Philo dan Sophia

3 2 1
                                    

Cerita ini tentang seseorang bernama Bertrand yang diawali dengan kematian dirinya. Bertrand meninggal ketika dirinya membuka pintu kelas, hendak mengajar. Memang cukup aneh mengawali cerita dengan akhir cerita. Tetapi, seperti yang kita tahu bahwa setiap akhir adalah awal juga. Masalahnya, kita tidak tahu kapan awal dan akhirnya.

Sejam terakhir hidup Bertrand tak ada yang berkesan. Dia belum sarapan pagi, tak ada yang membangunkan dirinya selain jam alarm yang diatur pukul delapan pagi lebih lima menit, bahkan kedua orangtuanya pun sudah lama tak menghubunginya. Saat meninggal, Bertrand hanyalah lulusan jurusan filsafat yang kesulitan mencari uang. Dia membuka pintu kelas itu sebagai guru Sekolah Menengah Atas yang Bertrand kira akan memberikannya gaji lumayan.

Mengapa? Karena Bertrand mengetahui bahwa sekolah yang dia pilih adalah sekolah swasta yang cukup bergengsi. Akan tetapi, sekali lagi, Bertrand meninggal sesaat sebelum mengajar. Dia meninggal dalam keadaan memakai kemeja yang sama ketika dia sidang skripsi dengan sepatu yang sudah diperbaiki berkali-kali. Tetapi, wajahnya tak menunjukkan kesakitan atau kaget karena serangan jantung. Bahkan, Bertrand bisa dibilang meninggal dengan cukup rapi. Rambutnya sedikit basah dengan diarahkan ke kanan dan bila ada seseorang di dekatnya, seseorang tersebut akan mencium aroma manis vanilla.

Itulah sebabnya, Bertrand meninggal bukan karena penyakit bawaan, melainkan waktu hidupnya memang sudah habis. Akan tetapi, dalam kesadaran Bertrand, dia tetap membuka pintu, melangkah masuk ke kelas tanpa ragu, mengambil spidol warna hitam, lalu menulis nama lengkapnya di papan tulis.

"Perkenalkan, teman-teman semua, nama saya Bertrand Rumi. Saya lulus dari universitas di Australia. Saya mengambil jurusan filsafat sebagai bidang yang saya dalami dan.... Di sini, saya akan membantu kalian semua untuk memahami filsafat," ucap Bertrand sembar berbalik badan dan memandang semua muridnya.

Murid-muridnya itu tampak seperti murid SMA biasa. Mereka duduk satu meja satu kursi dengan jarak satu orang di setiap barisnya. Ada yang pura-pura menulis, sibuk bermain handphone, ada juga yang memperhatikan secara seksama. Akan tetapi, Bertrand juga pernah menjadi siswa. Perilaku mereka bukanlah sesuatu yang baru baginya.

"Filsafat. Ada yang tahu filsafat berasal dari bahasa mana?" tanya Bertrand. Semua murid diam. Bertrand tersenyum dan mengambil daftar nama siswa. Dia melihat ada 20 siswa di kelasnya.

"Ada yang bisa menjawab?" tanya Bertrand lagi. Namun, semua masih terdiam. Dari raut wajah mereka, tak ada yang berniat menjawab. "Tebak-tebakan juga tidak masalah. Di kelas ini, tidak ada kata salah. Selama kalian bisa bertanggung jawab atas argumen kalian, saya akan mengapresiasi," lanjut Bertrand. Namun, sekali lagi, tidak ada yang tertarik menjawab. "Baik. Bila tidak ada yang berpendapat, saya akan memanggil nama secara acak dan siswa atau siswi tersebut harus berpendapat."

Para murid mulai lirik kanan kiri mencari salah satu temannya untuk ditunjuk.

"Marsha Mardhias. Waktu dan tempat saya persilakan untuk berpendapat," ucap Bertrand.

Siswi perempuan dengan nama tersebut duduk tepat sekali di depan meja Bertrand. Meja pertama di pojok paling kanan. Secara sekilas, kehadiran Marsha sulit untuk dirasakan. Dia seakan menyatu dengan lingkungan sekelilingnya. Gaya potongan rambut bob warna hitam di atas bahu tidak menonjolkan apa pun, selain penampilan siswi SMA pada umumnya. Namun, Marsha cukup berani untuk memakai jepitan rambut bergambar salah satu karakter Powerpuff, yaitu Buttercup.

"Saya tidak tahu, Pak," ucap Marsha pelan.

"Saya tidak meminta Anda untuk menjawab, tetapi berpendapat. Sekiranya saja."

"Hmm... menurut saya, filsafat berasal dari bahasa Sanskerta."

"Lanjutkan."

"Filsafat memiliki arti berpikir?" tanya Marsha tidak yakin. Di belakang, seorang siswa berteriak, "Filsafat artinya ateis, Pak."

"Sepertinya ada seseorang yang ingin ikut berdiskusi. Baik, Anda yang tadi berbicara, siapa nama Anda dan jelaskan mengapa Anda berpendapat demikian."

"Nama saya Zervas Mardhias. Saya banyak mendengar, apalagi lingkungan saya, kalau filsafat itu artinya gak percaya Tuhan."

"Terima kasih, Zervas. Can I call you that?"

"Boleh, Pak."

"Tunggu, kamu dan Marsha bersaudara?"

"Iya, Pak. Kami kembar tidak identik. Saya kakaknya," ucap Zervas.

"Tidak, Pak. Kami bersaudara, tetapi bukan saudara kandung," ucap Marsha memberikan klarifikasi.

Bila dilihat secara seksama, Marsha dan Zervas memiliki kesamaan, khususnya di alis mata yang tebal dan lesung pipit di pipi kiri. Tetapi, kepribadian mereka berbanding terbalik. "Marsha tidak suka perhatian, sementara Zervas sebaliknya," pikir Bertrand.

"Teman-teman, istilah filsafat berasal dari dua kata bahasa Yunani Kuno, yaitu philos dan sophia," jelas Bertrand dengan tangannya menulis dua kata tersebut di papan tulis. "Secara garis besar, bila philos dan sophia digabungkan, philosophia, akan berarti mencintai kebijaksanaan."

"Bila mencintai kebijaksanaan, kenapa jadi ateis, Pak?" tanya Zervas memotong penjelasan Bertrand.

"Pertanyaan bagus. Terlepas dari mencintai kebijaksanaan, filsafat memantik manusia untuk berpikir. Berpikir berarti memiliki kesadaran. Skeptis. Tidak mudah percaya. Dan saya harap, kalian semua berperilaku demikian. Harus terus mempertanyakan segala hal dan jangan mudah percaya, bahkan saya pun bukanlah sumber pengetahuan pertama kalian. Tentu, bagi sebagian orang, tidak sedikit hal yang tidak boleh dipertanyakan. Misalnya saja, 'apakah Tuhan ada?', 'dari mana asal-usul kehidupan?'. Saya di sini tidak akan menjawab apakah Tuhan itu ada atau tidak, itu terserah pribadi masing-masing. Saya juga tidak akan menjelaskan asal-usul kehidupan karena bukan bidang saya. Tetapi, yang jelas, pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dirasa tabu itu memantik rasa ingin tahu manusia. Dari rasa ingin tahu manusia, peradaban akan terus berkembang."

Semua mata tertuju pada Bertrand yang sebenarnya ingin tertawa karena tidak percaya apa yang sedang dilakukannya. "Kalau teman-teman kampusku ada di sini, mereka semua pasti akan menertawakanku," kata Bertrand dalam hati.

"Jadi, apa yang akan kita pelajari dari filsafat, Pak?" tanya seorang siswa yang duduk di sebelah Marsha.

"Tolong sebutkan nama Anda."

"Nama saya Sean Nixon, Pak."

"Filsafat. Filsafat bukanlah suatu mata pelajaran yang akan berguna untuk pekerjaan atau karir kalian. Tidak juga sepraktikal sastra atau bahasa yang bisa menciptakan puisi indah atau novel propaganda. Tidak juga serba guna dan dijadikan dasar perhitungan layaknya matematika. Dari pengalaman saya, tidak ada pekerjaan yang membutuhkan lulusan filsafat sebagai prasyarat. Tetapi, filsafat akan sangat berguna ketika kematian datang," ungkap Bertrand. Dia menjelaskan filsafat seperti pernah berbincang langsung dengan Socrates atau Nietzsche.

"Tapi tidak ada yang tahu kematian akan datang kapan, Pak," lanjut Nixon. Kali ini dia berkata dengan berapi-api.

Bertrand tahu kalau dia sudah memantik keingintahuan murid-muridnya. Nixon yang di awal kelas terlihat tenang, terkesan tidak peduli, sekarang kedua matanya terus mengintai perkataan dan gerak-gerik Bertrand seakan siap mengalahkannya di medan perang.

"Tepat sekali, Nixon. Kita tidak tahu kapan kematian datang. Tetapi, kita tahu kematian bisa datang kapan saja. Tidak ada yang tahu kalau sesudah kelas ini meteor akan menghantam bumi atau di jalan saya akan ditabrak kereta. Itu sebabnya, kalian ingin mati dalam keadaan yang bagaimana?" ungkap Bertrand yang diakhiri dengan senyuman. Tidak ada lagi yang berpendapat. Suasana kelas menjadi tenang. Hanya ada suara air conditioner dan cahaya matahari yang bagi Bertrand terlalu terang.

"Akankah kalian meninggal dalam keadaan menyedihkan? Cemburu karena pacar kalian tak juga membalas pesan? Atau kalian meninggal ketika sedang belajar seperti Plato? Semua tergantung pada pilihan kalian."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kembali ke AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang