Part 1 : Grateful?? Well.. grateful!

105 3 0
                                    

"Would you be mine, Ana?"

Ana mendengus jengah melihat sikap berlebihan seorang pria yang berulang kali menyatakan perasaannya dengan gaya kampungan. Bahkan lelaki ini memilih universitas yang sama dengan Ana hanya karena keberadaan Ana di kampus tersebut. Bayangkan!

"I told you that i don't like you at all. Berapa kali, sih, harus gue bilangin?"

Menyebalkan! Kenapa harus ketemu dia lagi coba? Apa selama tiga tahun di SMA tidak cukup untuk ketemu dan berhadapan sama dia terus?! Aishh.. Baru beberapa hari masuk kampus saja sudah di sapa dengan kelakuan memalukan si Dani culun! sungut Ana dalam hati.

Ana melangkah pergi menarik Riri yang bersusah payah menahan gejolak tawanya.

"Temen macem apa, sih, lo? Temennya menderita malah diketawain," Ana menatap Riri dengan kesal.
"Hahaha.. Wait a minutes." Riri menarik napas dan mengembuskannya. "Menderita? Lo menderita dikagumi, dianggap penting sama seseorang... lo menderita?"
"Yaaaa.. Ga gitu maksud gue. Gue seneng, bersyukur, tapi gue juga terganggu dikejar-kejar terus, tau! Itu anak udah gue tolak puluhan kali, tapi masih teteeeep aja kekeuh. Bikin gue risih. Move on, kek. Kaya cewek tinggal gue aja didunia," sungut Ana kesal.

Riri menatap Ana dengan tatapan tidak percaya, seakan-akan apa yang diucapkan Ana barusan adalah hal yang sangat haram untuk dikatakan oleh Ana.

"Kenapa?" tanya Ana yang tidak mengerti arti tatapan sahabat karibnya itu.

"Move on, Na?" Riri terdiam sebentar. "Lo sendiri udah move on belom?" Detik berikutnya tawa Riri mengisi koridor seni musik yang masih sepi.

"Udah, Ri? Udah puas ngetawain gue?" Ana menatap Riri dengan tatapan membunuh. "Jangan ungkit-ungkit masalah Avan lagi. Gue bakal move on. Liat aja ntar."

"Ah, yakiiiinn? Kalo ngga' salah kalimat lo barusan adalah nomor yang keee.. seratus!" tandas Riri dengan alis yang dinaik-turunkan.

"Cowok ngga' cuma cuma satu, ya, Ri. Intinya gue udah berjuang, nyatain perasaan gue ke dia dua kali." Ana terdiam sebentar. "Ya, kan?" lanjutnya sambil menaikan alis dan tersenyum bahagia... atau miris?

~~~

Banyak orang berpendapat bahwa sahabat itu indah, bahkan bisa lebih indah daripada keluarga sendiri. Apalagi hanya di dalam hubungan persahabatan kita bisa terbuka dengan sangat lebar.

Tiga orang lelaki melewati koridor universitasnya dengan karisma yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun yang melihatnya. Makhluk hawa menatapnya dengan mupeng, sedangkan makhluk adam menatapnya dengan iri.

"Gue heran, deh. Ga di masa SMP, SMA, bahkan sekarang pun di masa kuliah, banyak banget yang memandang kita kaya gitu. Gue takut cowok-cowok selain kita bertiga jadi ga laku lagi dan akhirnya frustasi." Avan menoyor kepala Deni, sahabatnya, dengan keras sambil tertawa. Tidak percaya kenapa dia bisa bersahabat dengan orang super percaya diri seperti Deni.

"Untung tampang lu lumayan ya, Den. Coba menjijikan, gue yakin kalaupun laki-laki di dunia ini tinggal lo satu-satunya, ga akan ada yang akan pilih lo sebagai pacar." Avan tertawa makin keras mendengar ucapan Bian yang juga merupakan sahabatnya.

"Heh! Harusnya gue yang ngomong itu ke lo, Bi. Bahkan sampe sekarangpun lo ga bisa move on dari cewek idaman lo masa SMA. Mana ga pernah cerita ke kita lagi siapa cewek yang tidak beruntung itu. Ckckck."

Kali ini Bian yang menoyor kepala Deni. "Tidak beruntung apa maksud lo, hah? Songongg.." Untung Bian sudah kenal baik luar-dalam Deni. Kalau tidak, mungkin sudah ada Bian kedua yang reinkarnasi.

Avan tersenyum, senyum yang memiliki dua arti...
Avan merasa sangat beruntung memiliki sahabat-sahabat yang yang selama ini sudah menjadi bagian dari hidupnya, yang menjadi tempat pelarian bahkan ketika perang dunia ketiga dijatuhkan oleh kedua orang tuanya.

"Udah ah. Bentar lagi jamnya pak Memet masuk, nih. Gue males dimandiin sama dia." Avan merangkul kedua sahabatnya dan berjalan cepat.

"Oh iya! Baru inget gue sekarang jamnya dia. Ayo ayo, cepet! Kalau kita telat, perang dunia keempat terjadi lagi ntar." Avan dan Bian tertawa ngakak mendengar ucapan Deni. Well.. ya, perang dunia keempat dikepalai oleh pak Ismet__dosen killer yang kalau berbicara, apalagi membentak bisa membanjiri kampus__setelah perang dunia ketiga yang dikepalai oleh orang tua Avan.

~~
Permisiii. Maaf ya kalau dikit. Saran boleh :). No copas yaa ;)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bertepuk Sebelah TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang