♦♦♦♦Waktu sudah menunjukkan pukul 11.24. Sudah hampir tengah malam, dan tidur pulas Barra harus terganggu akibat dentuman benda yang menghantam dinding begitu keras, matanya terbuka sepenuhnya dan terdengarlah suara kedua orang tuanya yang tengah bersitegang adu mulut meributkan hal yang Barra sendiri tidak mengerti. Barra mengepalkan tinjunya, bangun dari tidurnya menyibak selimut dengan kasar lalu bangkit, mengambil jaket tebal miliknya yang tersampir di kepala kursi lalu keluar dari rumah melalui jendela kamarnya.
"Kebiasaan banget kalo berantem tuh nunggu malem." Gerutunya di sepanjang perjalanan. "Apalagi sih yang diributin? Harta aja kagak punya masih aja sering berantem kaya gitu, udah bener aja bubaran," tambahnya lagi.
Kekesalannya tidak sampai disitu, Barra terus menggerutu sepanjang kakinya melangkah menyusuri jalanan setapak yang membawanya pada tempat favoritnya dikala gundah gulana mulai menyapa. Jauh dari taman kota, disebelah barat daya terdapat bukit kecil yang nampak asri nan jarang terjamah oleh manusia, bukitnya amat hijau ditumbuhi rerumputan halus selayaknya permadani yang dihamparkan, ditengahnya terdapat pohon flamboyan yang menjulang tinggi dan diatasnya dihiasi oleh bunga-bunga berwarna jingga.
Sesampainya disana Barra harus kembali dikejutkan oleh isak tangis seseorang yang begitu memilukan menabrak rungu nya, dan terlihat sosok manusia yang tengah berjongkok menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan, dengan perlahan Barra menghampirinya. Mendudukkan dirinya di samping orang yang amat familiar, dan benar saja orang yang sedang menangis itu memang sahabatnya. Barra mengulurkan tangannya, lalu mengusap punggung sang sahabat guna menenangkannya walaupun itu sepertinya tidak memberikan pengaruh yang konstan.
"ssssttt, udah malem banget ini, jangan nangis!" Titahnya, namun sahabatnya tetap melanjutkan tangisannya. Dan semakin lama malah semakin pilu, Barra jadi kasihan dibuatnya.
Detik berikutnya ia raih tubuh sahabat dekatnya ini lalu berikan pelukan amat sangat hangat yang dapat dirinya berikan. Kemudian dia menatap nanar ke arah bulan yang bersinar terang, nampak tiada awan yang menghalangi sinarannya.
"Entah kapan penderitaan ini akan berakhir?" Tanyanya entah pada ribuan bunga yang melambai diterpa dinginnya angin malam.
★★★
"Jadiin lengan gue bantalan aja, Sa. Lagian coat lo cukup panjang buat dijadiin selimut." Sarannya di angguki oleh Sagara. Iya melepaskan coatnya lalu menyelimuti tubuhnya dan tubuh Barra, menidurkan kepalanya diatas lengan Barra.
Lama mereka saling menatap, menyelami binar mereka masing-masing sebelum akhirnya Sagara memejamkan matanya terlebih dahulu karena ngantuk semakin menyerangnya. Barra mengulas senyum sebelum akhirnya dia menyusul Sagara meraih alam mimpinya. Tidur sembari saling menautkan jemari mereka, berpegang sangat erat takut salah satu dari mereka akan hilang esok pagi.
Bagi Barra ini masih awal dari sebuah perjalanan, setiap harinya mungkin akan lebih menyakitkan. Tapi selagi ia masih memiliki Sagara, ia pasti bisa menghadapinya. Ia berharap suatu saat nanti dia dan Sagara dapat menemukan kebahagiaan dan sebuah kepuasan yang konstan.
•KEUT•
Hola, ada yang nungguin gak? Enggak. I'ts oke no problem bebih.
Sedih banget beberapa bulan ini kena writer block, dan file yang ada kerangka marigoldnya itu kehapus kayaknya soalnya ilang semua, jadi saya menulis kerangka cerita ini ulang dan akhirnya buyar semua, entah mau dibikin kaya gimana nih cerita. Sekian curhatannya, sampai jumpa lagi oreen.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARIGOLD [beombin]
FanfictionBeberapa orang menganggap kalau bunga marigold melambangkan keindahan, kekayaan, kejayaan, kehangatan, hingga kesucian. Selain makna-makna tersebut, ada makna lain yang bertolak belakang. Bunga ini juga dipercaya melambangkan kesedihan, rasa putus c...