52. Kiss and Legacy

6.4K 586 25
                                    

Reynov mengajak Amara ke apartemennya. Mereka akan membahas rencana selanjutnya. Reynov juga harus mengambil senjata yang ia simpan di ruang kerjanya.

"Hmm... sori, bapak-bapak nggak bisa ikut masuk ke sini!" kata Reynov menahan kedua pengawal Amara.

"Tapi saya harus menjaga Mbak Arina!" Pengawal itu bersikeras.

Reynov masih tidak setuju. Apartemennya adalah ruangan paling privat miliknya.

"Emm... gimana kalau pintunya di buka aja?" kata Amara menengahi. Untuk sementara waktu, ia harus dikawal kemana-mana. Itu syarat dari ayahnya kalau ia ingin keluar rumah.

"Hmm... ya udahlah." Reynov akhirnya menurut. Ia biarkan pintunya terbuka, dan dua pengawal itu menunggu di luar apartemen Reynov.

Di apartemennya, Reynov membuka almari besi raksasa di sudut ruangan. Lalu saat almari itu terbuka, betapa terkejutnya Amara karena isi almari itu adalah senjata-senjata mulai dari pistol tangan hingga senjata laras panjang.

"Ka-kamu ... punya senjata segitu banyaknya?" Amara ternganga.

Reynov mengambil salah satu pistol dan mengisi pelurunya dengan tenang. "Emangnya ayah kamu nggak punya banyak senjata?"

"Ya itu, kan, punya negara. Nggak di rumah, dong, nyimpennya."

"Oh... iya." Reynov lupa kalau tentara nasional pasti kepemilikan senjata sangat diatur. "Ini juga nggak semuanya saya pakai, kok. Sebagian cuma koleksi aja."

"Koleksi?" Amara shock mendengar Reynov mengkoleksi senjata. Emangnya dia pikir ini item senjata kayak di game-game online?

Mereka lalu sibuk membaca data-data tentang Robby yang sudah Reynov kumpulkan. Reynov tampak sangat serius, dan tahan berlama-lama membaca. Sedangkan Amara, dengan cepat ia merasa bosan. Sudah lama ia tidak memakai otaknya untuk membaca hal serius begini.

"Ini siapa imut banget?" Amara tiba-tiba tertarik pada sebuah foto empat anak kecil di meja Reynov. Mereka tampak seumuran. Mungkin sekitar 7-10 tahun. Mereka berfoto di sebuah kebun, dengan banyak pohon, dan sebuah rumah panggung berbahan kayu.

"Itu saya, Erik, Cassie, dan Odi," kata Reynov. "Itu saat kami ada di kamp militer Robby."

"Ngomong-ngomong, kenapa kalian mau tinggal sama Robby?"

"Kami cuma anak kecil waktu itu," kata Reynov. "Pasca ayah kami meninggal, ekonomi keluarga hancur. Ibu saya bahkan meninggal karena keseringan lembur di pabrik kimia. Cassie dan Odi juga punya cerita yang kurang lebih sama. Robby awalnya dateng dengan cara yang baik, dia bisa mengayomi sebagai seorang ayah. Kami sangat menghormati dan berterima kasih dia mau ngasih kami tempat tinggal, makan, dan nyekolahin kami. Apalagi dongeng balas dendam atas kematian ayah kami, dia cerita dengan sangat meyakinkan. Sampai kami percaya kalau dia bener-bener berniat menolong."

Reynov tampak mengingat semua masa kecilnya. Seluruh hidupnya ia habiskan di kamp militer itu, demi misi balas dendam yang ternyata fiktif. Ia telah membuang hidupnya yang berharga hanya untuk dimanfaatkan oleh Robby. Robby telah menghancurkan kehidupan Reynov, Cassie, dan Odi. Tak terkecuali Erik yang merupakan anak kandung Robby sendiri. Erik pasti jauh lebih merasa sedih karena tidak bisa memanggil ayahnya Papah.

"Oya anyway, kamp militer? Kenapa namanya kamp militer? Serem banget!" komentar Amara. 

"Karena di sana kami latihan bela diri, menembak, dan berbagai cara bertahan hidup. Setiap hari Robby selalu bikin peringkat latihan militer. Yang berada di peringkat paling bawah, harus ngangkut air dari sungai ke rumah berember-ember, berkali-kali. Robby bener-bener keras mendidik kami. Urusan sekolah aja, kalau kami nggak ranking satu, dia akan mencambuk kami. Dan Erik sering kena cambuk, sampai punggungnya berdarah-darah..."

Reynov tiba-tiba teringat Erik. "Di kamp militer saya paling dekat dengan Erik."

"Oya? Kok, bisa deket sama Erik?" tanya Amara. "Kirain Erik itu jahat."

"Dia emang bukan orang baik. Tapi Robby yang bikin dia kayak gitu." Reynov menunduk. "Erik cuma pengen manggil dia Papah. Tapi, Robby selalu marah. Dia benci Erik, padahal Erik berharap banget bisa diakui sebagai anak. Dia nggak pernah hidup bahagia."

Reynov menahan tangis. "Dan kemarin... kemarin dia meninggal buat melindungi saya dari tembakan Robby. Dan saya cuma diem nggak bisa nolong. Saya harusnya bisa melakukan sesuatu buat Erik. Tapi saya nggak tahu harus gimana di situasi genting itu...."

Amara memutar badan Reynov, dan seketika itu juga tangis laki-laki itu pecah. Amara tertegun. Seorang Reynov yang bahkan bisa menembus bara api untuk menyelamatkannya, sekarang menangis di depannya. Ia segera memeluknya, dan mengusap punggung Reynov, seperti menenangkan Sophie si anak kecil yang menangis.

"Kamu udah mencoba yang terbaik, Reynov," kata Amara.

Reynov menangis, "Saya berhutang nyawa ke Erik!" katanya terisak.

"Erik meninggal karena menyelamatkan kamu," kata Amara, "Kalau kamu bukan orang baik di mata dia, dia nggak mungkin mau melindungi kamu. Itu cara dia berterima kasih ke kamu. Kamu udah mencoba yang terbaik!"

Amara selalu tidak tega jika harus melihat Reynov yang sekuat baja itu terluka atau bahkan menangis begini. Ia ingin gantian melindungi Reynov, setelah selama ini selalu saja Reynov yang melindunginya. Ia lalu berjinjit, mendekatkan wajahnya, dan mencium bibir laki-laki itu.

Reynov terperangah Amara menciumnya. Ia lantas menaruh sebendel dokumen yang ia bawa ke atas meja, meraih pinggang Amara, dan menenggelamkan dirinya dalam ciuman itu. Dalam hati, ia berterima kasih Amara mau memahami masa lalunya.

Di luar, kedua pengawal Amara tidak sengaja melihat mereka berciuman, dan langsung kebingungan.

"Ini ancaman bukan, ya? Apa kita harus lapor Pak Ali Sandi?"

"Emmm...tapiMbak Arina nggak kayak sedang terancam, sih! Biarin aja!"

Fiasco Kafe (END lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang