Naura memandang pantulan dirinya pada cermin didepannya. Tubuhnya terbalut dengan dress menawan berwarna merah muda dengan beberapa ornament bunga-bunga yang tersebar dibeberapa bagian kain baju.
Hembusan napas pelan keluar dari bibir Naura. Lagi-lagi Naura tak berniat beranjak dari depan cermin, ia masih senantiasa memperhatikan pantulan dirinya. Entah apa yang salah dengan penampilannya kali ini padahal saat kemari pun hampir setiap orang yang ia lewati turut memberikan pujian terkait betapa menawan dirinya kali ini.
Suara deritan pintu yang jelas terdengar ditelingannya pun belum mampu membuat Naura terdistraksi. Naura mengigit sedikit bibir bawahnya seraya menutup kedua matanya. Belum lama, kedua alisnya bergerak naik sepersekian detik kala bahunya merasakan sentuhan lembut.
"Sorry."
Tidak tahu bagaimana dari sekian banyaknya kosakata yang pernah Naura gunakan, hanya itu saja yang bisa ia keluarkan saat ini.
Naura membuka matanya perlahan, ia melihat jelas orang yang sedang meremas lembut kedua bahunya—Alendra tengah menggeleng pelan. Meski tidak saling berhadapan, tatapan mereka berhasil bertabrakan melalui pantulan cermin didepan.
Alendra kemudian tersenyum lembut. Tipis namun cukup untuk menjerat perempuan, mungkin juga Naura. "Nggak perlu minta maaf, nggak ada yang salah disini."
"Aku cape kaya gini terus." Ujar Naura pelan. Ia lalu berbalik dan sedikit memundurkan diri hingga hampir menabrak cermin. "Kamu nggak cape sama aku?."
Alendra tak langsung menjawab. Lelaki itu terlebih dahulu merespon tindakan Naura—ia maju sebanyak langkah mundur Naura sebelumnya hingga akhirnya posisi mereka kembali dekat seperti sebelumnya.
"Pernah. Aku pernah cape sama kamu dan mungkin aku bakal ngerasain hal itu lagi." Alendra berhenti sejenak berniat memeriksa raut wajah Naura yang nyatanya tidak berubah sedikit pun. "Tapi gimana pun capenya aku kekamu, pasti bakal bentar doang. Soalnya obat cape aku ya kamu."
Sama kamu sakit, nggak sama kamu lebih sakit.
Naura terkikik geli. "Kamu bisa nggak kalau ditanyain tuh jawabnya yang bener, jangan ditambahin pake gembelan kamu itu. Ke aku nggak mempan loh." Peringatnya dengan kedua mata yang menyipit melirik Alendra.
Disaat seperti ini—saat dimana apa yang sebenarnya datang dari hati Alendra hanya dianggap rayuan buaya darat oleh Naura—Alendra hanya bisa tersenyum bangga sambil mengedikkan kedua bahunya. Layak seperti sedang membanggakan dirinya padahal didalam tubuhnya sedang berusaha menguatkan diri.
"Yaudah ayo keluar, kayanya bentar lagi mulai." Ajak Alendra setelah sebelumnya melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya.
Naura terdiam. Lagi-lagi rasa itu muncul. Bahkan baru beberapa menit hilang, namun sekarang sudah kembali memenuhi semua ruang tubuh Naura.
"Naura." Alendra mengangkat telapak tangannya diudara, tepat didepan Naura. Meminta perempuan itu untuk menggenggam tangannya. "Ayo keluar."
Perempuan itu akhirnya meletakkan tangan kanannya diatas telapak tangan Alendra yang mengudara seraya menghela napas beberapa kali. kepalanya ikut menggeleng setiap kali ini menghela napas.
Disampingnya, ada Alendra yang mulai mengusap pelan punggung tangan Naura digenggamannya. Kakinya mulai menuntun Naura untuk ikut melangkah keluar dari ruangan.
Begitu membuka pintu, banyak wajah-wajah asing terlihat. Beberapa pasang mata ada yang ikut curi-curi pandangan pada mereka. Ada juga yang terang-terangan tersenyum maupun bersorak heboh.
Tanpa dirasa, Naura tersenyum bebas. Alendra yang sama sekali tak melepaskan pandangan darinya pun ikut menarik senyuman. Lelaki itu lantas mempercepat jalan mereka agar sampai lebih cepat ditempat yang sudah disediakan.