PROLOG

14 3 7
                                    

“Kau tau, Lucky? Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia. Bahkan aku juga tidak pernah berharap dilahirkan dengan pilihan nasib seperti ini.”ucapan itu terdengar sangat pilu menggambarkan jika ia benar-benar sangat terluka saat ini.

Gadis cantik Delapan belas tahun tersebut tengah merenung menatap kosong pada tumbuhan hijau di bawah sana dengan kedua kaki yang berayun-ayun di pebatangan pohon  yang rimbun. Bibir ranumnya bergetar di iringi buliran bening yang mengalir dari manik mata hitamnya, membasahi wajah putih dan tampak mulus itu. Rambut hitamnya yang panjang di biarkan tergerai agar terpahan angin menyapunya dengan lembut. Sesekali ia memejamkan mata, menghirup udara segar yang terasa masuk dalam paru-paru.

𝘊𝘶𝘪𝘪𝘵𝘵... 𝘊𝘶𝘪𝘪𝘵𝘵𝘵....

Seekor burung cantik yang tengah hinggap di pundak kirinya mengepak beberapa kali, juga mengeluarkan suara seolah mengerti apa yang tengah gadis itu pikirkan. Sesosok burung yang memiliki sayap indah dengan bentuk layaknya Merpati, namun ia memiliki warna bulu kuning keemasan dengan warna kaki dan paruh seputih susu. Juga memiliki pupil mata hijau menyala. Sangat cantik! Bahkan gadis itu pun tak tahu itu burung spesies apa. Ah, bahkan gadis cantik itu tidak pernah perduli tentang hal itu. Tidak perduli itu Burung apa, yang penting dia mau menjadi temannya.

Gadis itu menoleh lalu tersenyum manis. Burung yang ia jumpai tiga bulan lalu dan membuatnya sangat terpesona karena kecantikannya. Ia merasa sangat beruntung bertemu dengan burung yang ia panggil “Lucky” tersebut, karena hewan kecil itu mau berteman dengannya.

“Iya. Aku tidak akan menangis lagi. Kau tidak perlu khawatir, Lucky. Semuanya mungkin akan baik-baik saja,” Ia berucap meyakini. Lebih tepatnya pada diri sendiri. Lalu ia kembali memandang lurus ke depan dengan senyuman yang sudah memudar, “Mungkin?!” lanjutnya lirih terdengar miris.

Saat gadis tersebut kembali termenung, tiba-tiba beberapa dedaunan hijau berjatuhan mengenai kepala gadis itu layaknya bunga yang tengah menyiraminya dari atas. Gadis tersebut mengerjap dan mengambil beberapa daun yang jatuh di pangkuannya. Senyumnya kembali merekah mewarnai wajah cantiknya.

“Terimakasih.” Ia berucap seraya menengadahkan kepala ke atas, menatap daun lebat yang tertata rapi di dahan pohon nya. Ya, gadis tersebut berbicara pada pohon yang di hinggapinya sekarang.

Selain Burung cantik itu, Pohon ini juga ia anggap teman. Mereka bertemu di satu tempat yang sama. Disini.

“Aku akui, aku tidak mempunyai teman yang bisa aku ajak berkeluh kesah. Semuanya tidak ada yang bisa di percaya. Aku lebih nyaman mencurahkan seluruh isi hati ku disini bersama mu.”

Amarantha Celcillia.

Disinilah tempat ternyaman di saat hatinya terpuruk. Sejak kematian Ayahnya tiga bulan yang lalu, lantaran penyakit mengerikan yang telah memisahkan sang Ayah dari dirinya. Entah mengapa ia sangat suka menaung di tempat ini. Meluapkan semua kesedihannya di pohon ini. Kematian sang Ayah membuatnya sangat terluka. Apa lagi saat sang Ibu memutuskan untuk menikah lagi di saat kematian Ayahnya belum genap satu bulan. Ibunya juga sangat berubah setelah menikah. Dia menjadi sangat kasar pada dirinya. Semua hal kecil pun di besar-besarkan, bahkan juga sering ringan tangan. Itu membuat Amara menjadi takut pada sang Ibu.

Itu sebabnya Amara lebih suka menyendiri di pohon ini. Bahkan ia juga tidak jarang bermalam diatas pohon tersebut. Meskipun banyak orang bilang pohon itu angker dan berbahaya, Amara tidak sedikitpun mersa takut. Malahan sebaliknya, Amara lebih sangat nyaman disini. Konon, banyak yang bilang jika pohon itu sudah berusia ratusan tahun. Tak pernah berbuah atau bahkan sekedar berbunga. Mungkin karena itu orang-orang menyebutnya Pohon Keramat. Di karenakan usianya yang diketahui berabad-abad. Lokasinya jauh dari perumahan kampung, dan berada di tempat yang sepi. Sangat jarang ada orang yang berkunjung atau hanya sekedar lewat di tempat itu.

Beberapa kali penebang berusaha menumbangkan pohon tersebut, namun sejauh ini belum ada satupun yang bisa. Pohon tersebut seolah tidak bisa tersentuh benda tajam yang berusaha melukainya. Dahannya sekuat besi baja yang tak bisa tersentuh benda tajam. Namun rumor tentang usia Pohon itu  membuat Amara sedikit ragu. Karena tumbuhan besar tersebut tetap seperti pohon pada umumnya. Subur, rimbun, dan kuat. Tidak ada sisi yang menunjukkan jika Pohon itu tua. Tidak ada gangguan buruk juga selama Amara mengenal tempat itu. Hanya Burung cantik yang ia beri nama "Lucky", yang menghuni pohon tersebut. Tidak ada makhluk lain selain dia. Bahkan serangga pun seolah enggan untuk mendekati pohon tersebut.

Salah satu yang membuat Amara nyaman, suasananya yang hangat dan udara sejuk. Tidak pernah ia merasakan kedinginan walaupun sering bermalam disitu. Meski hujan sekalipun. Amara seolah merasakan jika pohon besar itu hidup dan memiliki jiwa.

Senja sedikit lagi akan muncul dan memperlihatkan diri. Menandakan jika malam akan segera tiba. Amara menyamankan posisi untuk membaringkan tubuhnya di antara dua dahan pohon yang berhimpitan. Mencari posisi agar terasa aman dan tidak akan terjatuh. Amara meringis saat telapak tangannya tidak sengaja menggesek kayu yang bersisik karena menyeimbangkan diri lantaran hampir terpeleset ke bawah. Gesekan tersebut lumayan keras sehingga membuat tangan Amara terluka. Satu tetes darah keluar dan menodai dahan pohon yang di tempatinya. Tanpa amara sadari, darah tersebut menyerap pada dahan pohon yang ia duduki dan menghilang dalam hitungan detik.

Lucky yang tengah terbang di atas Amara bergegas menghampiri dan hinggap di telapak tangan Amara. Kepalanya menggeleng-geleng seolah menghawatirkan luka Amara.

“Tidak, tidak, aku baik-baik saja.” Amara seolah mengerti dengan sikap Lucky, dan hanya tersenyum meyakini. Ia membersihkan luka di telapak tangannya menggunakan ujung baju yang dikenakan. Lalu ia kembali merubah posisi agar bisa merebahkan dirinya. Sementara burung cantik itu kembali terbang dan hinggap di ranting kecil tak jauh dari tempat Amara. “Aku jadi seperti Tarzan yang sangat suka tidur di atas pohon.” gadis tersebut terkekeh geli menyadari kelakuannya yang bisa terbilang aneh.

“Aku akan bermalam disini, Lucky. Aku ingin bertemu dengannya lagi dalam mimpi.” Amara menatap langit yang terhalang dahan lain dan dedaunan lebat. Dia yang di maksud adalah seseorang yang sering datang dalam mimpinya. Sosok yang tidak bisa ia ingat jelas wajahnya saat terbangun, namun moment hangatnya selalu melekat di kepala Amara.

𝐶𝑢𝑖𝑖𝑡𝑡.... 𝐶𝑢𝑖𝑖𝑖𝑡𝑡

Lucky menanggapi dengan kicauan, seolah paham apa yang di maksud sang Gadis.

LORD ANGEL'S (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang