Setelah Robby pulang dari kafe, sepanjang hari itu Reynov jadi sangat diam. Amara bisa merasakannya, dan ia jadi berempati. Baru kali ini ia melihat seorang ayah memukuli anaknya setega itu. Tapi hebatnya, Reynov tetap berdiri tegap lagi.
"Tadi Papah kamu... kenapa marah-marah?" Amara bertanya hati-hati. Ia tidak bisa mendengar percakapan mereka tadi.
"Biasa. Masalah bisnis," jawab Reynov sambil menggerakkan rahangnya yang mungkin agak geser setelah kena tempeleng tadi.
Melihatnya, Amara segera membungkus es batu dengan lap bersih. "Nih! Buat ngompres pipi biar nggak memar!" katanya. Ia ingin membalas kebaikan Reynov selama ini.
Reynov menerimanya dengan heran. Kenapa Amara perhatian padanya?
Amara lalu menyuruh Reynov duduk di kursi dan berkata, "Anyway, kalau kamu mau cerita, ngeluh, atau nangis karena ditampar Papah kamu tadi, it's okay. Saya nggak akan bilang ke Odi atau Cassie. Kamu pasti malu sama mereka, kan, kalau ketahuan dimarahin Papah kamu sampai ditampar gitu." Ia tersenyum manis.
Apa ini? Amara berusaha menghiburnya? Reynov menatap heran. Amara ini polos sekali. Dia benar-benar tidak tahu siapa Reynov. Kenapa harus malu kepada Odi ataupun Cassie kalau dihajar Robby? Mereka juga sering kena hajar Robby.
"Saya bisa jaga rahasia," kata Amara lagi. "Kita udah tahu rahasia satu sama lain, kan? Kamu tahu saya cuma anak yang dibuang, dan saya tahu kamu dimarahin ayah kamu. Kita bisa berbagi rahasia. Ide bagus, kan?"
Reynov masih diam. Heran. Amara benar-benar polos. Perempuan itu tidak tahu kalau ini barter yang tidak seimbang. Amara hanya tahu secuil hidupnya, sedangkan ia tahu seluruh hidup Amara. Berbagi rahasia dari mana?
"Oya, tapi emang Papah kamu sekeras itu? Sampai mukulin berkali-kali gitu?" Amara khawatir.
Ya, orang pada umumnya pasti shock melihat adegan kekerasan barusan. Itulah Robby. Itu sudah makanan sehari-hari di kamp militer. Tapi, Reynov tidak mau mengekspos kehidupan mengerikannya di kamp militer. Jadi, alih-alih menjelaskan, ia tetap diam saja.
Melihat Reynov sepertinya tidak mau membahas tentang ayahnya, Amara bisa paham. Ia lalu mengalihkan topik. "Oya, saya cukup seneng kamu tahu identitas asli saya," katanya tersenyum dengan lesung pipinya. "Karena saya bisa jadi diri saya sendiri, dan bisa cerita apa aja sebagai Arina, bukan sebagai Amara."
Reynov tertegun. Amara seperti anak kucing yang mengajaknya bermain. Lantas, Reynov yang sedari tadi diam, akhirnya luluh juga. Ia tersenyum berusaha menghargai upaya Amara menghiburnya. "Ya udah, kalau gitu coba cerita kamu pas jadi Arina dulu ngapain aja? Paling kamu hobinya nongkrong hedon pakai uang ayahmu, kan?"
"Enggak! Saya bahkan nggak punya temen gara-gara waktu SMA saya harus dikawal bodyguard!"
"Kamu sekolah dikawal bodyguard?" Reynov kaget. "Lebai banget! Buset!"
"Iya saya juga malu kalau inget! Jadi, waktu itu lagi musim politik. Ayah saya sering kena teror lawan politiknya. Jadi saya dikasih bodyguard, bikin saya dicap anak pejabat sok eksklusif. Makanya saya nggak punya temen!" kata Amara sebal. "Ngomong-ngomong kamu beneran nggak inget saya waktu SMA? Kamu dulu pernah bilang gini ke saya; Hidup tuh yang berdampak. Jadi kalau kita mati, ninggalin legacy! Kamu bilang gitu. Inget?"
"Oya?" Reynov terkejut. Itu adalah kata-kata yang ayahnya katakan padanya. Benarkah ia mengatakan hal itu pada Amara? Ia tidak ingat sama sekali.
"Kalau gitu kita ke SMA kita aja sekarang!" cetus Amara
"Hah? Ngapain?" Reynov tidak tertarik, tapi Amara sudah menarik tangannya menuju ke mobil. Seingatnya ini adalah kali ketiga Amara menyentuhnya.
*****
SMA Adi Luhung. Sekolah itu tak banyak berubah. Tapi Reynov tetap tidak ingat masa SMA-nya.
"Kelas kamu dulu di mana? Masih inget?" tanya Amara.
"Lupa!" Reynov benar-benar lupa. Ia pindah sekolah puluhan kali sesuai misinya. Tapi, saat melihat meja-meja di kelas itu, tiba-tiba ia ingat sebungkus cokelat almond berpita yang dulu ada di laci meja kelasnya. Ada inisial AR di pita itu.
Waktu itu, saat SMA, Reynov dengan seragam putih abu-abu melihat cokelat itu dan tertawa. "Apa-apaan ini? Gue punya penggemar rahasia?" katanya merasa konyol. Siapa cewek bodoh yang suka padanya? Toh, ia hanya akan sekolah sebentar saja di sekolah itu. Berniat punya teman saja tidak, apalagi punya pacar. "Siapa AR? Dih... Bodo amatlah!" katanya cuek dan memakan cokelat itu dengan santai. "Kenapa, sih, nggak bawain nasi padang aja biar kenyang! Cokelat begini doang, mah, lima menit juga abis. Bikin diabetes pula!" katanya. Setelah habis, ia buang bungkus cokelat itu beserta pita berinisial AR itu.
Ya, Reynov kini ingat betul jika ia pernah menerima cokelat dari penggemar rahasia berinisial AR. Tapi waktu itu ia tidak sempat mencari tahu. Ia terlalu sibuk dengan tugas-tugas spionasenya. Lalu sekarang, dia jadi penasaran. Siapa AR? Arina Rosalin? Amara?
Reynov melirik Amara yang berjalan di sebelahnya. Kalau benar AR itu Amara, kenapa dulu waktu SMA Amara segitu naksirnya sama Reynov, tapi sekarang dia biasa saja? Reynov penasaran. Apa karena dia punya pacar sekarang? Siapa? Satya si Pak Dosen Cupu itu? Atau duda bule bapaknya si bocil usil itu? Kenapa posisi gue bisa digeser! batin Reynov kepo.
"Heh, kamu dulu pas SMA naksir saya, kan? Kamu secret admirer saya itu, kan?" Reynov si manusia liberal didikkan Amerika itu bertanya tanpa basa-basi.
"Naksir kamu? GR banget! Ngapain?!"
"Iya! Dulu kamu sering naruh cokelat di meja saya. Ada inisial AR. Itu kamu, kan? Kenapa nggak bawain nasi padang aja biar kenyang?!" Reynov mengulang kekesalannya waktu SMA dulu yang cuma dibawakan cokelat.
Amara memutar bola matanya. Mengingat-ingat. "Saya nggak inget! Nggak mungkin saya penggemar rahasia kamu! Banyak cowok lain yang lebih ganteng!"
"Iya itu kamu! Inisialnya AR. Arina Rosalin. Ngaku nggak?!"
"Nggak inget! Kok, nuduh, sih!" protes Amara tidak terima dituduh naksir Reynov. "Cewek yang namanya AR, kan, banyak. Ada Anisa Rahma yang anak klub sastra. Ada Angelica Rachel yang ketua cheer leader. Ada Ayu Ratna, Anita Rizki, banyak! Kenapa nuduh saya jadi penggemar rahasia kamu. GR!"
Reynov melirik kesal. "Iya, ya? Pasti bukan kamu. Pasti si Angelica Rachel ketua cheer leader itu. Dari namanya aja cantik. Orangnya juga pasti cantik. Makanya selera cowoknya juga keren kayak saya!" Reynov memakai kaca mata hitamnya. Slay!
"Ya udah, kejar sana. Siap-siap ngadepin suaminya yang kepala sipir penjara!"
Reynov langsung melepas kaca matanya lagi. Nggak jadi slay! "Emangnya saya perebut istri orang!"
Amara tertawa puas melihat tingkah konyol Reynov. Ia sendiri juga tidak banyak ingat masa SMA-nya. Itu masa yang berat, karena ibunya meninggal. Ia tidak pernah mau mengingat-ingat masa SMA-nya.
Tapi, saat melintasi ruang-ruang kelas sekolahnya, tiba-tiba ia ingat saat ia menjadi bahan gosip karena dicap anak pejabat belagu yang dikawal bodyguard. Ia ingin sekali lepas dari bodyguard itu. Lalu, ada seorang siswa yang mengancam bodyguard-nya itu. Entah apa yang dikatakan, tapi hal itu membuat dua bodyguard itu ketakutan dan mengundurkan diri. Sejak saat itu, Amara jadi berterima kasih serta menaruh perhatian pada siswa itu, karena di saat siswa lain menjauhinya, bahkan membencinya, dia satu-satunya siswa yang berani mendekatinya dan membuat para bodyguard itu undur diri.
Dan kalau diingat-ingat... siswa itu adalah... Reynov?
"Astaga!" Amara menutup mulutnya.
"Kenapa astaga?" Reynov menoleh heran.
"Nggak apa-apa!" Amara langsung menggeleng. Pipinya memerah.
Ya. Ia ingat, tiap pagi ia diam-diam menaruh cokelat di mejanya Reynov. Reynov seperti kembang api di tengah gelapnya malam, seperti sumber kebahagiaannya di tengah permasalahan keluarganya yang berderet-deret tanpa henti. Reynov pula yang menggagalkan usaha bunuh dirinya waktu SMA. Ternyata iya, betul, dia dulu penggemar rahasianya Reynov. AR. Arina Rosalin. Oh tidak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiasco Kafe (END lengkap)
Teen FictionAmara, mahasiswi drop out yang sekarang menjadi barista di Fiasco Kafe. Ia senang bisa bekerja di sana. Tapi, Reynov si pemilik Kafe mulai mencurigai Amara karena Amara bisa berbahasa Belanda, tahu nama senjata, dan tahu hal-hal medis. Siapa Amara...