1 [Hutan Pinus]

280 34 3
                                    

Kelopak matanya berkedut beberapa kali, berusaha untuk mengumpulkan kesadaran yang tumpul. Cahaya seolah hendak membutakannya, menyerbu matanya ketika kedua tirai berusaha memperlihatkan kedua manik zamrud.

Pepohonan tanpa daun-daun hal pertama yang menyambutnya, salju tampaknya sedang turun sekarang. Dirinya rebah di sana, bernapas putus-putus, seolah-olah dadanya tak sanggup memompa lebih banyak oksigen.

Dibawanya tubuh remaja yang sekiranya berusia empat belas itu duduk dengan susah payah. Tubuhnya terasa sangat berat, seakan seluruh badanya dipasangi rantai besi. Untuknya yang baru terbangun, itu adalah hal pertama yang dia rasakan.

Kedua manik zamrud itu bergerak. Berputar mencari sesuatu, mungkin seseorang yang mirip dengannya. Namun, nihil. Tak seorangpun ia temukan. Hanya ada pepohonan dan salju putih yang menutupi hijaunya rerumputan dan tanah-tanah subur.

Sesuatu merambat memasuki pemikirannya. Duri akhirnya berdiri dari duduk, meski hampir terjatuh walhal linglung, ia masih tetap bisa mempertahankannya. Dia berjalan, memulai langkahnya di jalanan bersalju. Meninggalkan jejak yang dalam hitungan menit akan menit dengan ditimpanya salju baru.

Salju yang turun perlahan melebat, namun kedua kaki Duri tak ada keinginan untuk berhenti. Tubuhnya sejak awal sudah terpasang jaket tebal beserta syal hijau yang melilit leher. Sehelai kain melingkar badan dari lengan kiri ke kanan. Badai mulai datang dan dia merasakan sesuatu yang berbeda dari bahu kanannya dari anggota tubuh yang lain. Tanpa sadar, tangan kirinya memegang bahu, temukan sesuatu yang kental terasa ketika ia menyentuhnya. Namun, Duri abai, terus berjalan meski wajahnya terus-menerus berkerut sakit.

"Hei...!"

Duri mendengar sesuatu, lekas dirinya berbalik, kedua bola mata itu membesar menemukan seorang pemuda yang melambai menggunakan kapak padanya.

Duri berhenti, matanya bersinar, seolah tidak pernah melihat manusia lain sebelumnya, ditunjuknya si pemuda yang berlari mendekat padanya.

"Hei, kau mau ke mana? Sebaiknya berteduh dulu di kabinku! Badai salju di sini sangat berbahaya."

Duri tidak menjawab, masih menatap si remaja bermanik biru itu dengan kagum. Binar di matanya kian bertambah. Namun, itu diinterupsi dengan tangannya yang ditarik tiba-tiba.

"Ayo, cepat!"

Si remaja menarik paksa Duri, membawanya menuju kabin yang dikatakan. Namun, sejauh yang Duri lihat, hanyalah tumpukan kayu yang dibuat melintang. Dikelilingi pagar yang juga dari kayu, nampak seperti dibuat asal-asalan.

Pintu kayu itu berderit ketika dibuka si empunya. Didorong Duri masuk ke dalam, seukir senyum terlihat di wajah yang merona karena kedinginan itu.

"Masuklah dulu, aku ingin menyelamatkan kayu-kayuku."

Tidak ada jawaban lagi, sampai remaja itu akhirnya mendorong Duri masuk lebih dalam lagi. Diucapkannya sesuatu sebagai permintaan maaf, lantas menutup pintu agar angin dingin tidak mencuri masuk ke dalam.

Duri perhatikan dalam kabin. Hanya ada sebuah kasur dengan selimut yang nampaknya tipis. Sebuah kursi kayu yang tampak dibuat sendiri, perapian yang di dalamnya masih ada kayu.

Gelap mendominasi tempat ini, membuat Duri menciut. Ada setitik rasa tidak nyaman yang membuatnya mengalami kecemasan. Napasnya perlahan tidak teratur, detak jantungnya berdetak lebih cepat. Tangan kanannya juga terasa lebih sakit. Dingin layak seperti memeluk tubuhnya, membuat dia menggigil hebat. Meski begitu, Duri tidak lari. Tubuhnya seakan dipaku di sana. Dipaksa menahan diri untuk tetap berada dalam kegelapan.

Pintu kayu itu berderit sekali lagi. Cahaya menelusup dari balik celah-celah badan anak manusia yang bertengger di pintu masuk.

Kau baik-baik saja?" tanya si remaja.

Euforia [BoBoiBoy Duri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang