001 : Bahtera Atma

24 5 5
                                    


_________________________________

 “I believe every human has a finite number of heartbeats. I don’t intend to waste any of mine.”
—Neil Armstrong

_________________________________

Bumantara kala itu sedang sendu, seluruh cahaya bak disembunyikan awan kelabu. Dan kini ia hanya terduduk lesu, sudah kalap dijebak rasa rindu. Katanya dahulu, sebelum ia kenal sang tuan, ia bisa jadi segalanya. Hidupnya tenang, indah, tak dihantui siluet sang empu yang mengikutinya. Hatinya selalu gusar, terbayang selalu rupa indah miliknya. Bahkan setiap melodi romansa yang ia dengar, selalu diperankan olehnya. Ia bak menari-nari dibenaknya. Sampai mual ia dibuatnya.

Oh tuhan, bagaimana?

Bagaimana?

"Heh." Suara itu membuyarkan lamunannya.

"Apa?" Jawabnya.

"Udah puas ngelamunnya?." Tanya lelaki itu sembari mencubit pipinya.

"Mmm, siapa yang ngelamun sih." Sanggahnya.

"Jangan coba-coba buat bohong, Haba." Kini lelaki itu sudah terduduk disebelahnya.

"Ngga bohong, Atma."

"Yaudah, besok pagi ikut gue ya."

"Kemana? Jangan aneh-aneh. Nanti gue cuma disuruh masukin pudding lo ke kulkas lagi, awas aja." Ancamnya.

"Hehe kalau itu sih, waktu itu gue lagi males aja maaf ya, ngga ngulang lagi deh." Lelaki itu tersenyum lebar kemudian berlalu begitu saja.

Sudah biasa bila sang tuan tiba-tiba ada dan tiada. Begitulah hidupnya, selalu menjaga tingkahnya, -ya barangkali- saat itu waktunya sang tuan ada memperhatikannya, pikirnya. Memang menjadi kasmaran adalah masa yang paling sulit, apalagi jika sedari awal alurnya sudah melankolis, semuanya terlihat dari dua sisi. Sang pemilik cinta dan penerimanya pasti berada diambang kecemasan antara lebih memilih percaya diri atau mengikuti logika yang mengajak undur diri.

Haba selalu berkelut dengan buku novelnya, lagi, dan lagi. Membuka halaman demi halaman hingga ia sampai pada 'harta karun'-nya. Sesekali ia membenarkan kaca matanya, membiarkannya membekas disekitar ceruk hidungnya.

Tak lama, wajahnya terangkat, pertanda ia ingat suatu hal. Ya, ia ingat akan Atma yang mengajaknya pergi ke suatu tempat. Namun, tak kunjung ia lihat batang hidungnya. Ia menunggu, mengharap kali ini ajakan Atma benar-benar serius.

"Ugh, lepasin tangan lo dari muka gue!." Seru Haba ketika tangan seseorang tiba-tiba menutup wajahnya.

"Lanjutin dulu aja bacaan lo sampe selesai, kalo lo udah baca baru lo ikut gue."

"Udah kok, udah selesai. Siapa lo?" Tanya Haba seakan tak tahu.

"Ini gue Atma. Lo udah nungguin gue ya?."

"N-nggak, ngapain juga gue nungguin lo?." Dustanya.

"Gini aja, lo selesain dulu bacaan lo, gue mau kedepan sebentar. Dadah." Ucapnya.

"Jangan lama-lama, keburu gue baca buku yang baru nih."

"Bentar doang kok, janji." Atma pun berlalu, diiringi senyuman tipis sang empu.

Entah sudah kesekian kalinya Atma seperti itu, selalu saja membuat Haba bersemu merah jambu. Kedatangannya yang tak disangka-sangka diiringi senyuman simpul bak aktor-aktor di drakor favorit Haba.

Haba pun selalu candu, ingin ia ulang kembali setiap temunya bersama Atma. Tak pernah bosan ia putar dibenaknya, ingin rasanya otaknya punya alat perekam tersendiri, agar ia bisa simpan di memori telepon genggamnya. Dasar, Atma pembuat hati lemah.

"Kali ini lo mau ngajak gue kemana?." Tanya Haba disertai tancapan pedal gas mobil SUV hitam milik Atma.

"Kerumah gue."

"Awas aja kalo lo cuma ajak gue main gajelas." Ucapnya sebal.

"Kalo mainnya sama gue sih, pasti jelas. Toh, gue mainnya juga serius."

"Halah gombal." Haba memutar bola matanya malas.

"Padahal gue ga maksud, dasar geer."

"Ngga denger." Haba memasang earphone di telinganya.

"Ga usah pake ini, kita denger lagu bareng-bareng." Atma meraih earphone yang berada di telinga Haba, menggatikannya dengar memutar lagu di playlist mobilnya.

"I Want To Hold Your Hand, The Beatles. Genre musik lo bagus juga." Ungkap Haba yang hanya dibalas anggukan olehnya.

Setelah itu tidak ada percakapan lagi diantara keduanya, hanya sebatas saling bertatap ria di kaca dashboard diiringi senyuman roman milik mereka berdua. Tapi mungkin, bagi mereka berdua itu sudah lebih dari cukup untuk mengekspresikan perasaan keduanya.

"Nih, minum dulu." Atma memberikan sebotol coklat kaleng yang ia ambil dari lemari es dirumahnya.

"Makasih." Jawab Haba singkat. "Dari kemarin gue ga liat orang tua lo, atau lo emang tinggal sendiri disini?."

"Gue sendiri disini." Atma terduduk disamping Haba, lalu membuka macbook miliknya.

"Terus sekarang gue harus ngapain? Ini masih jam 10 pagi. Masa iya gue cuma bener-bener nungguin lo nugas dirumah. Padahal banyak kafe yang comfort buat nugas diluar sana." Keluh Haba.

"Dirumah lebih enak, apalagi ditemenin teteh Haba Bestari yang imut." Atma malah menggoda Haba.

Sudahlah, tamat bagi Haba, wajahnya sudah bersemu merah muda. Tak bisa ia sembunyikan rasa malunya. Pun Atma yang tersenyum gemas sembari mencubit kedua pipi milik Haba.

"Gemes." Atma masih menatap Haba. Haba yang dibuat malu hanya bisa mematung dibuatnya, ia tak bergeming sama sekali, kemudian segera mengalihkan topik pembicaraan mereka berdua.

"Diem. Emang tugas lo sebanyak apa?." Haba mencoba kembali mengatur perasaanya.

"Tugas gue banyak, tapi lo tenang aja, gue ga bakal se-monoton itu buat biarin lo diem disini gajelas."

"Sini, gue liat tugas lo." Haba menyambar macbook milik Atma, melihat isi file-file tugas miliknya.

Sebenarnya, Haba juga sedikit dibuat pusing, karna tugas Atma terlalu berbelit, bayangkan saja seorang anak jurusan arsitektur yang bertemu dengan tugas seorang anak jurusan psikologi. Haba pun menghela nafasnya pelan "Huft, gue bantu do'a aja, tugas lo susah gue gapaham."

'Kenapa gemes banget calon cewe gue'-batin Atma.

"Disamping do'a, tugas lo juga pijetin pundak gue kalau pegel." Atma nyengir.

"HALAH, maunya. Itumah lo semua yang enak, guenya engga."

"Kita berdua enak. Lo bisa bareng gue, gue juga bisa bareng lo, ya bonus sedikit sekalian dipijetin, hehe."

Hari itu pun diakhiri dengan gombalan Atma pada pujaan hatinya di pusat rumah. Cobalah nanti tanya seorang Haba, sudah berapakali dibuat butterflies oleh Sang Bahtera Atma.

***

Halo semuanyaa!

Panggil gue mun.

Welcome to my first story!

Ini cerita pertama yang gue publish di wattpad, Soo kalau masih banyak kesalahan dalam penulisan atau alur yang terlalu monoton gue minta koreksian dari kalian semua yaa :D

Jangan lupa follow ig gue yaa
@dtlsna

cu next chapt<3 -mun

ATMA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang