Kehilangan-tentu bukan hal yang mudah untuk diterima, apalagi kehilangan orang yang selalu berada di dekat kita dan sudah terbiasa dengan kehadirannya.Alfian belum lama kehilangan sosok yang sangat dicintainya.
Di usianya yang menginjak 32 tahun, Alfian sudah sering mengalami pertemuan dan perpisahan, namun setelah kepergian sosok itu, kali ini dunianya benar-benar hancur.
Kini, Alfian duduk sendirian di bangku area taman bermain. Biasanya, taman ini dipenuhi dengan riuh suara anak-anak yang riang gembira pada siang dan sore hari.
Saat ini hanya hening menyelimuti taman, hanya terdengar desiran angin yang lembut melintasi pepohonan. Alfian membiarkan pikirannya terbang bebas di tengah keindahan taman yang sepi.
Sinar mentari pagi dan angin sejuk pula menemani Alfian yang tengah dilanda kesedihan dan rasa hampa.
Alfian menutup kedua matanya, untuk kesekian kali menahan air matanya agar tak lolos begitu saja.
Dadanya terasa sesak, dirinya hancur, namun Alfian merasa sudah terlalu banyak menangis dan ia berjanji tidak akan menangis lagi.
Bukan untuk membuktikan bahwa Alfian adalah pria dewasa yang tidak boleh lemah, tapi demi orang-orang di sekitar Alfian yang berada di sisinya dan selalu menghiburnya tanpa lelah.
Jujur saja selain Alfian merasa bersalah pada diri sendiri, ia juga merasa bersalah karena membuat orang di sekitarnya berusaha keras untuk membantunya bangkit dan melnjutkan hidup.
"Ayah liat! Aliya berani naik perosotan sendiri sekarang!"
Mata Alfian terbuka mendengar mendengar ucapan seorang gadis kecil yang berdiri di tangga perosotan, namun Alfian tidak menoleh untuk melihatnya.
Namanya Aliya, putri semata wayang Alfian. Masih berumur enam tahun, memiliki mata besar, dan suka dikuncir kepang.
Meski tidak diperhatikan, gadis kecil itu tetap ceria dan bermain disertai tawa bahagia. Biasanya Alfian akan memegangi tangannya saat naik perosotan, dan akan menangkap Aliya saat turun, tapi sekarang Aliya bisa melakukan semuanya sendiri.
"Ayah, masuk SD pertama kali nanti kan ditemani orang tua," ujar Aliya sambil menaiki jungkat jungkit sendirian, "Kalau Aliya minta ditemani Ayah, bukan bunda, bisa?"
"Bisa." jawab Alfian, singkat. Ia masih menatap lurus dengan pandangan kosong.
"Kalau di SD pakai tas beruang teddy, bisa?" tanya Aliya lagi.
"Bisa."
"Kalau bawa bekal yang bentuk beruang juga, bisa?"
"Bisa, Aliya."
"Kalau Ayah berhenti sedih untuk Aliya, bisa?"
Mulut Alfian terkantup. Pertanyaan polos Aliya menusuknya seperti belati di hatinya. Ia memang sudah terlalu larut dalam kesedihan sampai kehilangan semangat untuk melanjutkan hidup, bahkan mengabaikan orang-orang di sekitarnya.
Hal yang paling sedih, putri kecilnya yang polos dan biasanya tidak mengerti apapun kini menyadari keterpurukan Ayahnya.
"Aliya senang kalau Ayah nggak kerja, tapi Aliya nggak senang kalau ayah sedih," melihat Ayahnya seperti itu juga membuat Aliya terluka, ia sudah mulai ada di usia untuk mengerti perasaan orang di sekitarnya, terlebih orang tuanya sendiri.
"Mendingan kita pulang kalau Ayah sedih, main lain kali aja." Aliya turun dari ayunannya kemudian menghampiri Alfian, "Bunda pasti nungguin untuk sarapan di rumah, ayo pulang, Ayah." ajak Aliya.
"Aliya pulang duluan aja, Ayah masih mau di sini," lirih Alfian, ia menutup matanya lagi.
Aliya menghela napas pelan, ia kemudian ikut duduk di samping Ayahnya itu. Kakinya yang pendek membuatnya bisa menayunkan kedua kakinya itu di atas bangku, "Aliya nggak bisa pergi karena Ayah sedih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story By Ray
Short StoryCuma cerita pendek random yang kutulis untuk improve kemampuan menulisku.