01 : The Royal Announcement

84 7 1
                                    

"Wah.. bukannya ini kesempatan emas?"

"Sayang sekali anakku bukan lelaki."

"Nak, pergilah kesana dan harumkan nama keluargamu ini, oke?"

Beberapa warga tengah berkerumun di depan papan pengumuman kayu yang tertempel selembar kertas pengumuman resmi kerajaan di balai desa yang bertuliskan tentang dibukanya pendaftaran bagi anak laki-laki rakyat jelata berusia belasan tahun untuk belajar di akademi yayasan kesejahteraan kerajaan tanpa biaya apapun itu sudah menarik begitu banyak perhatian seluruh warga sejak pertama kali ditempel beberapa hari yang lalu. Ada beberapa yang menyuruh anak mereka untuk ikut secara paksa dan ada anak yang dengan suka rela ingin mengikutinya.

Kertas itu sudah di tempel disana selama 5 hari artinya lowongan akan ditutup 2 hari lagi.

"Kenapa baru sekarang kerajaan bermurah hati seperti ini pada kita? Ck.. ck.. ck.."

Ada pula segelintir orang yang tidak menerima secara positif pengumuman tersebut. Wanita tua pedagang jerami terus memandang sinis papan pengumuman tiap kali ia melihat orang-orang sedang berkumpul disana mengelu-elukan nama raja yang sudah hampir lebih dari 3 tahun mengabaikan mereka dengan biaya pajak melambung tanpa pandang bulu, mau ia kaya ataupun miskin jumlah upeti yang harus dikirim ke kerajaan tiap bulannya sama jumlahnya.

Hal ini membuat beberapa warga yang tidak bisa membayar terpaksa bekerja seperti seorang budak bagi bangsawan maupun tuan tanah di dalam maupun luar desa untuk melunasinya, termasuk anak dan menantu sang wanita tua berumur hampir 90 tahun itu yang memaksanya untuk hidup sendiri di usia tuanya, mungkin sampai malaikat pencabut nyawa menjemputnya nanti.

Tatapan sinis sang wanita tua teralih pada seorang anak lelaki yang sudah kesekian kalinya ia lihat disana bergeming menatap kosong kertas pengumuman tanpa ekspresi. Wanita tua itu berpikir jika mereka berdua mungkin memiliki pandangan yang sama tentang kerajaan.

"Nak, bukankah kerajaan sedang merencanakan sesuatu karena tiba-tiba bermurah hati pada kita?"

Tepukan di bahunya menyadarkan anak itu dari lamunannya. Menatap bingung wanita tua di belakangnya yang tersenyum lebar bak seorang penyihir jahat yang sedang menggoda anak kecil untuk menjadi bahan cairan ramuan di kendi besarnya. "Ah? Eum.. Entahlah, saya tidak tau."

Raut wajah wanita tua itu sedikit berkerut tak suka mendengar responnya. "Aku selalu melihatmu memandang kertas itu setiap aku lewat. Jangan bilang kau ingin mengikutinya?"

"Saya juga tidak tau.. Tapi mungkin–"

"Cih! Semua orang sama naifnya! Lihat saja sendiri akibatnya bla bla bla..." Tanpa minat berbincang kembali sang wanita tua pergi dari sana mendorong gerobak jeraminya sambil terus mengomel tak jelas, meninggalkan anak itu dalam kebingungan.

"Huft... Yang Jungwon, fokuslah pada kewajibanmu sekarang dan kembali ke realita." monolog anak itu sembari menepuk kedua pipinya, menyemangati diri.

Sudah kesekian kalinya Jungwon memandang kertas itu dengan tatapan kosong. Ia hanya seorang anak yatim piatu yang hidup sendiri di pinggir desa dalam arti lain tidak ada kerabat atau wali yang mengasuhnya diusia yang masih remaja. Memaksanya untuk hidup mandiri dengan pas-pasan sebagai peternak ayam kecil yang ia dapat dari warisan kedua orangtuanya yang sudah meninggal karena kecelakaan.

Tiap kali melihat kertas pengumuman itu selintas pemikiran apakah ia harus tetap menjalankan usaha ternak ayam peninggalan kedua orangtuanya atau mendaftar di akademi yayasan kerajaan dan mendapat kesempatan masa depan yang jauh dari kata baik secara gratis dengan mengorbankan ternak ayamnya membuatnya terus dilema akhir-akhir ini.

Siapa yang akan menjaga rumah dan ternak ayam peninggalan kedua orangtuanya jika ia pergi?

Sekolah adalah hal tabu untuk di ikuti anak jelata sepertinya. Pendidikan adalah sesuatu yang memerlukan status bangsawan dan banyak uang di kerajaan ini. Semua anak selain bangsawan berstatus hanya bisa hidup mempelajari dan mewarisi apa bidang pekerjaan yang dilakukan orangtuanya. Berdagang, bertani, berternak, dan semua pekerjaan melelahkan lainnya.

Ini adalah kesempatan langka yang bagus jika dia bisa mendapat ilmu setara dengan anak bangsawan. Pengetahuan yang semakin luas bisa saja akan membuat peternakannya berkembang semakin luas, mungkin bisa sampai mengekspornya keluar desa ini ata bahkan kerajaan.

Sedangkan sekarang, bidang yang sudah Jungwon kuasai hanyalah beternak saat ini, berkat sang ayah yang dulu terus memaksanya membantu kerja beliau ketika ia masih kecil.

Ia juga sudah bisa memperkirakan kalau kemungkinan harga ayamnya akan naik drastis dengan keuntungan 3 kali lipat dibanding biasanya disaat musim dingin mendatang dimana semua orang akan berlomba-lomba menimbun makanan sebelum cuaca ekstrim menyerang.

Tapi itu setidaknya masih 2 sampai 3 bulan lagi, sedangkan lowongannya akan berakhir dalam 2 hari sebelum para utusan menjemput mereka disini.

Ia menghela nafas untuk kesekian kalinya. Kemungkinan ia harus merelakan kesempatan emas ini karena ia tidak kuasa menelantarkan ternaknya yang sudah susah payah dikembangkan kedua orangtuanya dulu. Satu-satunya warisan dan kenang-kenangan peninggalan orangtuanya yang ia miliki selain rumah kayunya yang dingin.



"Ada apa? Apa kau juga ingin kesana, Jungwon-ah?"
Kali ini seorang wanita paruh abad menepuk pundaknya dari belakang.

Buru-buru Jungwon membungkuk memberi salam.

Beliau adalah teman setia mendiang ibunya sekaligus salah satu pelanggan setia ternak ayamnya yang sesekali ikut membantunya mengurus rumahnya ketika ia sedang sibuk keliling menjual telur dan ayam-ayamnya.

"Ah, bibi Hwang, tidak... Saya–"

"Ikut saja."

"Ah, iya.... Huh?" Jungwon mengernyit bingung menatap senyum cerah bibi Hwang yang menampakkan deretan gigi kuningnya.

Sekali lagi bibi Hwang menepuk pundak anak itu, "itu adalah kesempatan emas yang diberikan kerajaan pada kita yang miskin. Tidak ada kesempatan kedua, kau akan menyesal jika tidak mengikutinya, padahal semua syarat sudah kau penuhi."

"Bibi Hwang, saya–"

"Aku bisa menjaga ternak dan rumahmu." potong bibi Hwang.

"Eh???"

"Banyak anak yatim piatu juga ikut kesana. Kau juga hanya perlu mencari orang yang kau percayai sebagai wali yang menjaga rumah dan ternakmu. Dengan senang hati aku akan melakukannya sebagai bentuk persahabatanku dengan ibumu." yakin bibi Hwang.

Jungwon tau jika dibalik senyuman itu tidak ada ketulusan dibaliknya. Bibi Hwang tidak sebaik ini walau ia adalah sahabat ibunya sedari kecil, ia tidak akan menawarkan diri secara cuma-cuma tanpa imbalan apapun seperti ini. Ia tau jika bibi Hwang yang hidup dengan suaminya tanpa sosok anak karena mandul memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil keuntungan penjualan ternak ayamnya nanti.

Dalam hati ia tertawa.

Tidak ada orang yang tulus ikhlas membantu di dunia ini bukan?

Jungwon balas tersenyum, "Terimakasih bibi Hwang, akan ku pertimbangkan saranmu."

Setelah beberapa kata meyakinkan bibi Hwang akhirnya pergi dengan penuh kebahagiaan. Siapa yang tidak bahagia jika kau akan mendapat banyak harta tanpa berusaha keras dalam waktu singkat?

Mau bagaimana pun Jungwon tidak pernah membencinya. Entah ia terlalu naif atau bodoh seperti perkataan nenek tua tadi. Bibi Hwang sudah seperti pengganti ibunya secara tidak langsung.


"Apa sebaiknya aku kesana saja?"



Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 14, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

IN : Given Taken [ENHYPEN ft &TEAM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang