"Za! Kenapa lo cuma diem? Harusnya lo lawan mereka, Za! Gue tau lo itu aslinya bisa!" geram seorang gadis dengan perawakan tidak beda jauh dari lawan bicaranya.
Matanya menajam, tangannya sedikit mencengkeram erat pada orang di depannya.
"Buat apa, Zel?! Buat apa gue lawan?" Kepalanya tertunduk, sebuah cairan bening mulai menetes dari ujung kelopak matanya.
"Tapi gue yakin lo bisa ngelawan mereka, Za! Lo bisa!" ucap Zelia dengan yakin.
"Kalo gue lawan mereka, fakta tentang itu bisa berubah? Enggak, 'kan? Mereka bener, Zel! Sekali lagi, mereka bener!" jawab Zalza penuh penekanan, suaranya mulai serak, kini badannya bergetar hebat menahan sesak yang menyeruak di dalam dadanya.
Siapa yang terima jika sahabat kesayangannya direndahkan oleh orang lain? Tentu tidak! Itulah yang dialami Zelia saat ini.
Zelia tidak mau jika Zalza--sahabatnya direndahkan oleh orang-orang yang tidak pernah memikirkan perkataannya sendiri.
Sekalipun hal yang mereka ucapkan adalah benar, tetapi apakah terima, jika masalah keluarga mereka juga diumbar di depan banyak orang seperti yang mereka lakukan kepada Zalza?
Namun, perkataan Zalza membuat Zelia bungkam. Benar, meskipun Zalza melawan perbuatan mereka, bukannya berhenti membuat ulah, mereka akan semakin gencar untuk merendahkan Zalza berkali-kali.
Isak tangis yang keluar dari bibir kecil Zalza terdengar begitu menyesakkan, membuat Zelia turut hanyut dalam rasa sakit sahabatnya.
Saat ini, yang bisa Zelia lakukan hanyalah merangkul pundaknya dan sedikit mengusapnya perlahan. Mencoba untuk menenangkan Zalza dengan perlakuannya.
"Maafin gue, Za, gue ngga dateng di waktu yang tepat pas mereka giniin lo."
--TRyA--
"Tuhan, kenapa harus saya?"Seorang gadis tengah meringkuk di atas kasur dengan air mata yang mengalir tanpa henti.
Suara gaduh dari luar kamarnya kini terdengar semakin rancu. Selalu saja, hanya sahutan ketidak terimaan dari kedua belah pihak yang lagi-lagi disuguhkan oleh orang tuanya.
Zalza muak! Kenapa masa remajanya harus pahit seperti kopi hitam? Apakah Zalza tidak berhak untuk merasakan kebahagiaan seperti remaja di usianya?
Ia tahu, Tuhan sudah merancang setiap alur kehidupan manusia dengan sangat baik, tetapi inilah ia, hanya seorang manusia lemah yang selalu mengeluh atas semua fakta.
"Tuhan, kapan suara teriakan ini selesai? Sampai kapan, Tuhan ...."
--TRyA--
"Buk, Zalza pamit berangkat ya, assalamu'alaikum," pamit Zalza, kemudian mencium tangan ibunya dengan sopan. Detik berikutnya, ia berlari kecil dan segera pergi menaiki motor bututnya.
"Wa'alaikumussalam, hati-hati, Za!" jawab Citra--ibu Zalza setengah berteriak karena anaknya yang sudah menyelonong dengan cepat.
Seperti biasa, jam menunjukkkan pukul 05.45, tetapi gadis itu sudah siap dan berangkat ke sekolah disertai seragam lengkap yang terbalut apik di tubuhnya.
Zalza memang sengaja berangkat sepagi itu, selain supaya tidak telat, motor bututnya tidak bisa digunakan dengan cepat. Jadi, ia harus berangkat pagi supaya tidak terburu-buru dan berujung tidak bisa masuk karena gerbang sekolah yang tertutup karena kesiangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Renjana yang Amerta
Ficção AdolescenteTentang renjana yang harus temu, tentang atma yang tidak tenang, tentang nestapa yang harus jadi hasra. Seorang gadis remaja yang menginginkan bahagia, pada hal-hal rumit yang selalu dianggap sederhana. "Gue punya harap, tapi jika ia tidak hirap."...