Tiga, nih

121 8 1
                                    







Happy reading.....

Jangan lupa voment biar berkah.



Oke?




















"Jangan harap bisa keluar dari kamar ini kalo emosi kamu belum lenyap." itu ucapan Samuel sembari menutup pintu kamar Kevan dengan rapat dan menguncinya, membiarkan sang adik yang kini hanya terdiam di dalam sana dengan tangan kanan yang bergetar karena beberapa menit lalu ia gunakan untuk memukul rahang kakaknya itu.

Itu sepenuhnya bukan ulahnya, dan Kevan membenci hal itu. Lagi-lagi ini tentang jiwanya, sangat menyebalkan saat bahkan ia tak dapat mengendalikan dirinya sendiri.

"Gapapa, Kak?" Derren yang kebetulan lewat di depan kamar Kevan itu bertanya pada Samuel yang sedang memijat pelipisnya.

"Gapapa, nanti juga sembuh," jawabnya dengan sedikit tersenyum lalu menepuk pundak Derren sebelum pergi ke kamarnya.

Derren memegang gagang pintu kamar Kevan yang terkunci, diam beberapa saat lalu menghela napas. Bukan seperti ini yang ia inginkan, bukan membuat Kevan semakin tersiksa dengan apa yang sedang dideritanya saat ini. Menyebalkan sekali saat Derren seolah tak bisa berbuat apa-apa.


Malam harinya, setelah Samuel membuka pintu kamar Kevan dan berakhir di meja makan dengan dentingan sendok sebagai musik paling mendominasi.

"Maaf..."

satu kata yang sangat lirih keluar dari mulut Kevan. Yang membuat Samuel meliriknya sebentar. Luka di rahangnya sudah baik-baik saja, dan itu juga bukan masalah. Tapi, perkataan Kevan sukses membuatnya sedikit menyesal sudah bertindak kasar pada adiknya itu beberapa saat lalu.

"Maaf karna Kevan selalu nyusahin, maaf Kevan selalu nyakitin kalian, maaf--" Kevan berhenti sejenak, tenggorokannya tercekat, rasa-rasanya seperti ada yang mau runtuh di dalam pertahanannya. "Maaf, penyakit ini bukan Kevan yang mau..."

Kalimat itu, membuat mereka tertegun. Derren maupun Samuel semakin merasa bersalah karena mereka selalu bertindak kasar kepada Kevan. Jujur saja, mereka tidak tau harus berbuat apa saat penyakit itu menyerang Kevan.

"Kita semua tau kalo saat itu bukan kamu, its okay," ujar Sehun mengusap bahu Kevan yang duduk di sebelahnya sembari tersenyum canggung.

Lagi, Alter Ego itu masih menjadi masalahnya.

Lalu berakhir dengan memulai pembicaraan yang sudah sering mereka perdebatkan.

"Minggu depan Mama sama Papa pulang," ucap Sam setelah meletakkan alat makannya lalu menatap ketiga adiknya. Sebagai anak pertama, ia harus bisa menangani semua persoalan yang terjadi. Dan menurutnya, kedua orang tuanya tak perlu tahu mengenai apa-apa yang terjadi di rumah ini termasuk penyakit Kevan.

Sam hanya ingin mereka berdua bekerja dengan tenang di luar negeri sana tanpa memikirkan kerisauan anak-anaknya. Ia hanya perlu menempatkan diri sebagai mama dan papanya, memperhatikan perkembangan Kevan, dan sebisa mungkin membuat agar penyakit sialan itu pergi walaupun sulit.

"Kevan janji gak akan--"

"Kita hanya perlu berkata baik-baik aja."

Dengan pandangan lurus ke depan, Sam memotong perkataan Kevan. Ya, hanya perlu berperilaku seolah tidak ada apa-apa, maka semuanya akan selesai. Begitu pikirnya. Padahal terkadang Tuhan tak selalu mempermudah rencana umatnya.

Ia anak pertama, dipercayai kedua orangtuanya untuk menjaga ketiga adiknya di saat mereka disibukkan dengan uang. Maka menurut Samuel, mereka tidak perlu tahu perihal Kevan. Sam ingin mereka tidak terbebani, dan juga mereka jarang sekali di rumah jadi tahu atau tidaknya itu tidak merubah apapun. Sam hanya perlu meyakinkan diri bahwa semua akan gwencana dan dirinya mampu mengatasinya.


 Alter EgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang