Alkisah di bulan Juni sekarat oleh kemarau, dua manusia secara kebetulan bertemu pada suatu ruang sempit. Berukuran lima kali tiga meter berisi empat meja kerja tertata dua baris. Enam kursi kantor sandaran rendah diatur sejumlah tiga-tiga untuk tiap sisi bersebrangan.
Dua manusia itu, anak perempuan dan laki-laki. Disebut begitu karena sela usia mencapai sembilan tahun di antara mereka. Salah satunya dua puluh satu Mei lalu sementara lainnya mendapat piagam kepala tiga tak kunjung menikah tanggal lima belas ini.
Anak perempuan itu kelewat naif dan penasaran. Si laki-laki kokoh dan keras kepala, baginya dunia adalah sebuah lakon bernilai hitam-putih. Tokoh lain di sekitar mereka terburu undur diri jika keduanya melangsungkan perjamuan tanpa akhir.
Seperti siang ini. Kotak-kotak makan telah dibagikan meski masih tak mampu membakar selera untuk menelan. Anak perempuan itu berdiri dari kursinya, memutar kenop pintu menimbulkan bunyi 'klik' familiar. Dari baliknya, muncul wajah-wajah lelah seakan menggelar peragaan mingguan demi predikat Si Paling Budak Korporat. Mulai dari kacamata turun hingga pangkal hidung, kerutan permanen di dahi, rambut memutih di usia belia, atau bahkan cambang panjang tumbuh tak tentu.
Duduk di paling sudut, si laki-laki sudah menemukan dirinya mengeluh perihal menghabiskan usia. "Hidup saya sudah terasa jutaan tahun, tahu!"
Meski tahu keluhan itu tak ditujukan padanya, anak perempuan itu tetap gatal menanggapi. Kakinya tersilang di bawah meja saat ia menyahut, "Memangnya kamu hidup di zaman purba, mas?" matanya menelaah si laki-laki mulai dari potongan rambut pendek sampai sepasang sandal gunung cokelat di kaki, "They said you would reincarnate seventh time in this life. Your first might be a dinosaur indeed."
"Ya kalau gue begitu, ada probabilitas hidup lu sebelumnya juga dinosaurus, dong?!" timpal si laki-laki menggebu. Bagi anak perempuan, laki-laki itu kini berubah menjadi segenggam bara. Siap terbakar bersama api hingga berkobar tinggi. Kepala anak perempuan berkecamuk senang. Berlaku sebagai bahan bakar untuk sumbu ini memang tujuannya.
Sewaktu berniat meladeni si laki-laki, gerak tangannya tak sengaja menyenggol cangkir minum. Sebagian isinya—mungkin seperempat—tumpah di atas meja. Ia menggigit bibir. Sejenak undur diri untuk mengambil kain lap.
Kembalinya dari pantry memunculkan decak mafhum dari si laki-laki, "Anyway, kamu kalau jadi dinosaurus, mungkin jadi yang paling ceroboh di antara kawanan." tawa mengejeknya selalu terbiasa muncul setiap kali memulai pertikaian kecil.
Beruntung bagi si anak perempuan. Ia seringkali payah menghadapi situasi jika harus bercakap dengan manusia lain. Ada hati yang dijaga, sementara laki-laki ini memang tidak mempunyai hati. Hanya mungkin—sedikit merajuk—karena laki-laki ini benci sekali untuk merasa salah. Tapi toh, nantinya jam tidur akan membuat keduanya lupa.
Siklus itu berputar terus-menerus di atas meja kotak tepat di hadapan mereka. Berminggu-minggu lamanya seperti bola bowling menggelinding tanpa henti.
"Kalau Mas Kavi, mungkin disebut dinosaurus yang sia-sia. Sibuk cari cara menyelamatkan diri. Luntang lantung kesana-kemari mulai hulu hingga hilir, laut sampai pegunungan, celah tanah bahkan rahim ibu. Padahal hujan meteor bikin semuanya tuntas dalam sejentik. Lalu whoosh, kita punah." jawab anak perempuan itu dengan alis menukik.
Sebuah kedipan mata menang bersinar dari mata anak perempuan. Si laki-laki memunculkan tawa menggelegar, merambat pada dinding di belakang, "Bukan sia-sia. Itu sebuah upaya bertahan hidup daripada harus tidur di tanah menghadapi meteor dengan tangan merentang? Bunuh diri namanya."
"Oh, kalau gitu upaya dinosaurusmu tadi adalah sebuah tindakan bodoh. Menerima sesuatu yang absolut—nggak lagi bisa dihindari adalah sebuah upaya bijak. Penerimaan. Mengikhlaskan. Accepting session."
"Dialog dinosaurus nggak jelas di antara kita tidak akan ada habisnya, Swastika. Kamu tahu."
Anak perempuan itu meringis mendengar kalimat terakhir dari si laki-laki. Ia menangkupkan dagunya pada kedua tangan kemudian memandang si laki-laki memuja. Wajah laki-laki bergerak mundur selaras dengan roda di kursi kantornya yang bergulir. "Kamu ini apaan, sih? Jangan-jangan naksir?"
"Emang." gumam anak perempuan cepat tanpa malu. Ia sadar wajah-wajah lain sudah menghilang. Pergi menuju rumah masing-masing atau mencari tempat istirahat lain. Anak perempuan itu dengan berani melanjutkan.
"Mungkin, mas. Mungkin aja kalau aku jadi perempuan yang bisa duduk di sebelahmu, tepat di usiamu bukan usia anak baru menginjak dewasa, tepat di pulaumu bukannya pulau yang sama-sama nggak kita kenali, barangkali perdebatan dinosaurus ini lenyap. Berganti jadi perbincangan sampai pukul lima subuh perihal konsep manusia yang bisa disebut rumah, pasar saham, politik dunia, atau apapun."
Perempuan itu menghela napas panjang. Coretan bunga mawar di atas sticky notes kuning ditinggalkan di atas meja milik si laki-laki. Ia berdiri dengan senyum jenaka tergambar di sudut-sudut bibir.
"Bercanda. Ya kali anak kecil kayak aku berani untuk naksir-naksiran sama laki-laki kayak kamu? Aku tahu diri."
Si Anak Perempuan kini memiliki piagam penipu ulung meski hanya juara harapan dua.
by clairs.
written in 21st July 2023 at 20:27 WITA—remembering that as a bad liar, i get killed at the first round of every lying games. ignoring mas kavi, will counted too.