Namaku Shibata Miwa, kelas 1-2 di SMP Asakura. Di rumah aku dipanggil Mi-tan, sedangkan di sekolah aku dipanggil Micchi oleh beberapa teman dekatku. Aku tergolong orang yang pemalu, sehingga tidak suka mengawali pembicaraan. Sikapku kepada orang asing terkesan jutek, padahal aku hanya tidak tahu harus berekspresi seperti apa.
Jarak antara sekolah dan rumahku lumayan jauh, jadi setiap hari aku pulang-pergi dengan bus. Aku selalu menunggu bus di halte yang agak jauh dari sekolah, agar aku dapat jalan dengan teman-temanku dahulu. Sampai pertengahan bulan April selalu begitu selepas sekolah, sampai akhirnya datang musim hujan bertanda akan berakhirnya musim semi.
Musim yang awalnya tidak kusukai, tetapi pada akhirnya membuatku merindukannya.
Hari itu aku pulang terlambat karena piket sekaligus mengikuti ujian perbaikan. Teman-temanku sudah pulang sehingga aku berjalan sendiri menuju halte. Ketika guntur mulai terdengar, aku mempercepat langkah. Tidak lama, air mulai menitik dari langit. Tik, tik, tik. Hingga akhirnya gerimis berubah menjadi hujan deras.
Aku berlari sekuat tenaga sambil memeluk tasku agar tidak kehujanan. Hujan telah membuat sekujur tubuhku basah sempurna. Aku mulai gelisah memikirkan rambutku dan seragam yang melekat dengan tubuhku.
Halte sudah dekat, samar di balik derasnya guyuran hujan. Aku sampai di halte yang kosong dengan napas terengah engah. Aku menaruh tasku di tempat duduk paling ujung, lalu memeras rok dan sweater.
Suara tapak kaki yang keras terdengar. Awalnya pelan, lama-lama semakin keras dan jelas. Ketika aku mendongak untuk melihat, kudapati seorang anak lelaki berlari mendekati halte. Dalam hitungan detik, lelaki tersebut sampai di halte.
"Akhirnya," suara lembut, sedikit serak basah, tetapi juga berat. Kuperhatikan lelaki tersebut lewat ekor mata. Hmm.. Aku kembali mengurus diriku sendiri.
Lelaki tersebut duduk di tempat duduk paling ujung. Ia menghembuskan napas keras sambil menyandarkan punggung dan kepala. Entah kenapa mataku terangsang untuk melihatnya lagi, kali ini tanpa ragu-ragu atau sekedar lirikan. Aku sedikit menoleh dan memiringkan kepala.
Rambutnya pendek dan rapi, alisnya tebal, sedangkan bulu matanya tajam. Matanya terpejam. Hidungnya kembang kempis mengatur napas, sama seperti mulutnya yang buka tutup seperti ikan. Jemarinya panjang dan kukunya rapi. Ia memakai seragam yang tidak menyisakan jejak kering sedikit pun.
"Hm," aku bergumam, lalu memalingkan wajah. Mungkin karena pendengarannya terlalu peka, atau aku yang bergumam terlalu keras, dia membuka mata dan menoleh ke arahku.
Antara takut, malu, dan risih, aku tidak berniat membalas tatapannya. Aku hanya berdiri mengusap rambut dengan handuk kecil sambil menunduk.
"Ah! SMP Asakura!" pekiknya, membuatku reflek menoleh.
Aku mengangguk setelah terdiam cukup lama. Dia nyengir, lalu mulai berbicara panjang lebar dengan nada riang. Aku antara mendengarkan dan tidak mendengarkan perkataannya, tapi aku ingat dia bilang salah satu temannya bersekolah di sekolahku. Aku hanya manggut manggut seolah memahami setiap katanya.
Dia terus berbicara, mengisi waktu yang telah berlalu 45 menit. Aku duduk diam mendengarkan dengan sedikit terpaksa. Terkadang kalau dia menceritakan hal yang lucu, aku tertawa kecil. Aku juga bergumam dan mengangguk menyahutinya. Pembicaraan pasif ini terus berlanjut sampai deru bus mulai terdengar. Ternyata bus yang akan kunaiki.
Aku membuka tas untuk menaruh handuk. Kutata kembali isi tas dengan rapi, lalu.. Kutemukan sebuah payung.
"Bodohnya." celaku kepada diri sendiri. Dia memandangku dengan senyuman.
"Itu busmu?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan.
"Haah, kurasa aku akan menunggu sendirian sampai hujan reda." desahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matteiru (Waiting for You)
Teen FictionPertemuanku denganmu adalah sebuah awalan indah yang tak ingin kulupakan. Aku mencintaimu seperti mencintai hujan yang mempertemukan kita. Kehangatan, kelembutan, dan kecerianmu begitu merasuk dalam hatiku. Kita mengikat sebuah janji suatu kala. Jan...