40. Tawaran

3K 300 11
                                    

"Mbak Meira. Mas kenal, 'kan?"

Janu.terkesiap shock. "Kamu—"

"Mas, udah malem." Nada langsung membelokkan topik. "Nggak enak kalau dilihat tetangga, Mas."

"Soal tawaranku ..." Janu menjeda kalimat untuk melirik Eila yang mendongak menatapnya, lalu kembali pada sang mantan istri. "... gimana?" Embusan napas panjang dan berat lolos dari bibir Nada selagi Janu melanjutkan, "Tapi nggak cuma kalian aja yang pindah, sekolah Eila pun juga."

"Maksudnya?"

"Dua hari lagi, aku harus balik ke Jakarta. Banyak kerjaan yang kutinggalin," ujar Janu. "Makanya aku ajak kalian tinggal di apartemen. Ck, maksudnya kita beda kamar, biar gampang ngurus Eila sama-sama."

"Tapi maaf ya, Mas," potong Nada, segera. "Seperti kesepakatan kita waktu itu, Mas boleh temui Eila kapanpun, tapi enggak dengan kita tinggal bertiga. Oh, maksudku, tinggal di satu lingkungan dan menjadikan Eila sebagai alasan." Ia gelengkan kepala, bibirnya menyungging senyum. "Aku nerima Mas di sini, karena Mas ayahnya Eila."

"Aku tahu," sahut Janu.

"Kalau aku nurutin kata hati, dari awal, aku udah usir dan maki-maki Mas!" imbuh Nada, agak emosi. "Jadi, please, stop bikin rencana aneh-aneh. Eila tetep bisa hidup kok, sekalipun dia dituntut mengerti situasi kedua orang tuanya."

"Nad, aku cuma pengin yang terbaik untuk Eila!" tandas Janu.

"Selama ini aku selalu mengupayakan yang terbaik untuk Eila, Mas!" balas Nada, merasa disudutkan. "Memang aku banyak kurangnya, tapi seenggaknya aku udah berusaha." Kelopak matanya berkaca-kaca. Sementara Eila yang melihat ibunya hampir menangis segera berangsur turun, pindah ke pangkuan Nada. Nada menurunkan pandangan. "Eila pamit dulu gih sama Papa!"

"Tapinya Papa tidak boleh sama Jakalta!" Eila cemberut.

Nada menabahkan hati dengan memperlihatkan senyum. "Jakarta itu nama kota, Sayang, bukan nama orang." Manyun di bibirnya perlahan pudar, Eila nyengir—baru sadar. "Lagian, rumah Papa 'kan di Jakarta, jadi Papa harus pulang ke sana. Beresin rumahnya. Nanti kalau dimasukkin tikus, gimana?"

"Lumah Papa ada tikusnya?" tanya Eila.

Direspons Janu lewat senyuman.

Sebelum bocah empat tahun itu melompat turun, lalu masuk. Nada dan Janu saling lempar pandang—sama-sama bingung, entah apa yang akan putri mereka lakukan. Hingga di menit kedua, Eila muncul lagi sambil membawa perangkap tikus. Otomatis ayah dan ibunya kompak berjengit kaget. Tapi dengan santai Eila justru menyodorkan bronjong kawat tersebut ke arah Janu.

"Ini buat Papa. Nanti tikusnya dimasukkan saja," katanya, lugu.

Baiklah. Nada harus putar otak lagi. "Mmm ... Papa udah punya kok." Berpaling ke arah Janu, kedua matanya mengedip memberi isyarat. "Iya 'kan, Pa?"

"Iya," jawab Janu, tatapannya tertuju pada Nada.

Sedang Nada mengembalikan fokus ke si kecil. "Tuh, 'kan!"

"Ooh ...." Eila letakkan perangkap tikus tersebut ke dekat pot, lalu beranjak naik lagi ke pangkuan ayahnya. "Papa, bobok sini saja, sama Mama sama Eya."

"Eila," panggil Nada.

"Tidak mau sama Mama!" rajuk Eila, melambaikan tangan—menolak panggilan ibunya.

Segera Janu menegur, "Nggak boleh gitu sama Mama."

"Papa suka Jimin tidak?"

Okay, random mode on.

Janu menghela napas. "Papa tidak tahu Jimin, Sayang."

"Jimin itu Komandan Ande, Papa. Aduh, Papa tidak tahu telus! celoteh Eila, menepuk jidat—sok paling paham. Padahal ia sendiri tidak tahu. "Papa tahu Komandan Ande tidak?" tanyanya, lagi. Sengaja menahan ayahnya supaya tidak pulang.

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang