Selamat Membaca
*****Di sebagian dunia yang lain, beberapa orang menganggap kebahagiaan sama halnya dengan kebohongan. Cerita dongeng yang dibualkan oleh orang dewasa pada anak-anak tentang putri-putri dan pengarean berkuda putih. Kebahagian yang semu. Sangga tak pernah percaya itu.
Sejak kecil, dongeng-dongeng yang berisi cerita bahagia tidak pernah bisa masuk ke cara pandangnya. Mana mungkin putri akan hidup bahagia dengan pangeran dalam istana ketika kehidupannya dengan Ayah dan Bunda saja bisa berakhir.
Laki-laki itu menghela napas ketika memandangi lukisan kecil yang sengaja dia taruh di pojok studionya agar tak terlalu mudah ditangkap mata. Lukisan berukuran 30x40 sentimeter itu menampakan seorang bocah yang menggandeng tangan Ayah dan Bundanya. Potret diri yang pernah Sangga buat untuk lomba tujuh belas agustus ketika dia masih sekolah dasar.
Hari itu, semuanya terasa biasa-biasa saja. Sangga tak terlalu bahagia karena hanya mendapat juara dua. Tapi, dia tak pulang dengan kecewa. Ditaruhnya lukisan itu di meja ruang tamu, dekat dengan beberapa lukisan lama Ayah yang belum lagi terjual atau dibatalkan pesanan secara mendadak lantaran berita miring soal seniman yang melakukan kekerasan.
Bunda membelai kepala putranya sambil mengatakan, "Wah Bunda jadi kelihatan kurus san cantik di lukisanmu, Sangga."
Sangga tersenyum cerah. "Bun, tapi Sangga nggak juara satu."
"Tidak masalah mau juara berapa pun, yang penting adalah Sangga senang dan menikmati prosesnya."
Bocah delapan tahun itu mengangguk. "Sangga mau jadi pelukis hebat seperti Ay——"
"Apa?" Ayah datang dengan kemarahan yang entah muncul dari mana. Suara di telepon terdengar bergumam tak jelas. Seketika itu juga Ayah melemparkan lukisan berfigura miliknya hingga jatuh ke lantai. Lukisan Sangga juga ikut terlempar dan berantakan.
"Mana bisa pameran yang sudah lama kuimpikan itu justru dibatalkan begitu saja?" tanya Ayah nyaris seperti berteriak. "Aku sudah mempersiapkan pameran ini sejak dua tahun lalu. Aku harus mendapatkan tempat untuk karyaku!"
"Tio, ada apa?" Bunda mendekati Ayah dengan lembut, tapi tangannya dengan cepat ditepis.
"Pameran di Moskow, di Tretyakov Art Gallery, mereka menghapus namaku, Mila," keluh Ayah sambil membanting ponselnya sembarangan lalu menyugar rambutnya frustasi.
"Tidak ada cara lain untuk karyamu, Tio?" Bunda masih berusaha melembutkan suaranya. "Atau kamu bisa berhenti sebentar dan bekerja untuk keluarga saja?"
Mata Ayah langsung menatap nyalang pada Bunda. "Aku ini seniman, Mila! Aku pelukis!"
"Aku tahu," kata Bunda lalu menghampiri Sangga kecil yang ketakutan. "Tapi kamu harus menghidupi putramu. Kamu itu Ayah. Seorang Ayah bukan cuma seorang pelukis, Tio. Sangga membutuhkan kamu, tapi kamu hanya memikirkan karya-karyamu. Hanya memikirkan dirimu sendiri!"
"Aku memikirkan kalian, makanya aku melukis mati-matian untuo berbagai pameran!"
"Itu bukan untukku atau Sangga, itu untuk harga diri dan ambisimu sendiri, Tio!"
Bruk! Lukisan lain segera berserak di lantai. Ayah dipenuhi amarah. Pertikaian Ayah dan Bunda tak bisa dihindarkan lagi. Ego besar Ayah sebagai seniman ternama Indonesia benar-benar terluka karena perkataan Bunda. Apalagi saat itu, karirnya sedang terperosok akibat kasusnya yang mencuat ketika tak sengaja memukuli seseorang karena mabuk. Beberapa pameran memutuskan menghapus nama Tio Sukmantoro dari daftar. Yang terbesar adalah pameran di salah satu galeri seni terbesar di Rusia, Tretyakov Art Gallery.
Sangga kecil tak mengerti mengapa Ayah begitu marah dan Bunda berderai air mata. Dia berdiri di balik meja ruang tamu memandangi lukisannya yang tertimpa lukisan lain milik Ayah yang sudah hancur berantakan. Dia ingin menangis, tapi Bunda jauh tampak lebih menyedihkan. Air mata perempuan itu membuat hati Sangga terluka.
Tapi, tak ada yang bisa dia lakukan.
Sangga ingin mengambil lukisan miliknya. Tangan kecilnya terseok memegangi ujung canvas lukisannya. Dia menarik dengan sekuat tenaga, tapi justru lukisan Ayah ikut tertarik san menjadi semakin berantakan dan tak bisa diselamatkan. Jika sebelumnya, hanya figuranya yang pecah dan lukisannya masih baik-baik saja. Akibat gerakan kecil Sangga, lukisan itu langsung ringsek tertimpa figura dan kacanya.
"Apa yan kamu lakukan? Dadar bocah bodoh!" teriak Ayah yang frustasi sambil menarik tubuh Sangga dan melemparnya menjauh. Dia meraup lukisannya yang sudah berantakan akibat ulahnya sendiri, sementara punggung Sangga menghantam bagia ujung meja.
"Bunda," ujar Sangga sambil memegangi punggungnya yang terasa sakit.
Bunda. Kata itu terngiang di telinga Sangga ketika dia mengingat momen paling bersejarah sekaligus memilukan itu. Rasa sakit di punggungnya bahkan masih terasa, meski tak ada wujud luka kasat mata. Kepergian Bunda dan kehidupan baru yang sudah dimilikinya membuat Sangga terluka, meski dia tak pernah mengatakannya.
Helaan napas berkali-kali membuat udara kosong di studionya menjadi kian pengap. Tugas pratikum bertema Happy Ending membuat Sangga terpaksa kembali menatap potret diri dan keluarga kecilnya itu. Bukan akhir bahagia, hanya bekas luka dan rasa trauma yang hinggap pada dirinya.
Sebenarnya, apa akhir bahagia yang bisa Sangga dapatkan nantinya?
"Happy Ending," lirih Sangga sambil menggigit bibirnya memandangi lukisan usangnya. Memikirkan segala macam akhir bahagia yang bisa dia dapatkan jika saja hari itu Bunda tak memilih meninggalkannya atau Ayah tak mendapatkan kasus kekerasan.
Dia lalu mengambil lukisan setengah jadi yang sebelumnya terkena tumpahan cat. Dia harus mengulang dengan lukisan baru bahkan dengan ide yang baru juga agar mendapat nilai A+ seperti mata kuliah lainnya. Lukisan yang sebelumnya tak sesuai dengan tema tugas pratikum. Sangga hampir mengerjakannya dengan sembarangan. Tanpa filosofi sama sekali. Untungnya, cat dengan baik hati tumpah di atasnya.
Ketukan pintu yang nyaring yang bisa membuat Sangga teralih. Ayah di depan pintu sudah lengkap dengan seragam security menatap tajam pada putranya ketika pintu dibuka. Tatapan pria itu tak pernah berubah sejak hari di mana Bunda pergi, tajam dan temaram. Sangga merasa ada kesedihan, penyesalan, ego, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.
"Ayah akan berangkat karena pergantian shift. Sudah ada makan malam, nanti tinggal kamu panaskan sendiri kalau mau makan," kata Ayah tanpa ekspresi.
"Iya," jawab Sangga. "Terima kasih, Yah."
Pria itu memandang ke dalam bekas studio miliknya sekali. Menatap Sangga untuk beberapa lama. Lalu dia pergi begitu saja dengan langkah panjang sehingga dia langsung menghilang ketika berbelok ke rumah.
Suara motor Ayah berdengung lalu terdengar menjauh. Sangga masih berdiri di depan pintu studionya, memikirkan lagi apa Happy Ending yang sebenarnya. Jika Ayah tak bisa bahagia bahkan dengan melukis, apakah dirinya bisa? Sangga mengacak-acak lagi kepalanya.
"Hidup kan nggak selalu akan berakhir bahagia," lirihnya lalu kembali pada lukisan setengah jadinya yang terkena tumpahan cat.
*******
Hai, kembali lagi dengan kisah Camaraderia!
Kisah Sangga akan berlanjut bersama dengan kisah yang lainnya. Jadi, jangan lupa untuk tekan bintang dan berikan komentar sebanyak-banyaknya, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMARADERIE [ongoing]
General FictionSangga, anak muda jurusan seni rupa bertemu dengan Dawa, seorang yang tuli dan bisu yang suka lukisan dan ingin belajar melukis bersama sahabatnya, Elio. Kemudian, ada Alan yang punya kisah cinta remaja yang tidak pernah berakhir mulus dan dalam upa...