1. Bagaimana kita telah selesai

2 1 0
                                    

Karena kita sudah pernah selesai di rentang waktu ini. Jadi jangan kembali, kumohon.

-Adara
September 2022

***

Aku memandangi percakapan kita berkali-kali. Kurasa memang benar bahwa ini sudah usai. Tak akan ada lagi delay massage yang kutunggu untuk dia balas. Namun entah mengapa seolah semuanya berjalan baik-baik saja, aku tidak merasakan apapun atau sebenarnya memang belum merasakan apapun karena ini semua terasa tidak nyata.

Aku tersenyum saat kata-kata yang kususun rapi sudah terkirim. Walau bingung saat merangkai kata itu, akhirnya aku puas saat centang tanda terkirim menandakan sudah diterima oleh yang disana.

Dengan tanpa perasaan apapun, aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur. Menerka-nerka apa yang akan terjadi jika ia balas pesanku. Apakah isinya akan tentang dia yang menyalahkanku atas ketidakdewasaan yang aku miliki. Ah, atau jangan kubuka saja pesannya hingga esok hari.

Aku memejamkan mataku berusaha terlelap, baru saja akan menyebrangi alam mimpi suara notifikasi membangunkanku.

Begini isi pesannya.

Sandi:
Aku juga minta maaf jika selama ini membuatmu terus menunggu dan itu menyakitimu. Terimakasih juga telah menemaniku selama 4 bulan ini.

Aku menghela nafas, baru merasakan hatiku sedikit tercubit melihat dia meminta maaf dan menyadari kesalahannya. Walau bukan hanya karena itu masalah yang sebenarnya namun kupikir itulah yang menjadi inti masalahnya.

Mengirimkan pesanku padanya bagiku membutukan waktu yang lama untuk berpikir secara matang. Namun bagi Sandi, hanya butuh 5 menit kemudian yang kutebak dia baru saja membuka ponselnya lalu melihat notifku. Membacanya sekitar 1 menit karena tulisanku sangat panjang lalu segera mengambil kesimpulan dan membalasku dengan cepat.

Aku tahu bahwa dia kecewa, dengan keputusanku yang mendadak dan tidak pernah dia sangka itu sebelumnya. Namun bagiku, penantian, bertahan, dan semua kepedulian tentangnya sudah cukup lama dan menyiksaku.

Sudah kubilang berkali-kali ini bukan soal aku yang mengemis meminta kabar setiap hari. Namun tentang rasa dipentingkan terlebih dahulu. Ini bukan soal kabar, ini soal prioritas dan aku tahu, dia pasti menyadari bahwa memang dia menempatkan aku di posisi kesekian.

Sebulan terakhir, aku selalu membahas ini tiap malam. Tidak. Sebenarnya setiap larut malam. Aku tidak pernah mendengar satupun kabar darinya. Maka setiap malam dia sedang bangun dan aku pasti tahu itu. Mungkin aku yang egois, sangat amat menggantungkan harapanku pada seseorang yang sebenarnya bukan rumah yang tepat.

Yang aku harapkan adalah kabarnya setiap hari, walau hal kecil yang tidak penting. Aku senang bisa mendengarnya.

Hal yang dia inginkan adalah aku jadi dewasa, walau tanpa kabar aku akan mengerti dia sedang sibuk atau apapun dengan urusannya.

Tapi aku tidak mengerti, apakah hubungan dewasa adalah tidak mengabari sama sekali? Setidaknya dia bilang--aku sibuk hari ini, tolong jangan khawatir. Nanti jika sudah senggang ku hubungi lagi-- tapi dia tidak. Sekalipun.

Jadi aku mengambil langkah besar, setelah kemarin malam kita bertengkar seperti biasa. Aku berpikir apakah kita akan terus seperti itu setiap malam. Jawabannya tentu saja tidak. Mengapa kita tidak pernah sepemikiran? Karena tentu saja kepribadian kami berbeda dan tidak pernah ada yang mau mengalah.

Setelah berpikir seharian, dia tidak pernah mengirim teks kepadaku hari itu. Hari setelah kita bertengkar. Aku tidak peduli dia sesibuk apa, aku tidak memiliki kabarnya maka dia memang tidak pernah menganggap aku serius sejak awal. Dia hanya bermain-main.

Aku menuliskan semua keluh kesahku selama ini. Melalui catatan di ponsel. Setelah selesai aku membacanya kembali. Banyak juga ya, pikirku.

Membacanya sekali lagi, lalu aku menaruh ponselku di atas meja dan pergi keluar sebentar. Membenahi pikiran yang sangat acak-acakan. Kata-kata yang baru saja ku tulis benar-benar menggambarkan situasi saat ini.

Kesannya aku seperti pendendam, menghubungkan kejadian demi kejadian. Namun sebenarnya memang begitu yang kurasakan. Aku duduk di ruang tamu, memandangi tv yang sedang menyala menampilkan berita terkini. Aku tidak pernah menyimaknya, hanya menatap lurus namun pikiranku entah kemana.

Lalu sampai pada pemikiran dimana, apakah seharusnya hubungan ini benar-benar ada? atau setidaknya perlu aku lanjutkan keberadaannya. Otakku berusaha berpikiran logis, berkali-kali mengatakan bahwa ini bukan hubungan yang sehat. Bukan hubungan yang aku inginkan.

Tapi hatiku selalu membantahnya, mengatakan bahwa aku memang menyayanginya sebesar itu. Walau setelah apa semua yang terjadi aku tetap akan kembali padanya karena dia memang untukku. Mengerti, kan?

Namun pada akhirnya aku kembali melihat malam-malam dimana aku menangis karena bertengkar dengannya. Yang aku ingat hanya malam-malam dimana aku merasa sendiri dan lebih kesepian daripada saat aku masih sendirian. Saat dia belum datang dan mengubrak-abrik semuanya. Kurasa aku lebih merasa terisi sendirian daripada saat bersamanya.

Sorenya kuberanikan diri untuk menyusun pesan untuk menyudahi semua ini dengannya. Meski telah kuhapus dan ku ketik berulang kali akhirnya aku menemukan kata-kata itu. Kata-kata terimakasih karena telah ada dan memberi warna, lalu maaf karena aku harus mengingkari janji untuk pergi duluan meninggalkannya.

***

Hyyie🗝This is your secret noteⳊ

Please click the start button if you like this story and follow me for more information about my projects

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bandung ReverberationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang