"Cassie!" Reynov bertemu Cassie di lorong. "Mana Odi?" tanya Reynov.
"Di kamar mandi," jawab Cassie bohong. "Kata Odi, lo luka parah. Mana?" Cassie melihat luka di lengan Reynov dan mengecek. "Minimal harus diperban. Ini luka terbuka. Gampang kena infeksi," katanya.
Mereka lalu menuju ruangan tempat Reynov beristirahat tadi. Di ruangan itu ada Amara yang menunggu. Melihatnya, Cassie ingin marah.
"Lo bisa ambilin air? Buat bersihin luka Reynov dan peralatan medis." Cassie menyuruh Amara. Ia berikan sebuah baskom medis stainless.
"Oh... oke." Amara menurut dan menuju ke kamar mandi untuk mengambil air.
Dengan tenang, Cassie mulai mengobati luka Reynov. Ia bertindak seperti biasa. Tidak ada yang mencurigakan, sampai kemudian Reynov bertanya.
"Tangan lo kenapa?" Reynov melihat ada ruam kemerahan di jari-jari Cassie.
"Nggak apa-apa. Alergi dingin."
Reynov mengamati ruam yang lebih seperti luka melepuh itu. Ia juga pernah mengalaminya, saat hendak mencelakai seorang penjahat dengan cairan beracun yang Cassie beri. Itu bukan ruam alergi. Itu luka karena berkontak dengan zat kimia.
"Gue udah ratusan kali terjun langsung ke dalam misi dan ketemu berbagai tipe penjahat," kata Reynov. "Gue tahu mana pejahat kelas kakap dan mana yang amatir."
Cassie berusaha tenang. Ia membalut luka Reynov dengan perban. "Terus?"
"Cassie, lo hampir nggak pernah terjun ke misi. Lo cuma ada di laboratorium bersama obat-obatan lo. Lo nggak punya skill berinteraksi sosial, dan otomatis lo nggak pinter berakting." Reynov menemukan sorot mata berbohong Cassie. "Apa yang lo sembunyiin dari gue, Cassie? Lo disuruh apa sama Robby?"
"Lo nuduh gue ada di pihak Robby? Dia pembunuh bokap gue. Ngapain gue belain dia?"
Reynov mendengar nada ragu-ragu dari Cassie. Ia tahu Cassie berbohong. "Lo pengkhianat!" Ia menyentakkan tangan Cassie dan segera melesat mengejar Amara.
Di kamar mandi, di depan wastafel, Amara merasa pusing karena ada gas berbau menyengat. Tak hanya itu, gas itu cukup perih mengenai kulit dan mata. Tak kuat, ia hendak keluar toilet. Tapi, ia terhuyung ke belakang. Pusing. Beruntung seseorang menahannya. Ia pikir itu Reynov, namun rupanya itu Robby.
"Di mana ayahmu?" Robby langsung menjambak rambut Amara.
"Saya nggak tahu!" Amara ketakutan.
"Ayahmu yang bikin kekacauan ini. Kalau saja dia menuruti perintah saya, semua berjalan lancar, dan saya tidak perlu menyiksamu seperti ini!" Robby terus menjambak rambut Amara, membuat Amara harus berjalan menunduk dan kesakitan memegangi kepalanya.
Robby menyeret Amara keluar, lalu tiba-tiba Reynov datang dan memukul kepala Robby. Perkelahian tak terelakkan. Reynov mengeluarkan pistolnya, tapi Robby berhasil melucuti senjatanya dan ... DOR! Robby menembak kaki Reynov.
"Reynov!" Amara menjerit. Hal yang ia takutkan terjadi di depan matanya; melihat Reynov tertembak. Laki-laki itu jatuh terkapar dengan paha berdarah.
Robby mengunci pintu kamar mandi itu. Parahnya, cairan beracun itu menguap menjadi gas dengan sangat cepat. Kamar mandi itu semakin gelap pekat oleh gas.
"Reynov, kita harus gimana?" Amara panik melihat Reynov yang tertembak.
"Tenang. Pelajaran pertama self-defense; tenang!" kata Reynov. "Coba kamu cari sumber gas ini dulu. Biasanya berupa cairan, ditaruh di wadah terbuka."
"Tapi kamu tertembak!"
Reynov menggeleng. "Cari sumber gas beracun ini dulu. Setengah jam kita di ruangan tertutup ini, kita bisa mati!" kata Reynov. Ia menahan sakit. "Kalau udah ketemu, kamu buang ke toilet. Dan buka jendela-jendela yang ada di ruangan ini!"
Amara menurut. Dengan mata perih, ia berkeliling mengikuti asal bau itu, dan ia menemukan wadah berisi cairan di salah satu bilik toilet. Ia buang cairan itu ke dalam lubang toilet dan ia guyur dengan air sebanyak-banyaknya. Selanjutnya, ia bukai seluruh jendela di ruangan itu dan bau gas itu berangsur-angsur berkurang.
"Oke, selesai!" kata Amara.
"Good job!" Reynov mengapresiasi kinerja Amara.
"Sekarang harus gimana?" tanya Amara. Ia melihat kondisi Reynov. Kaki laki-laki itu berdarah semakin banyak. Pendarahannya harus dihentikan. Ia berinisiatif merobek bawahan gaunnya dan membalut kaki Reynov. "Kamu nggak boleh banyak-banyak gerak!" katanya setelah membebat luka Reynov.
"Sekarang, kita harus buka pintu ini. Kamu pakai jepit rambut besi tipis?"
Amara melepas jepit rambut lidinya. "Ini?"
"Ya." Reynov mengambilnya, lalu mematahkannya menjadi dua. Satunya ia biarkan lurus, satunya ia tekuk menjadi huruf L. Ia tidak bisa berdiri, maka ia kembali mengarahkan Amara.
"Oke, sekarang kamu pegang yang huruf L ini pakai tangan kiri, dan yang lurus ini pakai tangan kanan!" perintahnya. "Masukkan yang huruf L dulu ke dalam lubang kunci."
Amara menurut. Dengan gemetar, ia ikuti instruksi demi instruksi Reynov.
"Tahan. Jangan lepasin tangan kiri kamu. Oke?"
Amara mengangguk. Tangannya gemetar hebat. Tegang. Panik.
"Selanjutnya, masukkan yang lurus ini. Pintu akan terbuka dan ada bunyi klik."
Amara kembali memasukkan jepit rambutnya ke dalam lubang kunci itu. Ia tusukkan jepit rambut itu, tapi tidak juga ada bunyi klik pertanda kunci terbuka.
"Nggak bisa!" Amara mulai panik.
"Coba sekali lagi," kata Reynov. "Ulang dari awal!"
Amara kembali mengulang langkah demi langkah membuka pintu terkunci itu. Tapi lagi-lagi gagal. "Reynov nggak bisa!" Ia semakin panik.
"Amara, lihat saya!" Ia membalik tubuh Amara. "Kamu mau kita selamat, kan?" tanyanya.
Amara mengangguk. Ia menangis sedih melihat kondisi Reynov.
"Amara..." Reynov memegang pipi Amara, menyuruhnya fokus. "Kamu bisa menyelamatkan kita. Kamu cuma harus tenang! Oke? Tenang. Kamu bisa!"
Reynov terus membimbing Amara, dan ia harus tetap tenang supaya Amara ikut tenang—walaupun sebenarnya kakinya sudah sakit luar biasa.
Amara mengelap air matanya dan kembali berkutat dengan aksi membobol pintu itu. Ia masukkan lagi penjepit rambutnya yang berbentuk L, kemudian menahannya, lalu ia masukkan penjepit rambut lainnya. Dan... klik.
"Bisa! Reynov, pintunya kebuka!" Amara berteriak. Ia memeluk Reynov.
"Good. Bisa, kan! Kamu hebat!" Reynov mencium puncak kepala Amara. "Kamu hebat, Amara!"
Keberhasilan kecil itu membawa keyakinan bahwa mereka bisa selamat. Amara memapah Reynov keluar. Lantas, di tengah jalan mereka mendengar Odi berteriak-teriak dari sebuah ruangan tempat penyimpanan perkakas kebersihan.
"Odi?" Reynov menajamkan suaranya. Ya, betul itu Odi. Reynov tidak punya cukup kekuatan untuk mendobrak pintu itu. Maka Amara menyerahkan satu jepit rambutnya lagi melalui bawah pintu. Odi kemudian membuka pintu itu dari dalam.
"Bang!" Cowok IT itu keluar memeluk Reynov. Mukanya sudah berdarah-darah. "Robby nyuruh Cassie bikin gas beracun dari obat-obatan yang dia bawa. Cairan itu bisa jadi gas beracun dalam tiga puluh menit."
"Cassie..."Reynov geleng-geleng kepala. Kecewa. Kenapa Cassie jadi terprovokasi Robby begini? Dia teman atau lawan? Friend or Foe?
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiasco Kafe (END lengkap)
Teen FictionAmara, mahasiswi drop out yang sekarang menjadi barista di Fiasco Kafe. Ia senang bisa bekerja di sana. Tapi, Reynov si pemilik Kafe mulai mencurigai Amara karena Amara bisa berbahasa Belanda, tahu nama senjata, dan tahu hal-hal medis. Siapa Amara...