Bab 1

9 0 0
                                    

Terjerat Pesona Masiswaku

Gadis dengan rambut sebahu ya gbsering diikat asal itu tampak biasa saja, penampilannya di kelas juga terbilang biasa, memakai celana jeans dan kemeja.

Kemampuan akademiknya pun tidak ada yang spesial, tidak aktif seperti yang lainnya, apalagi teman-temannya yang lain sering kali cari perhatian di depanku. Mereka selalu ingin ditunjuk walau hanya sekedar menghapus papan tulis.

Senja Jingga nama gadis beku itu, iya ... beku bagaikan es, terlalu dingin. Wajahnya biasa, tak begitu cantik, beda dengan teman-teman yang lain yang selalu tampil sempurna jika berada di kelasku. Seperti itu yang kuperhatikan selama aku menjadi dosen di salah satu kampus swata di kota ini.

Gadis itu tak pernah menebar senyuman walau hanya sedetik, semahal apakah senyumnya hingga tak pernah diukirkan dari bibirnya? Namun satu hal yang membuatku penasaran dengan gadis itu, kata-katanya yang irit namun selalu membuat hatiku tertohok.

"Siapa yang mau maju kedepan mengerjakan soal yang say berikan?" Semua mahasiswi menunjuk diri, namun tidak dengan Senja, dia telihat tak perduli dengan pembicaraanku.

"Senja, kamu bisa mengerjakan ini?"

"Bisa," jawabnya datar.

"Silahkan maju!"

"Yah ...." Terdengar suara mahasiswi lainnya kecewa.

"Tapi saya tidak tunjuk tangan pak, kenapa saya yang ditunjuk?"

"Karena saya ingin menunjuk kamu, teman-temanmu biasanya senang saya tunjuk untuk maju." Dia tak menjawab. Namun dengan malas dia berdiri dan maju ke depan.

Tak sampai lima menit, Senja sudah menyelesaikan satu soalnya yang menurutku sulit untuk dikerjakan.

Gadis itu berbalik badan dan kembli ke bangkunya, namun sebelumnya dia mampir di mejaku meletakkan spidol sambil berkata. "Saya tidak suka cari perhatian, apalagi hanya untuk mendapatkan simpati yang katanya dosen ganteng."

Jleb ... Aku bagai disambar petir siang bolong. Bisa-bisanya mahasiswi ini berkata demikian. Sungguh berani. Tatapan matanya bagai belati menembus kulit. Tajam.

Kata orang aku tampan, ya ... Kata mereka, walaupun sebenarnya aku membenarkan hal itu. Badan atletis, dengan gaya rambut belah tengah, mata sipit, kulit putih. Ada yang bilang aku mirip Park Seo Joon. Namun satu yang membuat kesempurnaanku lenyap, nama ... ya nama.

Namaku Rojikin, entah dapat wangsit darimana kedua orang tuaku dulu ketika memberikan nama untukku, padahal nama mereka tak sekuno nama yang mereka berikan untukku, sudahlah bahas nama, membuat aku minder dengan nama itu, walaupun ketampanan di atas rata-rata, tapi entah kenapa tidak pantas sja disanding dengan namaku yang kuno.

"Pak Ojie, itu benar?" Tanya salah satu mahasiswa.

"Iya benar," jawabku agak sedikit gugup.

"Pak, kenapa bapak salah tingkah begitu," goda Diana, sambil senyum-senyum.

Diana ini mahasiswa yang menurutku paling cantik dikelas ini, tingginya semampai, rambutnya panjang penampilanya pun cukup glamor. Namun tak membuatku terpesona kepadanya, aku hanya suka menggodanya saja.

Aku melirik gadis beku tadi, dia hanya membuang muka ketika semua orang menyorakiku.

"Norak," desisnya, nyaris tak terdengar, namun. Aku bisa melihat dari gerakan mulutnya.

"Ah tidak, biasa saja, kamu Diana kerjakan soal nomor dua!" Perintahku untuk menyembunyikan rasa gugupku.

"Eh ... Anu Pak, belum selesai," kilahnya.

Selama ini aku merasa di atas angin, sering dipuja dan dipuji, sebagai dosen termuda yang berpenampilan cukup keren, membuat tingkat percaya diriku semakin kuat. Namun hari ini aku dihempaskan begitu saja ke daratan yang penuh batuan. Harga diriku telah sirna ditelah ucapan gadis dingin itu.

Hingga kelas selesai, tak pernah sekalipun gadis itu memperhatikanku, bahkan aku yang lebih sering memperhatikannya, pandangannya selalu tertuju pada pintu yang terbuka. Entah apa yang di lihat mahasiswi itu. Menulispun tidak, kulirik beberapa kali bukunya kosong, namun saat kuperintah maju kedepan, dia bisa menyelesaikan soal dengan mudah. Namun nilai-nilainya kenapa B semua bahkan ada beberapa yang C.

Kelas usai, paku melenggang menuju ruang dosen. Sepenjang jalan tak hantinya mahasiswi menyapaku, bukan menyapa lebih tepatnya menggoda.

"Ih ada Bapak ganteng," celetuk mahasiswi beramput panjang, kemudian disusul tawa dari teman-temannya.

Aku hanya melirik sesaat kemudian berlalu, tak pernah aku melakukan ini sebelumnya, biasanya aku akan berhentikan dan balik menggoda mereka. Hingga menimbulkan jeritan halus dari mereka.

Namun kali ini, aku tak ada selera, entah kenapa ucapan gadis itu begitu monohok dalam kalbuku. Rasanya bagai tersayat-sayat sembiluh. Oh menyakitkan. Hilang rasanya gairahku hanya karena beberapa bait yang terlontar dari mulut Senja.

Kuhempaskan begitu saja beberapa buku diatas meja. Kusenderkan tubuhku dikursi yang bisa berputar. Rambut kesayanganku yang menjadi daya pikat, kuacak-acak tak karuan. Rasanya seperti patah hati, bahkan lebih.

Bagaimana bisa, gadis biasa dengan tampilan biasa, kemampuan akademik yang biasa mengatakan hal itu padaku, apa ketampananku tak menggoyahkannya sebagai seorang perempuan? Atau dia memang tak tertarik pada laki-laki.

"Eh pak Ojie, ngapain kacau begitu?" Sapa pak Andra--rekan satu prodi.

Usia Pak Andra tak jauh dariku, hanya selisih tiga tahun diatasku, sama-sama masih lajang.

"Ke kantin yuk, laper nih," ajaknya sambil memegang perutnya yang sedikit buncit. Walaupun masih lajang, entah kenapa perut pak Andra sudah kedepan.

"Ogah ah, mau makan disini saja," balasku.

"Kenapa, meriang? Biasanya lenjeh, kesana kemari macam belatung nangka."

"Huuff ...." Belatung nangka katanya, memang aku apaan? Muka ganteng maksimal begini.

"Tak bergairah hari ini," balasku.

"Kenapa pula?"

"Ada mahasiswi sedingin batu es membuat mentalku beterbangan bagai debu."

"Lah, siapa pula?"

"Sunset." Jawabku asal.

"Sunset? Mana ada nama mahasiswa kita sunset." Laki-laki itu garuk-garuk kepala.

"Senja Jingga."

"Owalah, awas jatuh cinta!" ledeknya.

"Idih, mana level seorang Dosen tampan dan berkarismatik begini jatuh cinta sama gadis dingin modelan dia, yang ada harkat dan martabaku bisa turun dari dosen tampan seantero kampus."

"Semoga malaikat mengaminkan," balasnya masih dengan cengirannya.

"Duh amit-amit deh Pak Andra, jangan sampai aku jatuh cinta sama es batu itu, memang masih kurang banyak mahasiswi-mahasiswi sini yang lebih cantik dari dia. Banyak! Bahkan mereka sangat mengagumi ketampananku."

"Ssttt ... Jangan keras-keras kalau bicara! tak tau kau dia itu siapa?"

"Lah, memang siapa? Penting gitu buat aku tahu dia siapa?"

Pak Andra mendekat dan membisikkan sesuatu di telingaku, yang seketika membuatku semakin sulit bernafas.

"Anak rektor."

"Hah ...."

****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Terjerat Pesona Mahasiswaku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang