Di sebuah senja yang tidak terduga, di bawah kuyup oleh guyuran hujan. Aku tahu pasti, sore itu Pak Yadi sedang sendirian di rumah.
Tadi siang aku melihatnya mengantarkan istri dan anaknya.
“Ini, mengantar istri dan anak mau mengunjungi neneknya, mumpung libur sekolah,” kata pak yadi menjawab pertanyaanku.
Saat itu kami berpapasan jalan depan rumahku. Wow, inilah saatnya, pikirku. Entah kekuatan apa yang mendorongku, tiba-tiba saja aku sudah berada di teras depan rumahnya sore itu.
Dari jendela aku lihat Pak Yadi membaca koran di kursi sofa ruang tamunya.
“Eh, Dik Aryo, mari masuk, biar nggak basah,” sambutnya begitu melihatku kuyup di teras.
“Oya, Pak, terima kasih, Pak,” kataku sembari melangkahkan kaki memasuki rumahnya yang asri.
Aku lalu duduk di sofa, berseberangan meja tempat Pak Yadi duduk. Dadaku berdegup kencang. Bagaimana tidak, pria yang paling aku impikan duduk hanya satu setengah meter di depanku, aku tidak kuasa menatap matanya.
“Wah, hujan kok nggak berhenti ya. Eh, kalau pingin minum ambil sendiri ya, soalnya ibu sedang pergi,” katanya ramah.
Kaos oblong putih dan sarung yang dia pakai membuat perutnya membulat, darahku terkesiap.
Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus melakukannya.“Pak, sebenarnya saya kesini karena ada sesuatu yang penting. Tapi saya sungguh meminta pada Anda, apapun yang yang saya katakan, tolong jangan Bapak ceritakan pada siapapun,” kataku setengah gemetar.
Wajah Pak Yadi sontak menegang, kalimat yang barusan aku ucapkan jelas bukan kalimat biasa. Benaknya pasti dipenuhi seribu pertanyaan kini. Aku bisa melihatnya dari cara dia meletakkan koran.
Kini wajahnya tegak lurus di depanku. Keningnya berkerut, menampakkan seorang yang sedang berusaha keras menemukan sebuah jawaban atas rasa penasaran yang sedang menderanya.
Awalnya terbata aku menjelaskan. Aku katakan padanya, aku menyukainya sejak bertahun lalu, sejak nafsu seks mulai menjalari benakku.
Aku membayangkannya setiap waktu dan bermimpi menciumi setiap inci kulit lelaki seksi itu. Ya, aku mencintainya, dengan cara yang dia tidak pernah tahu.
Wajahnya menampakkan kebingungan dan salah tingkah. Tetapi hal itu hanya beberapa menit saja berlangsung.
Sebentar kemudian, wajah itu sudah kembali tenang dan sangat kebapakan, membuat gairahku merayap makin tinggi. Lalu aku dengar jawaban yang sungguh di luar dugaan.
“Hmm, sesungguhnya Bapak kaget dengan apa yang Dik Aryo ungkapkan. Tapi jangan kawatir, Bapak tidak akan memberi tahu siapapun. Sekarang, bolehkah Bapak tahu, apa yang ingin adik lakukan pada Bapak jika ternyata Bapak juga mau?” tuturnya tenang.
Sejenak aku terpana, ini seperti mimpi. Lalu aku beranjak dari kursi, berjalan mendekati lelaki impianku. Pertama kali aku dekatkan wajahku ke depan wajahnya, begitu dekat. Kuusapkan telapak tanganku pada wajahnya.
Bulu-bulu wajahnya dalam sentuhanku, langsung memicu nafsu dan kurasakan batang kemaluanku bangkit dengan cepat.
Aku cium kedua pipinya, ciuman panjang, sepanjang masa penantianku. Lalu aku kecup bibirnya.
Awalnya Pak Yadi masih agak grogi menanggapiku. Tapi lalu bibirnya memagut bibirku, kami berciuman. Kucium aroma rokok dari mulut laki-laki itu. Sambil berciuman, tanganku mengusap lengannya yang berbulu.
“Saya akan buka kaos Bapak, bolehkan?” kataku.
“Lakukan, Aryo, Bapak menikmatinya,” katanya.
Tangan gemuknya yang sedari tadi melingkari pinggangku mengendur lalu terangkat bersama kaosnya yang aku singkap.