06

12.4K 877 9
                                        

Happy Reading

──────⊹⊱✫⊰⊹──────

"Karena—" Aku menggantung ucapanku. Jari telunjukku kuletakkan di dagu seolah sedang berpikir. Aku berhenti sejenak, menarik napas.

Sosok roh di hadapanku hanya menatapku datar. Aku bisa merasakan ketidaksabarannya, padahal, kalau diingat-ingat, dulu aku adalah orang yang sangat penyabar. Dia membuka mulut ingin menjelaskan, tapi aku lebih dulu bicara.

"Karena itu adalah tujuan yang aku pilih sejak awal."

Zeyron tidak segera menanggapi. Dia hanya menatapku dengan ekspresi penuh selidik, seakan menunggu kelanjutan dari jawabanku.

Aku mengalihkan pandangan, kembali menatap bunga-bunga di sekeliling kami. Angin berembus pelan, membawa kedamaian semu yang anehnya justru membuat pikiranku semakin kacau.

"Aku tahu, ini bukan tubuhku yang asli. Aku tahu kalau semua pencapaian ini seharusnya bukan milikku," lanjutku lirih. "Tapi... sekarang aku sudah ada di sini. Aku adalah Zeyron, dan aku tidak punya pilihan selain menjalani hidup ini dengan sebaik mungkin."

Aku menghela napas panjang, membiarkan beban yang tak terlihat itu sedikit berkurang dari dadaku.

Houvella bukan hanya sekadar universitas. Bukan hanya tempat untuk menuntut ilmu. Bagiku, itu adalah batu loncatan. Awal dari sesuatu yang lebih besar. Aku tidak tahu apa yang menungguku di sana, tapi aku harus mencobanya.

Roh Zeyron masih menatapku, ekspresinya sulit ditebak.

Kemudian, dia tersenyum tipis.

"Houvella, ya?" katanya pelan, hampir seperti gumaman. "Menarik."

Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi aku bisa merasakan sesuatu yang berubah. Entah itu dari dirinya... atau dari diriku sendiri.

"Pasti ada hal lainnya, kan?" Sorot matanya yang tajam itu membuatku ragu sesaat sebelum akhirnya menjawab pertanyaannya.

"Oke-oke, karena satu, UH adalah impianku sejak membaca buku ini. Dua, karena aku pengen aja, tapi nggak mau ketemu para male lead dan female lead. Tiga, dibanding kerja, lebih enak kuliah dulu, kan? Dan seterusnya, kamu paham sendiri." Aku menjawab panjang lebar.

Zeyron hanya mengangguk-angguk. Dia paham maksudnya—anak di depannya ini tidak ingin langsung terjun ke dunia kerja dan mati karena stress atau mungkin alur. Eh, tapi... bukankah di sana justru lebih berbahaya? pikirnya.

"Elu bodoh banget!" ejeknya tiba-tiba.

Aku mengerutkan dahi. "Kamu bisa ngomong kasar juga ya?"

Mukanya semakin datar. "Lo pikir gua kagak bisa gitu, ya? Yakali anjir, kelewat jaman banget." Aku hanya membuat ekspresi mulut berbentuk huruf 'O'.

"Ck, udah waktunya gua balik. Bye-bye, Gilza sayang. Baik-baik ya, bakal ada—" Kalimatnya terputus begitu saja saat cahaya kembali menelannya.

Aku mengerjap. Apa itu tadi?

04.48

Zeyron terbangun dengan napas yang masih tersengal, dadanya naik-turun pelan. Cahaya remang dari lampu meja menerangi kamarnya, menciptakan bayangan samar di dinding. Tatapannya beralih ke jam digital di atas nakas, angka-angka merah menyala menunjukkan waktu yang begitu dini. Ia hanya mengangguk tipis, berusaha mengumpulkan kembali sisa-sisa kesadarannya yang masih tertinggal di dunia mimpi. Mimpi itu—atau lebih tepatnya, tempat itu—masih terpatri jelas dalam benaknya. Padang bunga luas, angin semilir, dan kehadiran seseorang yang terasa terlalu nyata. Tapi kini, ia kembali ke dunia yang seharusnya.

Posionous Boyfriend's (Sedang Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang