"Hanara, sekarang dia kakak kamu. Setiap ucapannya, harus kamu patuhi. Oke?"Selesai Ibu Panti berucap begitu, manik Hanara bergulir menatap seorang cowok jangkung dengan balutan seragam SMA yang tengah tersenyum lebar ke arahnya.
"Kakak?" Bibir tipis Hanara bergumam kecil. Mata bulatnya mengerjap polos.
"Em! Dia kakak kamu. Namanya Kiro Respazio," jawab Shabina sang ibu panti, disertai seulas sunggingan manis. "Kak Kiro udah ngadopsi kamu. Jadi, mulai hari ini, kamu akan tinggal sama dia."
Mendengar penuturan Shabina, kedua manik kuning emas Hanara berbinar seketika. Pelukannya pada boneka beruang coklat kian mengerat, hatinya merasa sangat bahagia.
"Kakak!" panggil Hanara ceria.
Kiro menyipitkan matanya hingga membentuk lengkungan bulan sabit. "Hm? Iya, Hana?" sahutnya lembut.
Gadis belia yang masih kelas 2 SMP itu kemudian merentangkan kedua tangan. "Boleh aku peluk kakak? Dari dulu, aku pengen punya kakak. Sekarang doa aku terkabul."
Dengan senang hati, Kiro mengiyakan permintaan adik angkatnya itu. Membiarkan sang gadis memeluk lehernya dan memberikan kehangatan.
"Selamat datang di kehidupan baru kamu, Hana," bisik Kiro tepat di telinga Hanara. Dia memang tersenyum, tapi senyumnya tampak aneh.
"Nak Kiro, Hana itu sejak kecil selalu homeschooling karena fisiknya yang berbeda dari anak kebanyakan. Bahkan di panti ini saja, Hana masih sering dirundung oleh anak-anak yang lain." Di ruangan pribadinya, wanita itu menjelaskan pada Kiro secara empat mata.
Kiro menyimaknya baik-baik.
"Saya senang sekali waktu kamu datang mau mengadopsi Hanara. Sekarang saya jadi tenang, karena bakal ada Nak Kiro yang jagain dia sebagai kakak," tukas Shabina terharu.
Cowok SMA di hadapannya itu sedikit terlihat kikuk. Seraya tersenyum konyol, ia menggelengkan kepalanya pelan. "Gapapa, Bu. Soalnya sekarang ini, saya ga punya siapa-siapa. Keluarga saya udah ga ada, jadinya kepikiran buat adopsi adek. Lagian umur saya kan udah 18 tahun, boleh lah ngadopsi orang."
Shabina mengangguk prihatin. "Ya sudah, berarti nantinya kamu dan Hanara harus saling melengkapi. Jangan merasa sendirian, kalau ada apa-apa langsung hubungi ibu saja. Paham?"
Kali ini Kiro diam saja tanpa membalas sepatah pun kata. Kemudian, ia pamit pergi dari panti asuhan ini dengan membawa Hanara yang sudah siap dengan kopernya.
Menaiki mobil, mereka berdua akhirnya sampai di sebuah rumah dengan gerbang menjulang tinggi. Bagi Hanara yang tidak pernah melihat rumah sebesar itu, hanya bisa menatap takjub dan terperangah. Seolah rumah warisan peninggalan orangtua Kiro tersebut adalah istana.
"Rumahnya gede banget, Kak. Kayak istana!" ujar Hanara penuh antusias. Di pelukannya, masih ada Moa yang merupakan boneka teddy-nya.
"Kamu suka?" Kiro sedikit merunduk.
Anggukan Hanara menjadi jawaban.
Kedua orang itu lekas melangkah masuk. Di dalam, ada seorang pelayan berpakaian hitam putih yang menyambut kedatangan mereka. Usianya masih muda, sekitar 20 tahunan. Kendati demikian, ia sudah bekerja cukup lama di rumah ini. Yakni sejak orangtua Kiro masih hidup.
"Namanya Hanara. Urus tuh anak, jangan sampe bikin rusuh!" Ketika berada dalam rumah ini, raut wajah dan intonasi bicara Kiro berubah drastis. Kilau matanya tampak dingin menusuk, suaranya serak dan terdengar ketus.
Seolah dia adalah orang lain.
Bukan cowok SMA yang tersenyum pada Hanara saat pertama kali bertemu beberapa saat lalu.
Bukan orang yang tadi menggenggam tangan Hanara untuk dibawa masuk ke dalam rumah.
Membuat gadis belia itu sempat bingung melihat perubahan sikapnya.
"Kakak ... kenapa?"
Dan karena penasaran, Hanara pun memberanikan diri bertanya hati-hati. Ditatapnya punggung kokoh yang lebih tinggi darinya itu.
Kaki Kiro serempak berhenti melangkah.
Atmosfernya buruk. Aura di sekitarnya mengerikan. Seakan siap memakan manusia hidup-hidup.
"Kenapa?" Masih dengan memunggungi Hanara, ia mengulang.
Ragu-ragu gadis itu mengangguk.
BUGH!
Tanpa diduga sebelumnya, Kiro berbalik badan dan langsung mengayunkan kakinya menendang kepala Hanara hingga adik angkatnya itu terpelanting ke lantai dengan brutal.
"AAA!" Yuka memekik kencang, tidak menyangka tuan mudanya akan melakukan hal demikian.
"Gapapa." Kiro menjawab pelan. "Cuman pengen nendang lo aja."
Lantas berbalik pergi dan melanjutkan langkahnya lagi. Sudah tak peduli dengan rasa sakit yang dialami Hanara dikarenakan tendangan tak terduga darinya.
"Kakak ..." Suara parau Hanara terdengar lirih. Manik kuning emasnya berembun, siap meluncurkan air mata sekarang juga.
Ada apa ini?
Mengapa tiba-tiba sekali?
Kenapa Kiro menendangnya tanpa sebab? Cowok itu ... apa yang sebenarnya dia lakukan? Salah Hanara apa?
Salah Hanara—
"... sakit."
—di mana?
Yuka segera mendekati Hanara. Ia memeluk gadis belia itu sambil terus berusaha menenangkannya. Sementara yang dipeluk masih terus-terusan menangis tanpa henti.
Perlakuan Kiro yang seperti itu sangat mengejutkan bagi Hanara.
"Hanara, dengerin kakak, ya." Sambil menangkup wajah Hanara dengan kedua tangan, Yuka berucap. Ditatapnya dalam manik emas milik gadis itu.
"Kamu harus siapin mental mulai sekarang. Tendangan tadi bukan khilaf atau ketidaksengajaan. Tuan Muda ... dia ..." Yuka tercekat, kata-katanya tertahan di tenggorokan.
"... dia monster, Na. Kamu dibawa ke sini cuman buat dijadiin samsak tinju. Kamu bakalan dijadiin pelampiasan di saat dia berada di titik terendahnya."
Hanara termangu. Apa yang didengarnya sangat tidak ingin dia percaya. Namun, perkataan Yuka belum selesai di situ saja.
"Rumah ini bukan istana, melainkan neraka. Kamu masuk ke sini bukan sebagai tuan putri, tetapi budak."
_____________
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Poor Hanara
Teen FictionHanara, gadis belia pemilik mata kuning emas yang menyangka hidupnya akan lebih baik saat dirinya diadopsi oleh seorang pemuda kaya raya. Namun, siapa sangka, di dalam rumah besar itu, ia justru diperlakukan dengan kejam. Hanara diadopsi hanya untu...