Namaku Arindi Silvania. Aku baru saja terbangun dari mesin hibernasi. Bukan, aku bukan seorang astronot; ibu mengharuskanku tidur di mesin ini agar aku dapat terbangun saat aku berusia dua puluh satu tahun.
Ternyata rasanya seperti tidur malam di hari-hari biasa. Bedanya, aku tertidur dalam mesin bersuhu dingin dan proses penghangatan terjadi saat menit-menit menuju siuman. Ketika aku terbangun, suhu tubuhku sudah kembali normal.
Sebagaimana prosesi ketika aku masuk ke dalam mesin, beberapa tahun lalu ibu berpesan bahwa ketika terbangun aku akan disaksikan oleh ibu, saudara kembarku, serta dua asisten artifisial bernama Mel dan Mo. Pagi ini berbeda. Aku melihat Arinda menyapaku penuh semangat.
"Arindi! Aku merindukanmu!" Ia memeluk tubuhku begitu erat. Kubalas pelukannya. Dari rambutnya yang tergerai, aroma sampo lidah buaya menyeruak memasuki lubang hidungku. Kuharap bau rambut dan tubuhku tidak parah-parah amat.
Aku menitikkan air mata. "Hai, Nda. Sudahkah kita berusia dua puluh satu?"
Arinda menggelengkan kepala. Rambut ikalnya lebih panjang sejak terakhir kali aku melihatnya. "Masih sembilan belas. Ibu bilang kau memang akan dibangunkan lebih awal. Mesin torpor ini memerlukan sedikit perbaikan sekaligus penambahan fitur, katanya." Ia mengangkat bahu.
Ah, iya. Torpor. Itu sebutan yang kerap digunakan oleh Nda. Lebih praktis daripada 'mesin hibernasi'. Kutengok mesin berbentuk kapsul itu dengan cermat. Tidak ada asap atau bunyi mendesis, tetapi tampaknya dua lampu indikator tidak berfungsi. Nda lalu mempersilakan diriku untuk bersih-bersih dan kumanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Sekarang, rambut kami berdua sama-sama menguarkan aroma lidah buaya. Omong-omong, ruangan ini layaknya kamar dilengkapi fasilitas kamar mandi di dalam. Kendati kamar pribadiku ada di lantai tiga, tapi aku juga merasa nyaman di sini. Aku telah terbiasa menyebut ruangan ini sebagai ruanganku.
"Aku punya kejutan untukmu, Ndi. Aku membuat permainan yang—"
Tunggu. Seperti ada yang aneh, tapi apa, ya? Kuamati letak lemari, meja, sofa, serta layar holo. Semuanya sama persis seperti ketika sebelum aku memasuki mesin torpor. Jendela serta tumpukan buku pun agaknya tak berubah, tapi kenapa aku merasa situasi ini agak asing?
"Rindi?"
"Ah, i-iya? Maaf, sepertinya aku butuh minum."
Tapi kenyataannya aku tidak haus sedikit pun. Hei, bukankah ini aneh? Menu sarapan juga sebenarnya telah tersaji di atas meja, tapi aku juga tidak lapar sekalipun ada roti serta berbagai selai, lengkap pula dengan susu dan buah-buahan. Ini terlalu banyak untukku seorang diri. Saudari kembarku pun menolak tawaranku dengan halus.
Nda berujar setelah aku menghabiskan segelas air mineral. "Kau pasti suka!" tebaknya. "Berkat Mel dan Mo, aku bisa mewujudkan ideku membuat berbagai jenis permainan."
"Wah, virtual reality?"
"Augmented reality." Nda mengoreksi. "Aku sering menyebutnya 'simulasi'." Ia pun memakaikan benda semacam helm padaku. Ah, untunglah rambutku sudah agak kering. Warna perangkat itu seputih susu, senada pula dengan lantai ruangan ini. Kutaksir bobotnya lumayan, tapi ternyata ketika dipakai terasa ringan.
"Pilihan dan gerakanmu dikendalikan oleh pikiranmu, Ndi. Aku berani bertaruh kau pasti menyukai menu ketiga."
Aku hendak bicara pada Nda, tapi suara dalam alat ini keburu meyapa. "Selamat datang, Arindi Silvania. Silakan pilih menu permainanmu."
Aku memilih menu sesuai perkataan Nda. Perasaan haru membeludak dalam dadaku ketika seorang pria berambut ikal tersenyum dan berkata, "Ayo kita memancing, Arindi." Ia lantas memakaikan sebuah kupluk di kepalaku. Di kejauhan, kulihat matahari kian mendekati ufuk barat. Sungguh sesuai nama permainannya: Memancing Bersama Ayah. Kupikir hanya sebuah tontonan, tapi ternyata aku dilibatkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Boneka
Conto[Cerita ini diikutsertakan dalam lomba Untomodachi] "Kami butuh kebebasan, bukan penjara berkedok kemewahan." - Arindi Silvania