dua puluh tiga

53 2 0
                                    

Elisa tidak mengabaikan apa yang sudah dilewatinya dan menuju kamar, segera memakai baju dalam dan celana panjang yang dikenakan semalam.

Sebenarnya bisa saja jika Elisa ingin melanjutkan makan dengan kondisi pakaian apapun, tapi perempuan itu bereaksi lebih cepat sehingga Putra tidak bisa berkutik dan kemudian sarapan seakan tidak terjadi apa-apa.

"Padahal kamu terlihat seksi jika tetap begitu," ucap Putra menyeletuk.

Elisa hampir saja terbatuk saat masih mengunyah potongan pancake di mulut, tidak bisa sepenuhnya menikmati kelembutan potongan makanan itu dan rasanya yang manis, tapi dengan rasa yang tidak berlebihan dengan bantuan sirup maple yang sudah bercampur dengan mentega tawar. "Kamu jangan bercanda."

"Aku serius, malah lebih nyaman ketika kamu hanya memakai pakaian secara asal seperti tadi kan? Aku juga tidak serapi itu."

Putra memang tampak cuek meski masih bertelanjang dada. Dia hanya memakai jubah mandi sebagai luaran dan boxer untuk pendamping, tapi Elisa tidak sanggup jika tetap bertahan seperti pria itu ketika sedang sarapan, begitu juga saat dia harus melatih basa-basi dengan keluarga yang lain setelah sarapan dengan ibu angkatnya.

Kebiasaan Tasha yang sudah mendisiplinkan perilaku Elisa ketika sarapan, makan siang dan makan malam sedari kecil, membuatnya tidak bisa begitu saja melupakan pengaturan yang kaku itu. Begitu juga ketika dia hanya mengambil makanan kecil di sebuah acara dan kemudian berniat bergabung dengan keluarganya yang datang bersama, hanya untuk diminta tidak makan dan mendengarkan obrolan yang serius.

Elisa meletakkan sendoknya di meja, menjadi tidak nafsu untuk melanjutkan sarapan yang masih tersisa. "Aku ... tidak bisa."

"Bisa."

Putra yang sepertinya sedang memperhatikan Elisa sejak tadi diam dan baru menjawab, hanya mengatakan satu kata itu dengan penuh keyakinan, seakan bisa mengerti apa yang dialami oleh perempuan itu.

Elisa kemudian juga menerima sendoknya sendiri di tangan, dengan Putra yang menunjuk ke pancake di piring perempuan itu yang masih tersisa setengah. 

"Aku sudah membuatnya dengan susah payah. Jadi, jangan disisakan sedikit pun."

Elisa menatap ke arah Putra yang kembali makan, pria itu sempat mengikutinya berhenti mengunyah tadi, lalu mengalihkan pandangan kembali ke makanan di piring. Perempuan itu tetap saja ragu-ragu dan seakan terjebak dalam ingatan di masa lalu, mungkin juga terpengaruh dengan jenis makanan yang disajikan adalah makanan penutup yang digemari Tasha.

Putra mengetuk sisi pantry yang dekat dengan piring Elisa. "Kalau kamu lupa, kita sekarang ada di rumahku. Tidak ada aturan yang berlaku di sini ketika kamu makan, karena aku tuan rumah."

"Iya ya ...." Elisa mengerjap, sepertinya sudah hampir mendapatkan sebagian dari kesadarannya saat ini.

"Aku akan memintamu cuci piring jika itu tidak habis," tambah Putra lagi.

Elisa kembali mengerjap, lalu akhirnya mulai makan seperti sedia kala. Mencuci piring jelas bukan kegemaran perempuan itu. Dia memang tidak harus melakukan itu ketika di rumah, tapi saat mendapat giliran di kegiatan berkunjung ke panti wreda, Elisa langsung tidak menyukai sensasi basah, lengket dan bau yang campur aduk dalam satu kegiatan yang sama itu.

Mereka selesai sarapan dan beres-beres. Elisa kembali ke kamar, sementara Putra ke cucian piring. Perempuan itu berniat untuk merapikan penampilannya agar terlihat kembali segar lalu pulang ke apartemen untuk beristirahat.

"Kamu mau diantar?" tanya Putra ketika melihat Elisa yang sudah tampak rapi dengan riasan yang lebih ringan.

Toh, pria itu sudah tahu identitasnya dan dia akan pulang ke apartemen sendiri sehingga tidak perlu berpura-pura lagi.

Elisa menggeleng. "Tidak apa-apa, aku bisa pulang sendiri."

"Oke."

Perempuan itu diam-diam menghela napas lega karena Putra tidak membantah atau kembali membujuk agar menuruti kemauan pria itu. Dia masih merasa malu karena kejadian tanpa celana tadi dan hampir membuat sarapan mereka menjadi tidak nyaman.

Putra masih memperhatikan Elisa yang sekarang sedang mengenakan sepatu miliknya dan akan beranjak menunggu ojek pesanannya datang.

"Ada apa?" Elisa merasa agak risih karena tatapan pria itu seperti akan membuat lubang di kepalanya.

Pria itu terlihat bersandar. "Apa tidak ada ucapan terima kasih untukku?"

Elisa terdiam, teringat dengan Putra yang sudah mengantarnya ke rumahnya untuk menginap dan membuatkan sarapan. Walaupun keinginan yang lain perempuan itu tidak sepenuhnya terkabul, tapi dia memang berhak mendapatkan ucapan terima kasih.

"Sarapan buatanmu ... selalu terasa enak." Elisa sedikit tersenyum dan menatap Putra untuk sesaat. "Terima kasih."

Tidak ada tanggapan lagi dari Putra sehingga Elisa berniat untuk membuka pintu sendiri, tapi ucapan pria itu akhirnya kembali terdengar. "Ciumannya?"

Elisa segera menoleh untuk menatap Putra yang sedang berjalan mendekatinya tanpa ragu, lalu sedikit menunduk di depan wajah perempuan itu ketika mereka akhirnya saling berhadapan. Dia gelagapan karena terlalu kaget dengan perbuatan pria itu.

"Hm?" Putra menunjuk bibirnya sendiri, menunggu.

Elisa dapat mendengar seruan ojek online yang dipesannya, sehingga dia akhirnya mendaratkan kecupan singkat di sana dan mengambil langkah seribu setelah berkata 'dah' yang pelan. Tentu perempuan itu tidak melihat Putra yang tersenyum puas ketika menatap kepergiannya dengan menumpang naik motor.

***

Elisa tiba di apartemen dalam waktu beberapa menit. Tempat tinggal Putra ternyata berada di satu daerah yang sama, sehingga dia tidak harus berpanas-panasan terlalu lama di atas motor.

Awalnya perempuan itu terkejut, sekaligus curiga, karena betapa dekat jarak di antara rumah mereka. Dia juga sempat berpikir kalau semua ini terlalu tidak terduga untuk menjadi kebetulan, tapi dia juga tidak ingin membahas lebih lanjut karena sedang mengalami hari baik. Elisa merasa tidak ingin menghancurkan gelembung kenyamanan yang sedang dirasakan olehnya sekarang.

"Pagi, Sarah ... apa aku mengganggu?" tanya Elisa lewat telepon.

Terdengar suara desiran selimut dan Sarah yang mengaduh, entah karena apa, sebelum menjawab dengan agak parau. "Tidak, Bu. Tidak apa-apa. Ada yang bisa aku bantu?"

"Tolong kirimkan jadwalku untuk bulan ini ya. Jumat kemarin sudah kutunggu, tapi kamu sepertinya lupa soal itu," jelas Elisa.

Perempuan itu sudah sempat bertanya pada Sarah lewat ruang obrolan pribadi, tapi pesan yang dikirimkan itu hanya meninggalkan tanda terbaca tanpa adanya balasan sama sekali. Tidak seperti kinerja Sarah yang biasa.

"Astaga, Bu. Aku lupa untuk membalas pesan Bu Elisa kemarin ...." Sarah terdengar tidak enak. "Akan aku kirimkan setelah ini. Mohon ditunggu."

"Oke."

Elisa mengakhiri panggilan agar tidak terlalu lama menyita waktu Sarah. Dia jadi teringat dengan situasinya setelah menerima permintaan Alex mengenai Elliot yang akan mengurus Bar Mahardika menggantikan dirinya sekaligus melatih adiknya itu, sekarang situasi mereka seakan terbalik karena Sarah yang terdengar kelelahan dan tidak sempat beristirahat.

Perempuan itu juga mulai menyadari kalau Sarah semakin sering tidak berada di tempat atau bahkan sekadar mendampinginya sehingga hampir semua kegiatan harus diurus oleh Elisa secara mandiri. Meski itu tidak membuatnya kerepotan, tapi keabsenan Sarah membuat perbedaan yang cukup besar.

Elisa menatap layar ponsel selama beberapa lama sebelum meletakkannya di atas nakas. "Mungkin bukan apa-apa."

Forbidden AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang