Keping 1

663 113 455
                                    

Setelah mendapatkan keterpurukan yang lumayan besar dan amat dramatis, aku ketagihan mencapai ketenangan melalui meditasi. Duduk bersedekap, mengatur napas secara perlahan, memusatkan pikiran sembari membiarkan realita saling mendominasi dan menabrak.

Bersama validasi yang mengalir tanpa penghakiman, simpul-simpul masalah meleburkan diri. Berkonsolidasi membentuk sebuah proses penyembuhan-yang menurutku-sangat startegis bagi jiwa.

Satu tahun mempraktekannya, aku tidak pernah menjumpai kata gagal. Tidak sekalipun. Karena fokusku benar-benar menyatu dengan alam semesta yang berputar menghamba kepada-Nya. Sangat damai. Membuat neraca emosiku menjadi seimbang setiap waktu.

Namun, sudah dua hari ini, aku mendapati meditasiku hambar. Terpenggal di pertengahan akibat mengingat seseorang

Aku membuang napas kesal. Menerka di fase kehidupan mana aku pernah menanam bibit gagasan yang kini menggentayang seperti setan-setan rumah tua.

Aku menginginkannya?

Sebelum pertemuan minggu lalu, kenangan tentang dia tidak pernah bermunculan. Meski aku akui namanya kadang-kadang terdawam lembut di kedalaman batin. Tapi sekarang, kekacauan yang disebabkan olehnya sudah terlalu jauh. Aku jadi memanifestasikan hal-hal gila, sesuatu yang bahkan tidak pernah aku bayangkan bersama kekasihku. Dan jika aku membiarkan meditasiku berkelanjutan sekeruh ini, bisa-bisa jiwaku kembali terguncang oleh nafsu duniawi yang menjeruji.

"Gue gak akan ganggu, tapi lo harus nyemil minimal setengah jam sekali. Oke?" Setelah seseorang datang menghantarkan semangkuk krim susu dan sepiring irisan sourdough ubi ungu, gurat wajahku terpaksa harus menampilkan kesan manis.

"Aaah! Makasih. Sourdough kesukaanku!"

Kekasihku berjalan menghampiri. Sekedar melayangkan ciuman singkat ke hamparan dahi sebagaimana biasanya. Dapat kurasakan ketulusan cintanya meski hanya melalui kesunyian. Dia tidak bicara apa-apa, tapi matanya seperti penasaran dengan bundel buku yang sedang tertutup di hadapanku.

"Aku mau bikin jurnal," jelasku. Semoga bisa menghilangkan kekhawatirannya. Dia sudah sangat hafal, kalau aku mulai menulis seperti sekarang, berarti aku sedang mempunyai masalah.

"Kalau lo perlu bantuan, bilang aja," katanya. Lalu pergi meninggalkanku bersama perasaan bersalah dan cekat di kerongkongan.

"Aku akan selalu butuh kamu," gumamku pilu, menyaksikan punggung tegapnya yang semakin jauh.

Sedetik kemudian, jemariku sudah meraih batang pena. Mulai mengguratkan nama panjang seorang manusia yang belakangan menyuntik khayalan konyol di kepalaku.

"Talun Syaulam." Dalam badai kegundahan aku mendesis. "Detik ini aku berniat melupakanmu."

Benar! Memang hanya itu yang perlu aku lakukan. Melupakannya. Melupakan cowok yang jelas-jelas tidak pernah jadi siapa-siapa dalam hidupku.

Lagi pula, ngehaluin lelaki lain disaat kekasihku meratukanku adalah perselingkuhan yang sangat kejam 'kan?

Aku tidak sebrengsek itu! Akal sehatku masih berfungsi.

Aku harus melakukan wisata masa lalu. Menyusuri, menghargai, mensyukuri dan memberi maaf melalui gutis-gutis cerita yang akan aku runut sesuai sisa-sisa ingatanku.

ָ ྀ ·˚⌯ selamat membaca✦?༣₊˚⸙-˚ ָ ྀ

TALUN SYAULAM #WONBIN #RIIZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang