Pesta Ria di Surga

48 9 1
                                    

CW // Suicidal Thought

Buat aku mati dan ajak aku menari bersama para Dewa. Cale tak ingin membusuk di seluk manor yang berdebu dengan keyakinan bahwa tak akan ada yang berjamu pada jasadnya selain belatung, mengingat Deruth masih saja mabuk dalam lembar kerja setelah ia kubur kabar kepergian istrinya di kerak bumi yang membakar.

Orang-orang mengasihani tuan muda dari Count Henituse. Sungguh malang, ia masih terlalu kecil dan cinta dalam dirinya belum siap untuk dilucuti oleh duka. Dan memang, sejatinya Cale ingin menuntut takdir atas kebengisannya terhadap anak kecil yang masih suka merengek kala mimpi buruk menjadi bunga tidur.

Didewasakan oleh situasi. Itu bukan sebuah lencana kebesaran, tapi tragedi yang lagi-lagi dunia harus saksi. Dengan umurnya yang bahkan belum setua kucing di pinggir jalan, masih bisakah itu disebut pendewasaan dan bukan kepergian yang traumatis? Hidup itu sesak akan romantisasi, depresi dianggap sebagai hal yang patut diapresiasi. Kedewasaan dianggap sebagai puncak pencerahan. Dan Deruth yang dewasa tetaplah seorang pengecut di hadapan mayat istrinya yang mungkin sudah menjadi kompos untuk rerumputan sekitar.

Awalnya, Cale ingin cepat-cepat dewasa. Ia ingin menjulang tinggi seperti pohon dan menjadi seorang pahlawan bagi sang ibunda. Namun, sekarang yang mungkin hanyalah memberikan bayangnya sebagai persembahan yang meneduhkan makam. Kedua tangannya bertangkup, melindungi doa yang akan diterbangkan oleh keegoisan. Dewa, sudah cukup bermainnya, kembalikan Mama, bahkan jika Mama harus berdetak dalam tubuh sebuah mayat hidup.

Surga itu neraka. Malaikat itu iblis. Dan manusia? Manusia itu segalanya yang tak berarti. Oleh karena itu, malaikat di surga sana tak sudi membuka gerbang agar mamanya yang kini telah menyandang sepasang sayap tak lengser. Karena pada akhirnya, Cale masih seorang manusia dan mamanya adalah seorang bidadari yang memiliki kewarganegaraan di sana.

Oleh karena itu, Cale sempat berangan. Mungkin ... Mungkin saja kalau ia mencoba untuk terbang dari bukit belakang, keajaiban akan turun bak ilham. Sayap tumbuh dari punggung dan surga menyambut warga negara baru. Anak kecil itu acuh akan konsep kematian. Yang Cale tahu dahulu hanyalah buaian bahwa mamanya pergi ke tempat yang lebih baik dan tinggal bersama para Dewa. Iya, tempat yang lebih baik. Seolah-olah tempat terbaik bagi mamanya bukanlah di samping putra tunggalnya, harta satu-satunya yang ia wariskan untuk dunia.

Anak kecil juga suka berfantasi. Pun sama dengan Cale yang acap kali menggores fantasinya meski bukan di kertas putih dengan krayon menodai. Ia bermimpi meski bukan dalam tidur. Bagaimana rasanya dibawa terbang melewati langit sebelum kakinya bertumpu di surga yang disokong oleh awan. Bagaimana rasanya bermain dengan para Dewa. Bagaimana rasanya nanti saat ia mati meski kini ia masih menggaruk kepala karena bingung akan eksistensi dari kematian.

Buat aku mati.

Dan anak kecil yang lugu itu meramal kutukan bak doa.

Dan ajak aku menari bersama para dewa.

Dan kematian Cale jadikan sebagai impian. Para Dewa yang menjadi pelaku kejahatan meringis atas dasar simpati, tapi pada akhirnya, mereka tetaplah Dewa dan Cale hanyalah seorang manusia.

Maka dari itu, Dewa, buat aku mati dan ajak aku menari bersamamu.

Pesta Ria di SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang