1. Sepele

648 59 12
                                    

"Terima kasih."

Seorang pemuda berjalan sendirian dengan menenteng plastik berisi beberapa camilan yang baru saja ia beli.

Bersiul dan menendang kerikil kecil adalah hal yang pemuda itu lakukan untuk mengusir rasa bosan yang menghampirinya. Pemuda tersebut adalah Arzan Daviandra. Ia berusia 17 tahun, dan saat ini sedang menduduki kelas 11.

Arzan memiliki wajah manis, dengan kulit putih bersih lembut bagaikan mochi saat disentuh. Banyak perempuan yang menyukainya, apalagi perempuan-perempuan tomboy yang melihatnya.

Ia memiliki daya tarik tersendiri, hingga para perempuan menyukainya. Tapi, ia tak peduli. Karena saat ini, ia tak ingin menjalin hubungan dengan siapapun.

Arzan terus berjalan, hingga akhirnya ia berada di depan rumah sederhana namun cukup luas dengan cat bewarna hitam. Alisnya mengernyit ketika melihat mobil yang sepertinya tak asing terparkir di garasi.

Ketika ia masuk, ia langsung dihadapkan dengan pemandangan seorang lelaki sedang menyenderkan punggungnya di sofa. Mata lelaki itu menatapnya tajam seolah telah menemukan mangsa. "Habis nyolong di mana lo?"

Pertanyaan itu membuatnya menggeram kesal. "Maksud lo? dateng-dateng ga usah ngajak ribut."
Arzan berjalan meninggalkan lelaki itu sendiri. Ia memasuki kamarnya, lalu merebahkan tubuhnya di kasur.

Tak lama, lelaki tadi memasuki kamarnya sambil menggenggam kotak rokok. "Ngapain kesini? Keluar!" Marahnya sambil menunjuk ke arah pintu.

"Kalo gue ga mau?" ia terus berjalan mendekat pada Arzan. Tatapannya tertuju pada benda yang ada di tangan pemuda tersebut.

"Arkana Rajendra! Keluar!" Arzan dengan cepat berdiri ketika lelaki yang bernama Arkan itu sudah berada di depannya.

Ya, dia adalah Arkana Rajendra. Lelaki 18 tahun yang menduduki kelas 12. Ia adalah saudara tiri Arzan. Almarhumah ibunya, menikah dengan ayah Arzan ketika ia berusia 11 tahun.

Ada hal yang membuat mereka tak dekat seperti dulu, sehingga Arzan seolah membenci dan tak menyukai Arkan. Saat bertemu, selalu ada perdebatan dan keributan yang dihasilkan.

Ayah mereka, Fano Agustian, sudah sering menegur mereka. Tapi hasilnya? Sama aja. Seakan tak ada kata akur di kamus mereka berdua. Arkan tersenyum miring. Ia mengangkat kotak rokok itu di depan wajahnya dengan ekspresi seolah-olah berpikir.

"Gimana ya reaksi Ayah kalo liat ini. Menurut lo bakal kaya apa?" Arzan langsung melebarkan matanya saat melihat bungkus rokok yang dibawa oleh Arkan. Ia segera menjulurkan tangannya untuk mengambil kotak kecil itu.

"Kembaliin!" Ia berdecak kesal saat Arkan menjauhkan rokok yang dibawa. Lelaki itu seolah mengejek dirinya karena lebih pendek dari Arkan.

"Lo juga ngerokok, kan? jadi ga usah kaya gini! Gue juga bisa bilang ke ayah!" Ancamnya untuk menakut-nakuti Arkan.

"Ya... Lo bisa bilang ke ayah. Tapi, apa ayah bakal percaya sama lo?" Arzan terdiam. Lelaki di depannya pun ikut diam ketika menyadari ucapannya.

"Zan-"

"Keluar." Arzan memotong ucapan Arkan begitu saja setelah berhasil mengambil rokoknya. Melihat lelaki itu hanya diam, Arzan langsung menarik tangan Arkan dengan kasar dan menutup pintu kamarnya dengan kencang.

Setelahnya, Arzan menyenderkan punggungnya di pintu. Pikirannya melayang pada kalimat yang dilontarkan oleh Arkan, ia mengacak rambutnya dan menghela napas.

Apa ayah bakal percaya sama lo?

Kalimat itu terus berputar di kepalanya. Ya, benar. Memangnya, Fano akan percaya dengannya? walaupun ia sudah menjelaskan secara rinci pasti yang ia dapat hanyalah amarah dari pria tua itu.

Walaupun Fano adalah ayah kandungnya, tetapi pria itu lebih memperhatikan Arkan. Alasannya simpel, Arkan pintar. Itu saja. Sedangkan dirinya? Dengan nilai yang pas-pasan, apa yang dapat dibanggakan?

Tentu saja, jika ia melaporkan jika Arkan pernah merokok, ayahnya tak akan percaya. Karena pria itu hanya mengetahui jika Arkan adalah anak baik dan pintar, tak pernah menyentuh benda itu.

"Sial," gumamnya. Di luar, Arkan tampak mengusap wajahnya kasar. Ia tak bermaksud untuk mengatakan hal itu. Ia sebenarnya ingin meminta maaf, tapi... Bukankah itu hal sepele? Pasti Arzan akan melupakan perkataannya tadi bukan?

Sudahlah. Pemuda itu memilih untuk berjalan ke dapur dan mengambil minum, berusaha melupakan kejadian tadi.

"Ck, paling dia lupa abis ini. Bodo ah!" Setelah mengatakan hal itu, Arkan mengambil handphonenya yang bunyi. Ia menekan tombol speaker yang ada di pojok kiri itu.

"Halo? Kenapa yah?"

"Halo, kamu di mana?"

"Aku di rumah Arzan. Kenapa?"

"Dia ga macem-macem kan sama kamu?"

"Engga kok. Aman."

"Beneran? Kalo dia macem-macem, bilang aja sama ayah. Nanti biar ayah marahin."

"Engga, jangan dimarahin. Anak sendiri itu, nanti kalo kabur gimana?" canda Arkan.

"Anak kaya gitu, kalo dibiarin malah makin jadi nanti. Kamu nginep di sana?"

"Iya."

"Ya udah, ayah tutup, mau ngurusin kerjaan. Good night."

"Too." Arkan mematikan handphonenya, lalu menoleh saat mendengar suara langkah kaki. Di ruang tamu, terlihat Arzan sedang berjalan membawa tas. Pakaiannya pun sudah rapi, tak seperti tadi.

"Kemana?" kata itu spontan keluar dari mulutnya. Tak menjawab, Arzan memilih untuk tetap berjalan keluar.

"Arzan Daviandra! Denger gak lo?!" Serunya karena kesal di abaikan.

Kepala Arzan menyembul ke dalam, dengan ekspresi yang menurut Arkan menjengkelkan, ia menjawab, "Kepo!"

Matanya membulat ketika mendengar jawaban itu, tetapi ia lebih terkejut ketika melihat sebatang rokok yang menyala berada di antara kedua belah bibir Arzan.

Padahal, ia hanya bercanda saat mengatakan jika akan melaporkan pada Fano jika Arzan merokok. Karena ia juga tak yakin jika pemuda manis itu merokok, tapi ternyata itu benar?!

.

.

.

Haii aku kembali membawa cerita baru. Semoga kalian suka ya!

Jangan lupa ramein vote dan komentarnya. Keluarin aja unek-unek kalian tentang karakter disini. Bebas, kalo gitu bye semua!

Always youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang