Batavia, 1981.
"JURRIEN!. Astri kenapa anak itu lama sekali?." Sang belanda cantik di kenal dengan Nyonya Liliana VandenBergh itu berteriak. Di depan rumahnya sang Nyonya terlihat frustasi dengan putra semata wayangnya yang sangat pembangkang dan susah sekali menurut.
"Nyonya, Tuan muda tidak mau ikut." Ujar salah satu pelayan pribumi Nyonya Liliana menyampaikankannya dengan takut takut. Wanita berusia 27 tahun itu lantas turun dari dokarnya mengangkat sedikit dress indah itu dan masuk kedalam rumah.
"JURRIEN." Panggilnya keras sembari menghampiri sang anak yang sedang merengek di sudut ruangan dengan para pelayan yang membujuknya di sekeliling. Tangan Liliana menarik Jurrien hingga sang putra terhuyung ke belakang. Liliana lantas sedikit berlutut menyesuaikan tingginya dengan bocah itu lalu memegang kedua pundak Jurrien.
"Apa alasan kamu tidak mau ikut?." Tanya sang ibu. Tatapannya tajam serius seakan perintah pada Jurrien untuk tegas menatapnya.
"Untuk apa aku ikut mama?." Cicit Jurrien kecil sembari mengelapkan tangannya sendiri ke hidung bangir Belandanya.
Liliana mengehela nafas dan mengusap wajah anak terkasihnya membantu menghilangkan bekas kekacauan rengekan si kecil.
"Sartika melahirkan bayi baru"
Bukannya senang, Belanda kecil itu malah bingung dengan maksud sang ibu
"Kamu mau punya sebuah mainan bukan? Jadi kita harus menemuinya. Beri mainan barumu nama." Lanjut sang nyonya namun di berikan gelengan angkuh sang anak. Liliana tak kehabisan ide. Wanita cantik itu membisikan sesuatu kepada Jurrien.
"Seorang bayi tidak bisa jadi mainan."
"Tapi kalau sudah bisa berjalan dia akan jadi milikmu." Bisik Liliana dengan tatapan tersirat seakan menghubungkan pikirannya pada Jurrien.
.....
Benar saja. Jurrien begitu bersemangat mendengar kata kata itu. Dirinya langsung berlari ke dokar dan mengoceh sepanjang perjalanan ketika menuju rumah yang di maksud sang Nyonya.
Saat sampai, Jurrien melompat dari dokar dan berlari kedalam rumah yang mirip seperti gubuk itu. Kakinya begitu cepat berpacu hingga ia tiba di depan pintu yang baru saja di tutup oleh seorang pria pribumi dengan baju jawa coklat garis garis hitam dan udeng yang bertengger di kepalanya.
"Tuan Jurrien." Pria itu menyapa dan berlutut di depan sang Belanda.
"Aishh Cipto. Bagaimana Sartika?." Nona Liliana baru masuk kedalam rumah gubuk itu dan mendapati anaknya sudah bersama yang di cari.
"Nyonya." Sapa Cipto menundukan kepala.
"Sartika masih di dalam—
"Anaknya sudah lahir?."
"Sudah."
"Astaga Tuhan. Minggir Jurrien." Ujar nyonya Liliana dengan terengah engah berjalan sedikit cepat menerobos kedalam kamar itu.
Seorang pribumi dengan di tutupi kemben terlihat kelelahan dengan beberapa noda darah di sekitar tempat Sartika. Jurrien mengikuti ibunya sembari memegangi gaun indah itu bersembuyi di bayang bayang Liliana.
"Sudah lahir, Sartika." Liliana mengusap peluh di wajah Sartika dengan sapu tangannya. Perasaan lega dan lelah itu lenyap dari wajah Sartika. Wajahnya memancarkan sinar kebahagiaan yang meluap luap.
Seorang gadis dengan kebaya lusuh dan kotor datang membawa bayi yang di selimuti kain murah nan kasar baru selesai di mandikan.
"Ini Nyonya..." tunjuk wanita yang membawa bayi itu pada Liliana. Liliana mengambilnya dan menggendongnya sembari mengusap usal Bayi kecil itu.
"Siapa nama yang akan kamu kasih, Sartika?." Tanya Liliana.
"Itu—
"Mumpung nyonya disini, saya berharap nyonya yang kasih nama. Seperti Beika, Neira, dan... Belka.." ujar Cipto yang hadir dari belakang pintu.
Liliana menatap dalam bayi itu. Matanya bulat berbinar indah. Cantik sekali... Liliana sampai tak bosan terus menatapnya hingga merasa sebuah tangan menarik narik gaunnya di bawah sana. Jurrien sudah menunggu bagiannya untuk melihat hal yang di janjikan untuk jadi miliknya itu.
"Mama, Aku mau lihat." Ujar Jurrien menampa tangan seakan ia juga ingin menggendong bayi itu. Liliana tersenyum manis dan berjongkok membuat Jurrien bisa melihat wajah Bayi itu.
"Apa nama yang cocok Jurrien?."
Tampak sama seperti ibunya, sang Belanda amat terpatung menatap keindahan di depannya. Tangan mungil itu menyentuh setiap inci wajah sang kecil yang pulas tertidur setelah di mandikan.
"Belle." Yang ada di ruangan itu tertawa.
"Dia laki laki ndoro." Ujar Ayu, anak Sartika yang paling tua. Jurrien menatap Ayu polos.
"Nama kamu Ayu, waktu bayi di lahirkan dan di lihat cantik. Lalu kamu dapat nama itu. Dia di lahirkan dan menjadi sangat indah, jadi aku kasih nama dia Belle."
Jawaban sarkas yang cerdas membuat orang orang di ruangan itu terkekeh lagi dengan apa yang di lakukan sang tampan Jurrien.
"Dia memang cantik dan indah ndoro, karena dia punya tiga kakak perempuan yang membuat anak laki laki pun ikut cantik."
"Empat, dia punya empat kakak. Dan yang satunya adalah aku." Orang orang di ruangan itu lantas saling melempar tatap apalagi Liliana yang terlihat canggung malu. Bagaimana bisa Jurrien menyamakan kedudukannya dengan sang Pribumi.
"Aku tetep mau kasih dia nama, Belle." Tegas Jurrien
"Kamu boleh kasih Nama Belle kalau Sartika melahirkan lagi anak perempuan. Yang benar saja Jurrien, sebelum ibu marah." Ujar Liliana tegas menjitak kepala Belanda kecil.
"Kalau dia laki laki, dia masih boleh jadi milikku?."
"Iya, dia bisa jadi temanmu dalam segala hal. Dia akan mengikutimu kemana mana, dia adik mu Jurrien." Jawab Liliana membuat Jurrien menatap Bayi itu lagi.
"Bagaimana dengan Bhyana?."
"Bagus ndoro." Ujar Cipto tersenyum.
"Dia milikku kan... ma?."
.
.
Liliana sungguh menyesal mengatakan kalau Bhyana itu menjadi milik Jurrien sepenuhnya.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BAWAH PIJAKAN TUAN [JEFFBARCODE]🔞
Fanfiction[BoysLove] —Batavia. 1981 Jurrien Van DenBergh adalah seorang Belanda yang lahir dan tumbuh besar di Hindia Belanda. ayahnya yang merupakan seorang Gorvernous di sepanjang daratan Batavia hingga Bandoeng membuatnya memiliki kekuasaan besar. namun a...