Menjadi anak sulung dari tiga bersaudara merupakan sebuah beban yang tidak lepas dari hidup Jia. Selalu diharapkan untuk menjadi tauladani yang baik bagi kedua adiknya--Jia secara tidak langsung dituntut untuk selalu sempurna.
Melakukan kesalahan tentu bukan bagian dari sempurna yang Jia harapkan.
"LO TUH BISA GAK SIH NGGAK NYARI GARA-GARA SAMA GUE? UDAH JELAS-JELAS GUE DULUAN YANG DUDUK DISINI!".
"YA TERUS? INI SOFA KAN PUNYA UMUM JADI SIAPAPUN BEBAS MAU DUDUK DISINI. NGGAK ADA TUH TULISAN YANG NYEBUTIN 'CUMA JIHAN YANG BOLEH DUDUK!' MANA COBA TUNJUKIN KE GUE KALAU EMANG ADA".
Teriakan menggelegar dari dua insan yang kini tengah saling menatap penuh tantang satu sama lain itu sukses membuat fokus Jia pada selembar kertas putih yang sejak tadi menemaninya pecah.
Jia yang malam ini berniat untuk menuntaskan tugas sketsa pak Anom yang sudah beberapa hari ini selalu ia tunda agaknya harus gagal lantaran kondisi dan situasi mencekam ruang tengah saat ini.
Helaan napas panjang keluar lepas dari sang gadis. Pemandangan super biasa yang hampir setiap hari Jia jumpai ketika berada di rumah---dan menjadi alasan mengapa Jia lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah.
"LO EMANG KURANG AJAR YA JADI ADEK. GAK ADA SOPAN-SOPANNYA!"
"HELLO!! GUE SAMA LO CUMA BEDA LIMA MENIT, GAUSAH MERASA SOK SUPERIOR DEH NAJONG!"
Sebenarnya tidak buruk-buruk amat jika saja Jia tidak ikut campur kedalam permasalahan dua sejoli aka adik kembarnya, Jihan dan Jingga yang tidak ada abisnya itu. Namun, keberadaannya sebagai anak tertua memaksa Jia turun tangan guna menghindari hal-hal yang tidak Jia inginkan dan berpotensi terjadi pada kedua adiknya.
Seperti jambak-menjambak contohnya.
"Udah malem, kecilin suaranya. Gak enak di denger tetangga" Jia paham betul bahwa kalimatnya barusan tidak akan dihiraukan oleh Jihan dan Jingga.
Tidak ada nada tegas sedikitpun disana, pun melihat bagaimana Jia yang seperti ogah-ogahan menegur semakin membuat kedua adiknya merasa telah mendapat lampu hijau untuk memulai perang.
"LO KALAU EMANG BERANI MINIMAL JANGAN PAKE OMONGAN. SINI LAWAN GUE"
Jia menggelengkan kepala, heran. Siaga satu; sebuah kalimat lawan telah tersabda.
"DIH LO KIRA GUE TAKUT? AYO SINI"
Siaga dua; sudah ada ancang-ancang untuk memulai perang.
"BENER-BENER LO---ARGHHHH!!!"
Dan siaga tiga; peperangan telah dimulai.
Jauh dilubuk hatinya, Jia ingin sekali membiarkan perang itu berlangsung hingga mendapati sang pemenang, namun ia masih punya simpati.
Melihat wajah adik-adiknya yang tergores luka akibat perkelahian jelas bukan sesuatu yang Jia harapkan.
Maka dengan begitu Jia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah sofa. Tangannya mulai terulur hendak melerai keduanya sesaat lebih dulu pintu utama terbuka dan menampilkan sosok wanita dan pria paruh baya, serta disusul lengkingan suara yang menjadi pertanda bahwa hidupnya kini tengah diambang kematian.
"JIHAN JINGGA KALIAN APA-APAAN JAMBAK-JAMBAKAN BEGITU? KAMU JUGA JIA, JADI KAKAK BUKANNYA MELERAI MALAH DIEM! BERHENTI DAN DUDUK ATAU UANG JAJAN KALIAN BUNDA POTONG!"
Pada dasarnya memang malam senin selalu menjadi malam tersial untuk Jia.
###
"Masuk kalian ke kamar!" Jia menatap iri kepergian kedua adiknya yang menyisahkan ia bersama Bunda dan Ayah di ruang tengah.
Hanya dengan sekali tebakan, Jia tahu apa yang akan terjadi padanya. Terlebih ketika melihat mimik muka Bunda yang seolah menyalahkan segalanya pada Jia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Langit
Teen Fictionberawal dari lupa switch akun dan berakhir bersama langit.