The End

7 1 0
                                    

“Disini berisik, aku ingin  mencari ketenangan di tempat lain.”
_Jumat, 14 November 2014_

Kalimat yang ku baca dari sebuah surat usang yang ku temukan di pinggir pantai. Aku hanya merasakan kesedihan di dalam tulisannya. 7 tahun ombak membawa surat itu dari lautan yang ganas hingga sampai ke laut Indonesia. Aku bisa melihat dengan jelas senyum penulis dengan air mata yang berderai. Satu kalimat padat yang menggambarkan jelas situasi sang penulis.

Aku menatap begitu lama surat yang basah kuyup itu, seperti penulisnya surat itu begitu rapuh, bahkan aku tak berani memegangnya, aku membiayarkannya tergeletak di pasir dan aku duduk tepat didepannya. Memberitahukan pada penulis bahwa ia tak sendirian. Aku menemaninya, menemani tulisan tangannya.

“Thanaya” Teriakan Thara kakak laki lakiku berhasil membubarkan lamunan indah tentang masa laluku. Thara berlari kearahku dengan merentangkan tangannya hendak memeluk, namun aku lebih dulu menghindar. Wajah Thara berubah masam tak terima dan beralih duduk di sampingku.

“Sudah berapa kali aku bilang, jangan memelukku.” Serkahku padanya.

“Apa yang salah? Aku kakakmu.” Kalimat yang selalu ia katakan saat aku melarangnya memelukku. Dulu ia tak ingin menyentuhku namun setelah perpisahan kami yang cukup panjang ia menjadi lebih dekat denganku.

“Kau dulu tak pernah ingin ku sentuh. Sekarang giliranku aku tak ingin kau menyentuhku.” Jawabku membuatnya menghela napas kasar, aku tahu wajah itu adalah wajah kecewa.

“Dulu dan sekarang berbeda.” Terangnya

“Apa yang berbeda?” Tanyaku

“Aku menyadari bahwa aku tak bisa jauh darimu” Kalimatnya membuatku bergidik ngeri.

“Sumpah jijik banget.” Sahutku menggidikkan bahu mengusap kasar telingaku yang geli mendengar kalimatnya.

“Masa bodo.” Putusnya.

“Kau dulu gadis kecil yang dekil. Aku tidak mau berteman dengan orang seperti itu.” Ejek Thara membuatku tak terima.

“Kau begitu pemilih dengan manusia. Pantas saja temanmu kuyang semua.” Kataku yang memang benar adanya. Thara tak pernah memiliki teman seorang manusia. Karena dia seorang indigo, ia menjadi diasingkan oleh teman temannya, dan hal itu menurun padaku. Teman temanku juga menjauhiku setelah mereka tahu kakakku bisa melihat hantu. Padahal pria yang mereka anggap aneh itu masih tak bisa membedakan mana manusia mana setan.

“kau juga tidak punya teman jangan menyudutkanku saja.” Sahutnya

“itu mah karena kakak.” Jawabku

“orang mah ngejauhin kamu gara gara kamu bau. Lihat tu, liat baju aja ngga pernah ganti.” Ejeknya semakin menjadi.

Aku memperhatikan gaun biru yang ku kenakan, cukup cantik dan aku suka mengenakannya. “Aku tidak bisa menggantinya. Ini hadiah ulang tahun pertamaku darimu setelah 12 tahun aku hidup.” Jawabku

“Kau menyukainya?” tanyanya dan aku menyetujui dengan mengangguk angguk.

“Bukankah lusa ulang tahunmu? Mau aku belikan lagi?” tawarnya, “wah aku sudah tidak tahan lagi melihat baju itu. Dulu aku membelinya masih sangat cantik sekarang menjadi lusuh. Kau tau jika orang melihatmu mereka akan mengira kau orang gila dengan baju compang camping ini.” Lanjutnya mengejekku begitu panjang lebar.

“Apa kau ingin ku pukul?” Aku menatapnya dengan cemberut dan memelototkan mata marah, namun Thara malah tertawa terbahak memegangi perutnya yang mungkin sakit karena tawanya yang keras.

“Diamlah atau orang akan mengira kau gila.” Serkahku.

“Benar. Lebih baik aku kembali kerumah” kata Thara beranjak dari duduknya, memperhatikan layar ponselnya dimana disana tertera deratan angka besar yang menunjukkan pukul 16.58 serta angka yang lebih kecil di bawahnya Jum 12 Nov, dengan background foto kami yang sedang mengenakan seragam merah putih. Terlihat jelas Thanaya kecil tersenyum lebar dengan kuncir 2 rambutnya, berbanding terbalik dengan Thara yang melipat kedua tangannya dengan wajah cemberutnya. Keduanya terlihat sangat manis dengan ekspresi seperti itu.

“Sebenarnya apa yang kau lakukan disini dari tadi?” Tanya Thara penasaran.

“Menemukan sebuah surat.” Jawabku menunjuk pada selembar kertas usang itu.

Thara membacanya sebentar lalu terlihat berfikir. “sepertinya aku pernah membaca surat itu?” ucapnya kemudian berputus asa untuk mengingatnya.

“Bergegaslah atau kau akan masuk angin jika tetap disini.” Ajak Thara padaku yang tak berniat bangkit dari duduk.

Akhirnya aku mengikutinya untuk kembali kerumah namun ditengah perjalanan Thara mengingatkan suatu hal.

“Aku ingat, aku membaca surat itu di kapal yang ayah sewa di malam ulang tahunmu.”celetuk Thara.

“kamu ingat saat itu? Dikapal yang hanya kita tumpangi ber 4. Dimana seharusnya kita bersenang senang namun ayah dan mama malah bertengkar hebat. “ Aku hanya mengangguk setuju. “apa kau juga ingat kau terjebur kelautan saat itu.” lanjutnya

“apa aku selamat?” Tanyaku

Thara menatapku dengan sorot mata yang sedih “sayang sekali kamu.....” kalimatnya menggantung dia terdiam beberapa detik melanjutkan langkahnya.”ya selamat lah kalau engga kamu ngga ada di sini sekarang.” Lanjutnya dengan tawa yang sangat puas. Aku membenci tawanya yang berisik namun aku juga menyukai itu di waktu yang bersamaan.

“Kenapa aku bisa terjatuh?” tanyaku lagi

“Terpeleset.” Jawab thara.

“Aku melompat.” Kataku membuatnya menghentikan langkah dan menatap tajam padaku.

“Sebenarnya dia tidak bisa diselamtkan. Thanaya sudah meninggal 7 tahun yang lalu, tepat di malam ulang tahunnya.” Terangku

End..

The EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang