1

15 3 0
                                    

"Pernah mendengar filosofi bunga edelweis de?"

Pukul sepuluh malam, aku masih menatap layar ponselku yang menampilkan notifikasi pesan dari seseorang. Membaca sederet pesan yang ingin sekali segera ku akhiri.

"Engga" balasku singkat melalui jendela notifikasi. Bahkan aku tak ingin tau. Aku tidak tertarik dengan topik apapun yang akan dia bawa. Aku tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini.

"Edelweis menunjukkan bunga keabadian, " sebuah pesan kembali muncul pada jendela notifikasi. Kubiarkan begitu saja.

Aku segera meletakkan ponsel disamping bantal. Mulai merebahkan tubuh. Menatap langit-langit kamar yang semakin membosankan. Kenangan itu kembali berputar. Kali ini lebih berantakan. Entah bagian mana yang sedang ku fikirkan. Perasaanku? Pikiranku? Semua sama hancurnya.

"De, udah tidur?"
Entah buble ke berapa ia mengirimnya. Usai penjelasan mengenai edelweis yang tak menarik, aku tak ingin melanjutkan komunikasi ini. Rasanya hambar.

'drrttt'
1 panggilan masuk. Mas Dafa, nama yang tertera pada layar ponsel. Tidak ku angkat, tidak ku tolak juga. Kubiarkan dia mematikannya sendiri.

Pukul satu dini hari. Entah sudah berapa lama aku berusaha memejamkan mata. Hasilnya nihil. Mata ini tetap terjaga dengan perasaan yang sama. Kuraih ponsel, mengetikkan sesuatu, lalu mengirimnya pada seseorang.

"Mas," singkatku padanya.
Tidak ada sepuluh detik, balasannya sudah terkirim.

"Ada apa de?"

Aku tidak tau tujuanku apa mencarinya. Aku hanya bingung, tak tau harus bagaimana.

Kemarin, ada seseorang yang bisa selalu ku hubungi kapanpun aku mau.
Kemarin, ada seseorang yang selalu siap ku repotkan dengan segala keluh kesah ku.
Kemarin, ada seseorang yang selalu mendengar semua yang akan kubicarakan.
Kemarin, ada seseorang yang selalu bercerita ketika aku meminta.
Kemarin, ada seseorang yang akan terlelap hingga larut hanya untuk gadis sepertiku.
Kemarin, selalu ada seseorang.
Ya, itu kemarin, akan ada seseorang dengan kalimat 'selalu'.
Kemarin sebelum aku memaksanya untuk berkata jujur mengenai perasaanya saat ini. Sekarang? Jangan ditanya, dia pergi bersama inginnya. Tak akan kuhalangi apapun itu. Walaupun perasaanku belum usai. Hanya perlahan, aku butuh waktu untuk menyelesaikan semua kehancuran ini.

'drrttt'
Satu panggilan masuk. Mas Dafa.

"Hallo?" Sautnya usai kuangkat telfonnya.
"Ya,"
"Kenapa de?"
"Gapapa mas,"
"Masih sakit?" Tanyanya. Aku tak menjawab. Dia pasti tau jawabannya. Dia tau kisahku, dia tau sakitku. Dia juga mencintaiku. Tapi aku tidak sebaliknya.
"Mau cerita? Atau mau saya yang cerita?" Tawarnya setelah tak ada jawaban dariku.
"Bebas" singkatku.
"Yaudah, saya yang cerita ya,"

***

Pukul dua dini hari, pria itu masih sibuk mencari kalimat-kalimat untuk menenangkan seorang gadis melalui obrolan telfonnya. Cerita-cerita yang entah akan didengar atau tidak oleh gadis itu. Kalimat demi kalimat yang mulai kacau karna ini sudah hampir satu jam dia tidak berhenti bicara. Sayang sekali, lawan bicaranya sama sekali tak merespon apapun.

Pukul dua dini hari, tepat gadis itu mematikan telfon, tak ada kalimat yang diucapkan kecuali terimakasih, tanpa menunggu balasan ucapan dari lawan bicaranya. Obrolan yang hanya dilakukan oleh satu orang. Pria yang begitu antusias, dengan gadis yang sedang dihancurkan perasaannya.

Pukul dua dini hari, mereka yang masih terjaga hanyalah manusia yang tengah jatuh cinta ataupun patah hati. Sedangkan pria itu, dia sedang jatuh cinta pada gadis yang sedang patah hati.

***

"De.." aku menoleh, menatap sekilas pria yang tengah berdiri disamping sepeda motor berwarna mint milikku.

"Mau pulang bareng ngga?" Tawarnya.

"Kamu ngga bawa mobil mas?"

"Cuacanya mendung, kamu bawa jas hujan?"

"Engga."

"Ikut saya dulu ya, daripada nanti keujanan dijalan."

"Tapi aku suka hujan."

"Okay, saya ngga maksa. Take care!"

Aku beralih, segera mengendarai motor keluar dari area kampus. Seperti biasa, mengendarai motor dengan kecepatan tinggi masih menjadi hobiku sampai sekarang. Tepatnya, sejak manusia itu pergi. Apalagi dengan guyuran hujan yang begitu deras, manatau sama derasnya dengan hujan dari mataku sekarang. Bukankah begitu cara menangis agar tidak terlihat menangis, bukan?

Katanya, menangislah bersama hujan, langit tau bagaimana sedihmu. Maka rayakan bersama alam. Hujan dan sedihmu sama jatuhnya, jangan khawatir untuk terlihat tidak baik-baik saja ketika bersamanya.

'bruakkkk'

Sebuah mobil menabrakku dari belakang. Aku terjatuh sampai terseret lima meter dari tkp. Perih sekali rasanya kaki dan tangan ini ketika harus bersentuhan dengan aspal secara langsung. Belum lagi kepala yang beberapa kali berbenturan. Ditambah genangan air hujan yang berubah menjadi warna merah. Aishh!!! Ini sakit sekali. Tapi sesak didada jauh lebih sakit.

"Dee, " Teriak seorang pria yang tengah berdiri tepat didepanku dengan membawa payungnya.

Aku meliriknya sekilas. Tak berani menatap lebih lama. Aku tau, aku menangis. Aku lemah, aku tidak tau yang mana yang membuatku sampai menangis seperti ini. Luka kecelakaan ini, atau luka yang berada jauh didalam organ bernama hati itu.

Pria itu membantu memapahku masuk kedalam mobilnya. Secepat mungkin melesat ditengah derasnya hujan. Dia tampak sangat cemas, apalagi melihat mataku yang sembab bercampur air hujan, tadi dia sempat memperhatikanku sekilas. Padahal aku sudah berkali-kali menghindari tatapan matanya.

25 menit tercepat untuk melesat sampai di rumah sakit. Aku segera mendapat penanganan intensif. Ada beberapa luka yang perlu dijahit saat itu juga. Baiklah, aku tak masalah. Lakukan apapun yang membuat luka ini membaik.

"Kamu gapapa de?" Pria itu sudah berdiri didalam ruangan.

Aku tersenyum sekilas. Aku baik. Jangan khawatir. Kataku dalam hati.

"Saya bilang apa tadi, kamu-?"

"Aku gapapa mas. Kamu ga perlu cemas." Aku memalingkan wajahku. Berganti menatap jendela disamping brangkar.

"Lain kali harus lebih hati-hati de."

Aku mengangguk. Dia pergi keluar dari ruangan, meninggalkan beberapa makanan dan minuman diatas nakas. Untukku katanya.

Rasanya tidak sakit dengan beberapa luka jahitan ditubuhku. Sungguh ini benar" tidak terasa apapun dibanding luka yang sudah hampir dua pekan ini aku rawat. Aku tidak tau bagian mana yang harus kutangisi. Aku juga tidak tau bagian mana yang harus aku lepaskan. Ini semua terlalu mendadak. Aku hanya belum siap. Terlebih ketika semua sedang baik-baik saja. Bahkan tak terbesit sekalipun akan ada luka sedalam ini disaat aku hampir sempurna mencintai manusia itu.

Aku tidak ingin menyalahkan siapapun, nyatanya memang masanya saja yang sudah habis, karna kata orang-orang setiap manusia ada moment dan masanya sendiri. Mungkin ini yang dimaksud. Tapi aku belum bisa mengerti. Kenapa harus secepat ini? Kenapa harus se terburu-buru ini? Aku belum mempersiapkan diri untuk kehilangan. Aku belum usai dengan semua rencana yang akan kulakukan bersamanya. Aku belum selesai dengan perasaan ini. Aku, dan mungkin hanya aku saja yang merasa begitu. Tidak dengannya.

Bahkan aku harus membenci diriku dengan kata andai. Andai kami bisa lebih lama sedikit lagi, mungkin lukanya tidak akan sedalam ini. Andai waktu itu aku benar-benar tidak kembali. Andai, andai, dan andai. Padahal semua sudah terjadi, tidak ada yang bisa diperbaiki apalagi dikembalikan seperti semula.

Ya, rumahku hilang. Pergi. Bersama penghuni yang bisa membuatnya lebih terasa menjadi rumah yang sesungguhnya.

Ingin sekali segera ku akhiri keadaan ini. Ingin sekali segera ku katakan..

..Sekian patah hati ini, mari berbahagia,

Fatmah Zahra.

***

Jazakumullah khoiron teman-teman.
Jangan lupa share, vote, dan komen yaaa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EdelweissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang