Malam itu, seperti biasa aku tidur menemani Ibu nyai di ruang TV. Gus Abdur mendatangiku dan memberi aba aba dengan mengepal ngepalkan tangannya supaya aku mengikutinya. Aku sudah terbiasa dengan aba aba tersebut yang berarti "tolong pijati aku sekarang" .
Namaku Ara. Aku adalah santri perempuan disalah satu pondok pesantren ternama di Jawa Timur. Aku tinggal sementara dirumah istri pertama Kyai ketika beliau sakit sampai kemudian wafat dan digantikan oleh anak sulungnya bernama Abdur. Pada akhirnya aku diminta pengurus untuk tinggal menjadi abdi menemani Bu Nyai yang kesepian semenjak Kyai wafat sebagai bentuk terima kasihku karena pondok sudah membiayaiku sekolah.
Gus Abdur pun sangat menyukaiku dan sering minta ditemani memasak. Aku menganggapnya seperti ayahku sendiri dan selalu ada rasa bangga karena pengabdianku yang kupikir telah diterima. Bagi seorang santri, patuh pada Kyai adalah sebuah ideologi. Surga menjadi lebih dekat adalah angan yang telah menjadi niscaya.
Tak ada keraguan untuk mematuhi perintah gus Abdur. Bu nyai bahkan meyakinkan, bahwa Gus Abdur tak pernah berniat buruk. Jika Ia sedang kelelahan, ia akan senang jika aku yang melayaninya. Bu nyai bilang jika dahulu pak Kyai juga sering meminta santrinya yang mengabdi dirumah untuk memijatnya dan tak pernah ada masalah. Lagi pula, suatu kehormatan jika bisa menjadi kepercayaan Kyai walau sekedar melakukan perintah yang sepele. Maka sebagai abdi dan atas dasar tersebut akupun bersedia. Lagi pula, sudah beberapa kali Gus Abdur memintaku menginjaki punggungnya dikamarnya pribadi namun tak pernah lebih dari lima menit.
Aku hafal benar waktu yang ia minta. Yaitu sekitar pukul 22.00 WIB saat aku pulang dari salafiah atau pada saat jam istirahat yaitu 21.00 WIB (salafiah : sekolah malam khas pesantren)
Namun, pada malam itu tak seperti biasa memang. Ia mendatangiku tepat pukul 00.00 WIB ketika aku sedang mengerjakan tugas salafiahku meringkas mubtada'. Tepat ketika hari sudah berganti menjadi sabtu, tanggal 15 Januari 2011. Bu Nyai sudah tidur dan ndalem sudah sangat sepi. Lantas aku mengikutinya sampai kekamar.
Lampu diruangan itu telah gelap. Kupikir karena memang sudah malam, ia hanya ingin dipijat sebentar kemudian tidur. Tapi Ia tak menyuruhku berhenti. Tak sampai sepuluh menit aku menginjaki punggungnya yang kekar itu, ia kemudian memintaku duduk disamping ia terlentang. Kali ini tanganku yang harus melakukannya dan bukan dengan kakiku lagi. Akupun mengikuti arahannya.
Aku diperintahnya menyentuh area area pribadi. Mulai dari ujung kaki hingga pahanya. Kepala sampai tengkuk lehernya. Ujung jari jemarinya sampai diketiaknya. Dan aku melakukannya atas dasar pengabdianku. Tanpa curiga. Tak ada keinginan pergi bahkan tak mengerti jika ini adalah Sexual Harassment. Keluguanku adalah kudapan gurih bagi seorang predator seksual sepertinya. Ia memanfaatkan segala kelemahanku sebagai gadis belia berusia 16 tahun yang belum mengerti tentang hak tubuh, terlebih aku adalah seorang santriwati yang tak mengenal dunia luar. Melalui kata katanya, ia mencoba merayuku. Melalui namanya yang besar, ia hendak memperkosaku.
Ia terus memandangiku sambil sesekali bertanya kriteria suami dan banyak hal yang belum pernah aku pikirkan sebelumnya. Lalu, sambil menyentuh paha kiriku ia berkata,
"Sampeyan belajaro cara ngeladeni bojo" (Kamu belajarlah cara melayani suami)
"Enggeh"(baik) jawabku menunduk.
Kupandangi jam dimeja riasnya. Sudah pukul 01.00 WIB. Aku melihat diriku sendiri dicermin caraku menyentuh tubuhnya. Ini mulai terasa aneh. Namun tak kuhiraukan.
"jangan berlebihan" tenangku dalam hati.
Ia tak menyuruhku pergi dan aku tidak punya keberanian meminta izin keluar. Berkali kali ia kekamar mandi lalu membuat kopi didapur. Ia meninggalkanku dikamar dan selalu memintaku untuk menunggu. Aku duduk diatas ranjangnya seperti seorang geisha dan terus kupandangi cermin didepanku. Aku sudah kelelahan. Aku sudah sangat mengantuk. Tapi ia terus menahanku dan tetap memintaku meremasi tangannya walau dengan daya seadanya dariku.
Lalu, sekitar pukul 02.30 dini hari. Ia yang baru saja keluar kamar mandi melihatku yang sedang mengantuk berkata,
"pegel ta mbak ?"(apa kamu lelah ?)
"mboten" jawabku berbohong (aku menunduk)
Aku mulai takut, nada suaranya kurasa berubah, lebih gemulai, lembut dan intim. Bagai kucing jantan yang hendak mengawini kucing betina. Ia kemudian naik keatas ranjang, menyuruhku berpindah posisi tepat didepan jendela yang menghadap masjid jami' pesantren. Aku dimintanya duduk disamping kirinya. Aku menggeser geser tubuhku agar tak terlalu dekat. Ia lalu menyiapkan bantal berwarna merah muda yang biasa almarhum kyai gunakan saat sakit dahulu. Tepat disebelah dinding. Ia berkata lagi,
"Neg pegel istirahato seg mbak. Kene lho..." (Jika lelah, istirahatlah dahulu mbak. Disini lho...) sambil menepuk bantal yang tadi disiapkannya.
"mboten gus..." (tidak gus...) kataku mulai takut.
Saat aku mulai memijati tangannya lagi. Tiba tiba, ia tarik tanganku dengan kuat. Aku dijatuhkannya diatas bantal merah muda. Ia lalu memelukku dengan kencang. Tangannya yang kuat mengikatku seperti rantai. Aku mengerang dan menolak. Aku mendesah karena ia mulai menggerayahi tubuhku. Terasa geli dan menjijikkan.
Tiba tiba ia lepaskan pelukannya dan aku berhasil terduduk. Namun sela beberapa detik, sekali lagi ia menarikku. Ia menindihi tubuhku dan membisikkan ketelingaku agar tak bersuara. Mataku terbuka lebar dengan suara jantungku yang berdegup amat kencang. Badanku sulit bergerak dan kaku.
Untuk pertama kalinya, aku tak bisa menangis. Aku terserang Tonic Immobility. Aku tak kuasa menahan tubuhnya. Ia terlalu kuat untuk tubuhku yang kecil. Aku keletihan dalam pelukannya yang bernafsu.
Setiap kali aku mulai mendesah takut, bibirnya lantas mendekati telingaku.
"eehh....mboten gus...." (tidak gus...) kataku mengerang.
"ssstttt..... Ojok banter banter, nkog bu nyai tangi (ssstt... Jangan keras keras, nanti bu nyai bangun)" jawabnya sembari mendekapku kencang.
"ah... mboten..." erangku
"meneng. Ojok rame (diam. Jangan ribut)" sentaknya.
Tangannya yang liar terus saja mencari celah dibagian perut bawah dan dadaku. Suaraku sudah hilang karena kecewa. Tenggorokanku tercekat hebat. Aku mengerang bertubi tubi tanpa daya. Kerudungku terbuka karena cumbuannya. Setiap nafasnya adalah dendamku. Aku sangat marah. Aku betul betul marah padanya, pada ibunya, pada anak anaknya bahkan seluruh keturunan almarhum kyai.
Seketika pandanganku pada tempat itu begitu buruk. Dan dengan kemarahan yang kurasa. Dengan nafasku yang sudah terasa sesak. Aku menguatkan tangan kananku yang mulai dingin untuk menusuk paha kirinya dengan jarum dari hijabku. Ia menjerit setelah berusaha membuka kain jarikku. Aku segera berdiri terhuyung-huyung lalu pergi meninggalkannya dan keluar dari ndalem.
Sejak malam itu, aku mengutuk tubuhku sendiri dan kelahiranku sebagai perempuan. Aku merasa telanjang setiap hari walau memakai jubah yang besar. Aku merasa gemetar setiap kali keluar rumah. Para lelaki itu seperti memandang tubuhku yang telanjang.
Aku tidak percaya kitab Suci Tuhan, aku membenci narasi agamis, aku mengutuk mereka yang mengaku ngaku sebagai Raja padahal berbuat kerusakan pada kehormatan perempuan. Aku trauma. Aku tidak akan pernah bersedia menikah dengan laki laki. Mereka adalah manusia patriarkis. Dan aku mengutuk siapapun yang disisi gus Abdur. Tuhan akan menjadikan tempat itu sebagai tempat hina dan penuh skandal menjijikkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Yang (di)Telanjang(i)
Short StoryTangannya yang liar terus saja mencari celah dibagian perut bawah dan dadaku. Suaraku sudah hilang karena kecewa. Tenggorokanku tercekat hebat. Aku mengerang bertubi tubi tanpa daya. Kerudungku terbuka karena cumbuannya. Setiap nafasnya adalah denda...