Mimpi Belaka

6 4 0
                                    

Cerita ini hasil pemikiran nyata dari penulis. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, latar, tempat, alur dan lain sebagainya.

selamat membaca, selamat menikmati dan semoga suka.
Terimakasih.

***


Angin bertiup kencang di musim gugur. Daun-daun berjatuhan, lepas dari tangkainya. Dini hari yang dingin seluruh penduduk kota bermalas-malasan. Mereka enggan menyingkap selimut, apalagi sampai turun dari ranjang. Namun, tidak dengan Alya. Setumpuk tugas pagi telah menanti.

Memberi makan hewan-hewan yang peliharaannya, mencuci pakaian, hingga menyiapkan makanan. Lalu, di siang hari dia membantu Pamannya di pasar, padahal tugas itu teramat berat untuk seorang anak perempuan.

Alya tak punya cukup waktu untuk beristirahat di malam hari. Dia harus membantu bibinya menyulam. Sambil menyulam Alya menunggui Ayahnya yang sakit keras. Pada malam yang cerah yang tak berangin, Alya duduk di tepi jendela kamar Ayahnya. Alya sangat senang memandang ribuan keping bintang di langit.

"Apa yang kamu bayangkan?" tanya Ayah Alya dengan pandangan iba. Ayah Alya sebenarnya tak tega melihat tangan anaknya yang selalu memar dan penuh luka karena harus seharian bekerja.

"Andaikan bintang-bintang itu jatuh terus jadi uang biar bisa Alya pungut," gumam Alya sembil tersenyum.

Alya tinggal di rumah baru yang kokoh dan indah. Paman Alfeza dan istrinya juga tinggal di sana bersama Anak-anak mereka. Ibu Alya sudah lama meninggal dunia.

Ayah Alya termasuk orang kaya, dia memiliki peternakan dan ladang di desanya. Hanya saja, sejak Ayah Alya jatuh sakit, Paman Alfeza dan istrinya mengambil alih semuanya.

Di musim dingin yang kelabu, Ayah Alya memanggil Alya dan keluarga Paman Alfeza. Dia ingin membagikan harta warisan separuh untuk Alya dan sisanya untuk keluarga Paman Alfeza, tetapi Paman Alfeza dan istrinya itu merasa pembagian itu tidak adil.

"Kalau Alya mendapat warisan, berarti kau juga harus memberikan anak-anakku warisan, toh mereka juga keponakanmu!" protes Paman Alfeza.

"Tapi, Alya sudah tak punya ibu. Jadi harta yang separuh itu merupakan harta yang kuwariskan kepada istriku, ibunya Alya!" tukas Ayah Alya.

Paman Alfeza tetap bersikeras memaksakan kehendaknya hingga akhirnya Alya tak mendapat apa-apa, kecuali celengan ayam dan uang logam.

"Biarlah! Toh, uang itu tak ada lagi harganya!" gumam paman Alfeza

Keesokan harinya Ayah Alya meninggal dunia, Alya sangat berduka. Sepeninggal Ayah Alya, Alya mendapat tugas lebih berat dari paman dan bibinya. Mereka memperlakukannya seperti pembantu. Alya harus tidur di dapur yang lembab dan kotor. Namun anehnya, setiap malam Alya selalu mengingat kata Ayahnya. Ayah Alya mengatakan sesuatu. "Ada ribuan keping bintang dalam celengan ayammu!"

Alya tak pernah mengerti arti dari kata itu. Sampai suatu ketika terjadi kebakaran di rumah Alya, hingga harta benda mereka tak ada lagi yang terisa. Rumah baru peninggalan Ayah Alya pun hancur berantakan, Alya menemukan celengan ayamnya  terpuruk di balik reruntuhan. Untungnya tidak ada korban jiwa karena seluruh keluarga pergi bekerja.

Keluarga Paman Alfeza jatuh miskin. Paman Alfeza pun sakit keras karena setiap hari memikirkan hartanya yang hilang. Istri paman Alfeza menyuruh Alya mencari nafkah ke kota lain.

"Jangan pulang ke mari sebelum mendapatkan uang dan persediaan makanan!"

'Bacot!' umpat Alya dalam hati.

Alya tak tahu harus mencari uang di mana. Dia hanya membawa celengan ayam dan uang logamnya. Siapa tahu uang itu laku di kota lain. Sayangnya, ternyata Alya hanya menjadi bahan tertawaan para pedagang. Namun, ketika dirinya memasuki sebuah toko jam, seorang terpukau dengan uang-uang logam itu.

"Hei, ini uang langka yang tak ternilai harganya!" gumam kepala museum itu.

Ternyata itu adalah kelakuan seorang kepala Museum di kota, dia membantu Alya melelang uang logam itu. Hasilnya sangat mengejutkan! Dengan banyak uang logam itu dia menjadi kaya raya. Keping-keping logam itu sungguh tak ternilai harganya. Paman dan bibinya senang mendengar berita itu. Mereka berangan-angan menjadi orang kaya.

Sungguh di luar dugaan, pengadilan memutuskan kekayaan Alya disimpan negara sampai Alya dinyatakan dewasa. Alya yang masih kanak-kanak dan telah putus sekolah akhirnya diangkat menjadi anak oleh Pak Kepala Museum. Dia dirawat dan disekolahkan dengan layak.

Sementara Paman Alfeza dan istrinya kecewa. Paman Alfeza yang tak sabar menunggu Alya dewasa, bertambah parah sakitnya. Tak lama kemudian paman Alfeza meninggal dunia. Bibi Alfeza terpaksa menjadi pelayan di rumah Pak Kepala Museum untuk menghidupi anak-anaknya.

Ketika Alya menginjak usia 18 tahun, negara menyerahkan kekayaannya, lantas menjadi gadis terkaya di kotanya.

Alya sudah memaafkan perlakuan keluarga pamannya yang kejam. Alya juga sudah melupakan masa lalunya, kecuali satu hal. Suara Ayah Alya masih terngiang-ngiang. "Ada ribuan keping bintang dalam celengan ayammu!"

***

Sinar matahari di pagi hari membangunkan Alya dalam tidur nyenyaknya, matanya terbuka sedikit dan menarik sedikit selimutnya. Alya terkejut dan sekarang Alya menyadari kalau dirinya sedang berada di kamarnya yang usang, bukan kamarnya yang baru. Bukankah semalam dia sedang berada di kota lain, serta tidur di kamar yang baru?

“Astagfirullah, cuman mimpi,” ucap Alya pelan, ia segera bangun dan melirik kamarnya. Ternyata semua kekayaan yang Alya miliki adalah sebuah mimpi.

Tanjungpinang, 13 Juli 2023

Nama : Sukma Nabila Fitriyani
Jumkat : 759

Kumpulan Cerpen IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang