Written By : Adindaksa
Aku tau ini semua salah. Ya. Ini memang kesalahan besar, aku membiarkan hatiku terpelosok dan tidak dapat menyelamatkannya dari kumpulan lumpur itu. kesalahan terbesarku, menghianati cinta yang sudah kujaga bertahun-tahun, cinta yang sudah kugenggam erat dengan segenap jiwa dan ragaku, dan sekarang aku malah melemparkannya seperti kerikil yang tiada arti.
Aku diam-diam bersama orang lain di belakangnya, orang baru yang juga mencintaiku, orang baru yang rela berada di sisi gelap dan tidak terlihat, orang baru yang mengetahui tentang hubunganku dengannya namun ia tetap mengorbankan hatinya berada di balik dinding buram yang tak terlihat oleh siapapun selain aku.
Keadaan yang tidak dapat kupungkiri, aku tak dapat berpaling darinya, aku sudah mencoba untuk berlari sejauh mungkin, tapi hati ini selalu mengatakan jangan.
Dia selalu terasa dekat, bahkan saat aku mencoba untuk pergi menjauh.
Aku tak ingin jadi penghianat, dan sesuangguhnya aku benci sebuah penghianatan, tapi sungguh ini di luar kendaliku, cinta ini telah menguasaiku, cinta ini telah membuatku mencambuk diriku sendiri, namun aku mencintai cambuk itu, cambuk yang telah berhasil menjadikanku seseorang yang rela melempar kerikil itu, membuangnya jauh-jauh, membuang cinta dari orang yang dulunya kucintai.
Hari ini aku menemuinya, di bawah pepohonan yang temaram, tempat yang kusukai, tempat pertemuan pribadi kami.
Aku tau dia tersiksa dengan keadaan ini, keadaan dimana tak ada satupun pengakuan bahwa kami saling mencintai, tapi mau bagaimana lagi? Aku tak tega membuang kerikil itu begitu saja, aku tak tega menghianatinya meski cinta itu sudah pudar. Tapi sungguh aku ingin bersamanya, bersama sosok yang ada bersamaku ini, bukan kekasih yang tidak kucintai lagi.
"Kau bosan seperti ini?" aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
Dengan getir ia menatapku, lalu tersenyum pahit. Ya. Aku tau keadaan ini memang menyiksanya. Tapi sungguh aku mencintainya, bahkan seluruhnya, tak sedikitpun tersisa untuk siapapun.
Ia hanya diam, tak menjawab pertanyaanku, tak berbicara sepatah katapun, dan tanpa menatapku lagi.
Pandangannya hanya tertuju ke depan sana, menatap daun-daun yang berguguran, di bawah gerimis, di bawah hiruk pikuk rasa yang menyesakkan.
Hujan semakin deras, dan aku makin mencintainya. Dia terus saja diam, dan lagi-lagi tanpa menatapku, tanpa melindungi dirinya dari guyuran hujan. Dia menyukai hujan. Ya. Dia selalu menikmati tubuhnya yang basah kuyup jika hujan sedang turun, dan aku mulai mengikuti apa yang ia lakukan.
Ku pejamkan mataku, kurasakan tetesan-tetesan yang mulai menyapa wajahku, sesuatu yang indah mulai kurasakan saat aku menutup mata ini, dan aku bahagia. Mungkin akan terus seperti ini sepanjang hujan turun, dan hingga hujan reda.
"Alexa!" suara yang tidak terlalu jelas itu terdengar dari kejauhan.
Aku membuka mataku perlahan, sesosok bayangan ada di seberang sana, sekilas aku mengetahui bahwa itu adalah Rio, kekasih yang sudah tidak kucintai lagi sekarang.
Bagaimana ia mengetahui keberadaanku? Bagaimana ia melihat aku sedang bersama seseorang yang selama ini identitasnya kusembunyikan darinya?
Rio berlari menembus derasnya hujan dari seberang sana, dan aku mulai gelisah akan perselingkuhan ini, perselingkuhan yang sebentar lagi akan terlihat di matanya.
Tapi dia hanya diam, belahan jiwaku, kekasih yang berada di sisi buram yang sekarang hanya tersenyum pahit tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Seketika Rio berada di sampingku, aku mencoba melindungi diri, berpaling dari Rio dan kuharap Gilang akan meraihku dengan cepat.
Tapi Gilang hanya diam, tak melakukan pergerakan apapun, lalu ia tersenyum tulus, senyuman pahitnya barusan tiba-tiba berubah seperti senyuman seorang malaikat. Ya. Aku selalu berpikir ia adalah malaikat, malaikat yang terjebak di tubuh itu, tubuh Gilang yang sudah lama kucintai namun terus saja kuletakkan di sisi gelap yang membuatnya tersiksa.
Tiba-tiba sebuah tarikan kurasakan dari belakangku, Rio mampu meraih pergelangan tangan mungilku dengan cepat hingga membuatku tak dapat meneruskan langkahku membelakanginya.
Dan entah bagaimana caranya, tangan ini ada di genggamannya, aku menatap tajam padanya dengan tatapan protes agar ia segera melepaskan tanganku.
"Hentikan, Alexa!" suara lembut Rio masuk ke dalam ruang pendengaranku tanpa permisi.
"Lepaskan aku!" ucapku setengah teriak di tengah hingar bingar suara derasnya hujan.
"Berhenti bertindak seperti ini! kumohon jangan lakukan ini lagi!" tatapan Rio semakin dalam padaku.
Tidak. Aku mencintai Gilang, maafkan aku, Ri. Aku tak bermaksud seperti ini.
Aku memalingkan wajahku kembali, berharap sosok Gilang yang selalu ada di depan mataku.
Nisan?? Pemakaman??
Dimana Gilang? Mengapa yang ada di sampingku ini adalah sebuah nisan? Bukan seorang Gilang.
"Hentikan Alexa! Ayo kita pulang! Gilang sudah tiada, berhenti menyiksa dirimu seperti ini." Rio mendekapku, membiarkan aku menangis di pelukannya. Dia membawaku menjauh dari Gilang-ku, membawaku menjauh dari nisan itu.
Aku mengacak-acak rambutku, Rio menopangku dengan penuh kehati-hatian, ia mengenakan jas putihnya, seketika aku menyadari bahwa Rio adalah seorang dokter, dia membawaku menuju mobil putih yang ada di depan sana, mobil putih dengan tulisan Rumah Sakit Jiwa. Seketika pula aku menyadari Gilang bukanlah kekasih gelapku, Gilang adalah kekasihku yang tewas karena kecelakaan maut beberapa waktu lalu.
Aku menangis histeris, aku mulai ingin melarikan diri dari dokter bernama Rio ini, tapi dia terlalu kuat untuk menahanku. Seketika dia mengambil benda kecil dari dalam sakunya, dan betapa tega dengan paksa ia menusukkan benda kecil itu di urat nadi yang ada di bagian bawah pergelangan tanganku.
Gilang.. Gilang..
Panggilku di dalam hati sambil menatap nisannya yang semakin buram.
Gilang-ku masih hidup, siapa yang tega meletakkannya di dalam pusara itu? Gilang-ku masih ada, kami sering bertemu disini, di bawah pepohonan yang temaram. Bukan tempat pemakaman.
Seketika pandanganku mulai menguning dan ....
THE END.