja Jaka mengurungkan niatnya untuk masuk kalau tidak melihat ekspresi berharap Nek Ijah yang sudah merawatnya sejak kecil.
"Nek, doain Jaka, ya. Semoga Jaka bisa bawa pulang Eneng," ucap Jaka sambil memegang bahu Nek Ijah. "Nenek tunggu di sini."
"Urang ikut, Jak!" sahut Riski yang sudah siap berdiri di samping Nek Ijah.
"Ulah, Ris. Kamu bantu saya jaga Nek Ijah saja." Jaka menatap temannya itu sambil menepuk bahu Riski.
Riski mengangguk. "Hati-hati."
Jaka mengangguk lalu melangkah ke dalam. Begitu sampai di depan pintu, kedua bodyguard itu menghalangi Jaka. "Mau ngapain kamu?"
"Saya ingin bertemu dengan Juragan Emon."
Mereka saling lirik kemudian memberi jalan kepada Jaka. Jaka masuk ke dalam dan mendapati Juragan Emon dengan gigi taring emasnya menyambut.
"Jaka ... Jaka ... Jaka ... Kamu mau minjam uang sama saya?" kata Juragan Emon begitu melihat wajah Jaka muncul di ruang tamu rumahnya.
Jaka melirik Eneng yang menangis di pangkuan Juragan Emon dengan baju lengkap namun tangan terikat. Jaka memberikan kode ke Eneng, mencoba bertanya melalui tatapannya, apakah Eneng sudah disentuh oleh Juragan Emon, Eneng dengan wajah sendunya menggeleng. Jaka menghela napas lega.
"Atuh, Juragan, mana mungkin saya mau minjam sama Juragan. Hutang saya sama yang lain saja sudah menupuk setinggi Gunung Merapi, bagaimana atuh saya bisa bayar."
"Kamu masih punya anak dan istri, mereka bisa bekerja sama saya," balas Juragan Emon sambil menjilat telinga Eneng. "Kayak dia ini, gadis cantik yang siap dikawini."
Jaka harus menahan kemarahannya habis-habisan mendengar ucapan Juragan Emon. Eneng sudah seperti adik baginya. Meski darahnya sering berdesir melihat tubuh molek Eneng yang sudah duduk di bangku SMA kelas sebelas itu, tidak pernah melintas sekalipun di benaknya untuk berbuat kurang ajar pada gadis itu.
"Jadi, apa yang kamu lakukan di sini?" ucap Juragan Emon sambil mengelus-elus leher jenjang putih milik Eneng yang tentu saja membuat Eneng memejamkan mata jijik.
"Saya ingin menebus Eneng, Juragan."
Juragan Emon berhenti mempermainkan tangannya di leher Eneng. Dia menatap Jaka dengan tatapan tidak percaya. Diturunkannya Eneng dari pangkuannya ke salah satu kursi di samping kanan lalu berdiri mendekati Jaka.
"Menebus Eneng? Saya tidak salah dengar?"
Jaka menggeleng. "Tidak, Juragan. Eneng adalah adik saya, saya ingin menebusnya."
"Dengan apa?"
"Dengan membayar seluruh hutangnya. Seingat saya, utang Kakek Marjan masih jatuh tempo seminggu lagi. Menyandera Eneng sekarang sama artinya Juragan sedang menyalahi kontrak pinjaman."
Juragan Emon mengelus-elus jenggotnya yang tipis. "Hutangnya lebih dari 200 juta, Jaka. Lebih tepatnya 245 juta. Kamu yakin mau membayarnya? Dengan apa? Dapat uang darimana tukang becak macam kamu untuk membayar uang segitu banyak?"
"Saya bisa menjual rumah warisan saya, atau mengajukan pinjaman ke bank. Saya akan mengusahakan uang itu ada akhir minggu ini, Juragan."
Juragan Emon tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Jaka. "Kamu kira menjual rumah atau meminjam ke bank bisa semudah itu? Jaka ... Jaka ...."
Jaka diam saja mendengar cemoohan Juragan Emon. Dia memang hanya asal sebut saja tadi. Mana mungkin dia bisa mendapatkan uang segitu besar dalam waktu singkat. Bahkan pinjol pun tidak akan ada yang bisa meminjamkan uang segitu besarnya kepadanya. Fokus utamanya adalah membawa pulang Eneng saat ini juga. Masalah membayar utang bisa dia pikirkan belakangan.
"Pikiranmu memang naif sekali, Jaka. Tapi tidak apa-apa. Bisa, bisa." Juragan Emon mendorong tubuh Eneng ke arah Jaka. "Ini bawa pulang barangmu. Seminggu lagi, aku pasti akan menjemputnya, bersama anak perempuanmu."
Jaka menggigit bibir bawahnya sambil mengepalkan tangannya. Dia menelan kuat-kuat rasa marah yang sudah menggantung di ujung kepalanya lalu mengucapkan "terima kasih" kepada Juragan Emon.
Jaka menarik Eneng keluar dari rumah itu diiringi tawa meremehkan dari Juragan Emon.
"Akang dapat duit darimana untuk nebus Eneng?" tanya Eneng begitu sampai di luar rumah Juragan Emon. "Udah, Kang, enggak apa-apa. Biarin Eneng jadi tebusan buat bayar utang Kakek."
"Jangan gila kamu, Neng. Udah, kamu enggak usah pikirin gimana Akang membayar utang Kakek. Kamu pulang sama Nenek. Biar Akang yang urus masalah dengan Juragan Emon."
Eneng mengempaskan tangannya yang dipegang Jaka. "Tapi kalau Akang enggak bisa bayar, Euis juga akan jadi korban, Kang!" pekik Eneng keras sambil menatap tajam Jaka.
Jaka menangkup wajah Eneng dengan kedua tangannya. "Dengarkan Akang, Neng! Kamu atau Euis tidak akan jatuh ke tangan Juragan Emon. Akang akan cari ccaranya. Akang akan menyelamatkan kalian. Percaya sama Akang!"
Eneng menahan tangisnya lalu memeluk Jaka. "Eneng takut, Kang."
"Percayalah sama Akang, Neng. Akang akan cari caranya."
Dalam pelukan Jaka, Eneng mengangguk.
Dari kejauhan, Riski melirik Jaka dan Eneng, lalu melihat ke layar ponselnya sambil berbisik, "Mungkin, Jaka butuht Pinjol ini juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pinjol Terkutuk
HorrorJaka tukang ngutang. Dia suka gali lobang tutup lobang dari satu pinjol ke pinjol lainnya. Karena itu, dia selalu terjebak dalam utang dan utangnya yang tadinya sedikit jadi menggunung karena bunga yang besar. Anaknya bahkan harus dia jadikan jamina...