Kisah Langit yang masa lalunya penuh dengan amarah, lelaki yang tengah mencoba memperbaiki diri harus di uji dengan kisah cinta segitiga. Langit harus berani melepas cintanya pada Anila, kekasih yang sudah menemani proses hidupnya. Gadis yang sangat...
Langit melajukan mobil sportnya di jalan sepi yang biasa ia lalui. Pikirannya berkecamuk setelah menerima telfon dari keluarganya. Ayahnya dibutakan oleh tahta, dan ibunya yang tuli karena harta.
Mereka memaksa Langit menikahi wanita yang telah mereka pilih, gadis yang akan menambah kekayaan keluarga Areksa. Cintanya hanya pada Anila. Jika ia sudah resmi mempersunting pilihan orang tuanya, tetap saja Anila lah yang menjadi pemenangnya.
Langit mengarahkan mobilnya ke tempat yang sudah beberapa tahun ini ia hindari. Lelaki bertubuh atletis itu memarkirkan kendaraannya, kemudian melangkah memasuki bar milik sahabat lamanya.
"Wesss ada gerangan apa lo datang kesini, man." Suara khas Delon membuat bola mata Langit bergerak mencari sumber suara. "Jangan bilang lo kangen gue?" Lanjutnya menghampiri Langit yang berdiri diantara banyaknya orang, yang sibuk menikmati dentuman bass yang memekakkan telinga.
"Suntuk." Balasan singkat yang diberikan Langit dibalas kekehan oleh Delon. "Ngga ada yang berubah, bahkan lukisan yang gue kasih masih aja lo pajang disana." Mata Langit mengarah ke sebuah lukisan yang dulu ia buat sendiri ketika mereka masih berada di bangku sekolah.
"Haruslah. Itu hadiah perpisahan yang lo kasih ke gue, Lang. Mana mungkin gue tega ngebuang gitu aja."
Delon yang sudah sangat rindu pada Langit, membawa sahabat lamanya itu ke lantai atas. Berbincang banyak hal, dengan ditemani wine yang kembali Langit minum.
"Lang. Lo yakin mau minum ini?" Delon mengangkat gelas berukuran mini itu, seolah ingin menyadarkan Langit.
"Udah di pesan. Mubazir kalo dibuang." Langit mengambil gelasnya yang telah di isikan pelayan, kemudian meneguknya hanya dalam hitungan beberapa detik.
"Bakat lo ternyata ngga musnah ditelan waktu." Puji Delon kemudian ikut menikmati minuman haram itu.
"Gue lagi banyak masalah. Mungkin disini tempat yang pas buat gue untuk sekarang."
"Om Danang masih belum maafin lo?"
"Ngga usah di bahas. Dia ngga sepenting itu untuk masuk ke daftar orang yang masuk kepikiran gue." Ucap Langit dengan nada sedikit meninggi.
"S-sorry man, gue ngga-"
"It's okay." Potongnya, kemudian kembali fokus pada gelas ditangannya.
Semakin lama mereka berbincang, semakin banyak pula minuman keras itu mereka habiskan. Pembicaraan keduanya semakin tidak beraturan. Delon yang sudah menyerah, merebahkan tubuhnya asal.
"Ce-men lo. Bertahun-tahun kelolar bar ini. Tetap aja kalah dari gue!"
"B-ba-cot!" Balas Delon, sebelum akhirnya kesadarannya benar-benar hilang.
Lain dengan Langit. Pria itu beranjak dengan kesadaran yang semakin menipis. "Lo masih," tunjuknya ke arah Delon yang sudah tepar. "Aja kalah dari gue," ucapnya remeh dengan bibirnya yang menunjukkan senyum manis. Selang beberapa detik menatap Delon, Langit pergi begitu saja.
Menuruni anak tangga satu persatu, pemandangan di depannya seakan buram mmembuat kepalanya pusing. Sebelah angannya ia tempelkan pada pegangan tangga. Dan sebelah lagi, ya. Tentu botol wine yang masih tersisa setengah lagi.
Keluar dari tempat maksiat itu, Langit menenangkan diri di mobilnya. Setidaknya untuk beberapa saat ia lupa pada masalahnya. Laki-laki berkulit putih itu mengambil sebungkus rokok yang ia simpan di dalam tasnya.
Menghisap benda panjang itu, kemudian mengembuskan nafasnya mengeluarkan gumpalan asap yang memenuhi mobilnya. Sesekali Langit menatap ke arah jendela, manik matanya penasaran pada sebuah aktivitas beberapa pria yang tengah mencoba melecehkan seorang wanita.
Ia tidak ambil pusing, toh juga dulu ia melakukan hal yang sama. Ia menyandarkan kepalanya, menonton drama nyata di depan matanya. Gadis itu tampaknya lebih muda darinya.
"Dua singa, untuk satu mangsa." Batinnya.
Merasa ada yang janggal, Langit turun mendekati tempat drama yang baru saja ia lihat. Gadis cantik itu dibiarkan pingsan begitu saja tanpa mereka melakukan apa-apa? Tentu Itu adalah hal yang tidak masuk akal. Belum sampai ke tempat yang ia tuju, seorang laki-laki berkacama lebih dulu menghampiri gadis berambut panjang itu. Menggendongnya ala bridal style ke dalam bar.
"Ternyata ada yang lebih brengsek dari gue."
Langit mengikuti keduanya, hingga langkah laki-laki dengan tinggi 173cm itu terhenti di depan kamar 102. Tempat yang dulu ia jadikan untuk menghabiskan malam yang indah.
Lelaki itu membaringkan gadis itu di atas ranjang. Membuka satu persatu pakaian yang ia kenakan. Semua terekam dalam penglihatan Langit, pintu yang dibiarkan terbuka membuat Langit dengan mudah masuk ke dalam. Serasa ada bola api di dalam hatinya, Langit memberikan pukulan panas pada Kenzo.
"Main lo murahan ya, bro. Ngga mampu nyewa lonte?" Ucap Langit menantang.
Kenzo yang tersungkur di atas dinginnya lantai, menghapus darah segar di bibirnya. Membalas pukulan Langit yang tiba-tiba.
"Urusan lo apa? Dia cewek gue!" Bentaknya dengan wajah yang memerah.
"Cih, sejak kapan cewek gue bisa jadi cewek, lo?" Kenzo terdiam, setaunya Senja tidak punya pacar.
"Apa? Pergi lo. Sebelum lo habis ditangan gue!"
"Senja ngga punya pacar, lo yang harusnya pergi. Kita ngga ada urusan!" Lagi. Langit kembali melayangkan pukulan pada Kenzo. Kali ini Langit tidak memberikan ampun pada Kenzo.
Merasa nyawanya terancam, Kenzo keluar dengan tergesa-gesa. Tersisa Langit dan Senja disana.
Masih dipengaruhi alkohol, Langit mendekati Senja. Memasang kembali sweater yang sebelumnya senja gunakan. Nafasnya beradu dengan Senja. Pikirannya seakan tak sejalan dengan hati. Langit membuka sweater itu kembali dan membuangnya asal, meninggalkan tanktop berwarna hitam yang melekat ditubuh Senja. Perlahan ia melumat bibir milik Senja hingga turun ke leher jenjang gadis itu.
"Cantik." Ucapnya, sebelum akhirnya ia ikut terbaring di atas tubuh Senja.
Rizquela Athira Senjana
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.